"Baik dik. Terimakasih banyak." Jawabku. Begitu sempurna perempuan ini. Rupanya cantik. Lakunya santun. Aku pun bergegas masuk ruangan.
Menjelang sore semua temanku Manik, Budiasa, Agung, Mirah, Wayan sudah nyampai. Manik dan Mirah tidur berdua di rumah sebelah barat.
Tidak terasa sebulan sudah berlalu. Banyak pekerjaan yang sudah kami tuntaskan. Kami bertiga sering mengumpulkan remaja di desa untuk memberi arahan terkait dengan pentingnya sekolah. Sudah pasti Ketut Lastri memandu muda-mudi. Ia anak ke empat dari Bapak kepala desa, sehingga di sebut Ketut.
Kami juga sering melaksanakan kerja bakti bersama muda-mudi setempat. Suasan desa terlihat tua dan klasik. Rumah-rumah  berjejer di samping. Sementara di tengahnya terdapat rumah panjang semacam rumah panggung beratap ijuk. Lantai perumahan beralaskan batu yang di tata rapi menambah kesan sangat alami.
Pantaslah Desa Tenganan termasuk Desa Bali Aga atau Bali Mula. Pesona alam perbukitan dengan hutan adat yang lestari masih terjaga.
Hingga suatu hari,
"Bapak lagi seminggu, di desa kami akan ada upacara Ngusaba Sambah. Saat itu akan ada kegiatan seru yang disebut Mekar-Kar. Bapak pernah dengar upacara itu?"
"Pernahlah. Aku kan orang Bali. Maaf boleh Aku minta Dik Ketut memanggil Aku Bli? Aku kurang enak dipanggil Bapak karena Aku masih muda!"
"O, maaf ya. Kok baru bilang? Kan sudah sebulan di sini. Baik mulai dari sekarang Aku panggil Bli. Bli siapa sih lengkapnya?"
"Bilang aja Bli Dewo. Apakah boleh Bli ikut Mekar-Kar? Bli ingin mencoba.
"Rasanya sih boleh. Besok Ketut tanyakan kepada Bapak."