"Bli, jangan ucapkan sekarang. Hati Latri tambah perih dari perih luka Bli. Bli tidak tahu, Latri memendam kekaguman ini sendiri. Apakah Bli Dewo tahu?" Ucap Latri dengan wajah terpancar sedih.
Aku julurkan tangan seolah ada luka, biar bisa memegang tangan Luh Latri.
"Maafkan Bli Dewo. Bli juga punya perasaan sama. Tapi dari awal Bli tahu diri. Kita tak mungkin menjalin kasih sayang, karena tradisi yang harus dihormati.
"Bli Dewo. Satria Bli di Perang Pandan akan selalu Luh ingat dan kenang. Bli Dewo Kesatria sejati itu. Luh akan selalu mengobati luka hati Bli walau hanya doa. Selamat berjuang ya Bli Dewo. Sukses menyertai."
Luh Latri melepas pegangan tangannya. Ia mengusap air mata yang meleleh di pipi. Aku membiarkan saja. Aku tak berani bersentuhan. Aku menghormati masyarakat dan tradiai di sini yang terjaga dengan baik.
Kamipun berpisah, seiring datangnya sore menjelang malam. Langit tertungkub warna jingga, seperti jingga luruh lara hatiku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H