Sebagian besar lapangan migas di indonesia berdasarkan tahun penemuannya umumnya berusia 50 hingga 125 tahun dan sebagian kecil saja lapangan yang berusia dibawah 50 tahun . Khususnya wilayah Jawa Timur-Jawa tengah, banyak lapangan yang sejak penemuannya diproduksikan hanya beberapa saat lalu ditinggalkan. Lapangan lapangan minyak di Jawa Tengah,  sudah berusia antara 96-126 tahun, merupakan hasil penemuan antara tahun 1893-1925. Di Cirebon dan offshore Jawa Barat Utara, sedikit lebih muda yaitu 50an tahun, merupakan penemuan sekitar tahun 1960 -1971. Penemuan lapangan di Sumatera Utara dan Jambi dimulai sejak 1893-1930, lapangan Sumatera Selatan juga sudah berusia 80-126 tahun, hasil penemuan antara tahun 1895-1940an. Di Riau rata-rata lapangan migasnya berusia antar 75-80 tahun, ditemukan sekitar tahun  1940-1945. Demikian juga di Kalimantan Timur merupakan penemuan tahun 1897-1905. Meningkatkan produksi dari sumur lapangan tua sangatlah berat. Dibutuhkan upaya prima, dengan teknologi yang lebih maju dan biaya tinggi.
Mengacu pada tahun penemuan lapangan lapangan migas di Indonesia maka sudah wajar jika disebut sebagai lapangan tua. Demikian pula usia sumur-sumur yang ada di dalam lapangannya, tentu usianya tidak jauh berbeda. Lapangan migas biasanya terdiri dari beberapa sumur hingga ratusan sumur bahkan ribuan sumur tergantung luas lapangannya yang disebut sebagai stuktur. Dalam situasi seperti ini akan gampang dimengerti  bahwa sumur-sumur tersebut merupakan sumur tua. Tetapi dalam urusan pengelolaan sumur tua, sering salah memahami apa yang disebut sumur tua. Walaupun sama sama-sumur tua yang berada disuatu lapangan yang sama tuanya, pengelolaannya berbeda. Karena tidak semua sumur yang tua masuk dalam klasifikasi sumur tua.
Sesuai peraturan Mentri ESDM nomor 01, tahun 2008 tentang pedoman pengusahaan pertambangan minyak bumi pada sumur tua, bahwa yang dimaksud dengan sumur tua adalah sumur-sumur minyak bumi yang dibor sebelum tahun 1970 dan pernah diproduksikan serta terletak pada lapangan yang tidak diusahakan pada suatu wilayah kerja yang terikat kontrak kerja sama dan tidak diusahakan lagi oleh Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS).
Jika Kontraktor  (KKKS) tidak mengusahakan dan memproduksikan minyak bumi dari sumur tua tersebut maka, KUD atau BUMD dapat mengusahakan dan memproduksikannya setelah mendapat persetujuan Menteri. Memproduksi minyak bumi pada sumur tua adalah usaha mengambil, mengangkat dan atau menaikkan minyak bumi dari sumur tua sampai ke titik penyerahan yang disepakati para pihak. Dalam pengelolaannya KUD/BUMD hanya boleh memproduksikan dari lapisa reservoir yang sudah tersedia (existing). Tidak boleh melakukan pekerjaan pindah lapisan (workover), dll. Pengelola mendapatkan imbalan jasa atas biaya memproduksikan minyak dan transportasi sampai dengan titik penyerahan yang disepakati bersama dalam perjanjian pemroduksian sumur tua yang berupa uang dan tidak dalam inkind atau minyak bumi, kerjasama pengelolaan sumur tua belum banyak dilakukan oleh KKKS dan hingga saat ini, hanya Pertamina EP yang bekerja sama dalam pengusahaan sumur tua.
Pada masa puncaknya hampir 2000 sumur yang dikelola oleh sekitar 20 KUD/BUMD, dan saat ini tersisa 1400 sumur tua (SKKMigas, 2020)
Sumur tua jelas definisinya tapi belum ada definisi atau batasan jelas mengenai lapangan tua. Yang ada hanyalah defininis lapangan minyak marginal sesuai permen nomor 08 tahun 2005: adalah lapangan yang terletak di wilayah kerja berstatus sudah produksi yang tidak ekonomis lagi untuk dikembangkan, berdasarkan term & condtions PSC yang berlaku saat ini.
Secara umum lapangan tua  merupakan lapangan yang ditemukan sebelum tahun 1970, sudah mencapai puncak produksi dan kumulatifnya biasanya sudah tinggi, recovery factor sudah lebih dari 25%,  kadar air tinggi, tekanaan reservoir rendah (depleted). Produksi secara primary sudah optimal dan produksinya hanya bisa ditingkatkan dengan metoda secondary recovery dan tertiary recovery. Pengelolaan lapangan tua tidak termasuk dalam peraturan sumur tua.
Masih banyak lapangan migas yang selama ini dianggap sebagai lapangan tua, lalu tidak diusahakan dengan optimal, karena kalah ranking dalam keekonomian terhadap lapangan lainnya. Kemudian dikerjasamakan dengan pengelola lain.  Ternyata  jika dikelola dengan kaedah keteknikan yang baik dan benar, bisa memproduksikan minyak maupun gas. Namun operator harus memiliki kemampuan financial dan mau mengeluarkan uangnya untuk melakukan kegiatan mereaktivasi lapangan.
Lapangan tua dan sumur tua susungguhnya memiliki potensi bisa dikembangkan dan dapat menambah produksi minyak nasional sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyaraka sekitarnya. Permasalahan utama yang sering dijumpai dalam pengelolaannya, adalah  minimnya data bawah tanah.
Pemerintah seharusnya memperbaiki peraturan dalam pengelolaan sumur tua dan memberikan kelonggaran agar dapat melakukan pekerjaan pindah lapisan, memperdalam sumur bahkan melakukan pemboran yang sifatnya sebagai pengganti sumur yang tidak layak dikelola. Dengan demikian dalam pengelolaan akan didapatkan data baru yang menjadi acuan dalam merejuvinasi sumur dan lapangan tua.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H