Hal ini dapat dilihat melalui Azuma (2009: 9), di mana "budaya tradisional seperti lukisan Edo telah dijadikan sebagai referensi ataupun diadaptasi dalam berbagai macam anime dan manga". Berdasarkan hal tersebut, masyarakat Indonesia dapat mengenal lebih peka dan dekat dengan budaya tradisional Jepang melalui anime ataupun manga.
Masyarakat Indonesia, khususnya golongan remaja telah diidentifikasi sebagai populasi  dengan jumlah terbanyak yang mulai menjadikan otaku sebagai hobi ataupun gaya hidup. Penelitian yang telah dilakukan Yamane (2020: 73), ditemukan bahwa "sebanyak 58,5% responden berusia 19 sampai dengan 25 tahun mengidentifikasi dirinya sebagai seorang otaku ataupun menikmati kehadiran anime dan manga,Â
sementara usia di atas 30 tahun yang menganggap dirinya otaku hanya berjumlah 7,3%". Dengan adanya data tersebut, maka dapat dilihat bahwa golongan remaja menjadi salah satu kontributor terbesar bagi populasi otaku di Indonesia.
 Lantas, hal tersebut juga berhubungan dengan sikap mereka yang cenderung memiliki ketertarikan untuk mengenal dan bahkan mempelajari budaya Jepang melalui anime ataupun manga. Oleh sebab itu, dampak melalui populasi remaja dan ketertarikan mempelajari budaya Jepang dapat menghasilkan sebuah ancaman.Â
Perlu ditegaskan, penulis menganggap mempelajari budaya asing tidak selalu mengarah pada ancaman karena hal tersebut dapat digolongkan sebagai bentuk apresiasi budaya. Akan tetapu, golongan remaja kebanyakan "mengimitasi" budaya asing yang mereka lihat secara berlebihan dan tentunya hal tersebut dapat merujuk ke hal negatif.
Konteks imitasi yang dilakukan oleh kalangan remaja dengan mengidentifikasi dirinya sebagai seorang otaku dapat dilihat sebagai bentuk sikap apatisme ataupun tak acuh terhadap budaya lokal. Mengimitasi apa yang dilihat baik di anime ataupun manga juga mengakibatkan terbentuknya gaya hidup dan perilaku yang buruk. Salah satu perilaku yang kerap diwaspadai adalah bentuk kekerasan.Â
Mahaseth (2018: 2) mengatakan bahwa, "kekerasan dan unsur pornografi kerap ditemukan dalam manga dan terdapat beberapa kasus yang melibatkan seorang konsumen daripada produk tersebut melakukan kejahatan seperti membunuh". Melalui kasus tersebut, masyarakat umum seperti remaja sangat rentan untuk membentuk perilaku negatif melalui media-media seperti anime ataupun manga yang bertemakan kekerasan.
Dengan adanya hal tersebut, kecenderungan untuk mengimitasi apa yang dilihat melalui media hiburan ataupun budaya asing akan selalu ada dan hal tersebut dapat membawa ancaman terhadap masyarakat, khususnya generasi muda bangsa. Ada baiknya, sebagai remaja ataupun generasi muda bangsa untuk memahami bahwa terdapat batasan dalam membedakan antara mengenal budaya asing sebagai bentuk edukasi dan sebagai media hiburan yang dapat dinikmati atau ditiru.
Melalui contoh ataupun penjabaran mengenai maraknya popularitas otaku di Indonesia, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat  kecenderungan untuk menggarisbawahi sebuah batasan dalam mencegah segala bentuk imitasi budaya yang dapat mengancam integritas bagi masyarakat maupun negara secara keseluruhan.
Tentunya otaku dapat menjadi suatu pengantar ataupun memberikan pandangan yang menarik terhadap budaya Jepang dan hal tersebut dapat dipandang sebagai hal positif untuk meningkatkan kepekaan masyarakat Indonesia terhadap budaya asing. Akan tetapi, otaku dapat memberikan pengaruh yang buruk melalui penggambarannya dengan melibatkan unsur kekerasan dan pornografi terhadap gaya hidup masyarakat.
Oleh sebab itu, diperlukan suatu "filter" untuk memilah dan membatasi konten-konten yang berkonotasi negatif.