[caption caption="Tangki Pemanenan Air Hujan atau sering disebut juga dengan Rain Water Harvesting (RWH) di SD Silih Asah II, Kota Cirebon (dokumen program ACCCRN)"][/caption]
Bagi sebagian besar orang mungkin tidak terlalu familiar dengan konsep pemanfaatan air hujan. Air hujan yang biasanya dibiarkan terjatuh dan meresap ke tanah justru ditampung dan digunakan untuk sumber air alternatif. Di beberapa daerah tertentu, ternyata memanfaatkan air hujan sudah cukup lazim. Terlebih di daerah yang masih sulit dijangkau oleh layanan pipa air bersih baik dari pemerintah maupun swasta.
Di masyarakat perkotaan kebanyakan wajar jika tidak memandang air hujan sebagai salah satu alternatif sumber air. Padahal peluang pemanfaatan air hujan terhitung cukup besar dengan intensitas air hujan yang sering turun semakin lebat, meski makin sulit diprediksi frekuensinya. Konsep besarnya adalah menampung air hujan sebaik-baiknya di musim hujan dan mengurangi pemakaian air tanah, air sumur, maupun air pipa selama musim hujan tersebut. Ini sekaligus dapat memberi kesempatan pada air tanah untuk mengisi ulang cadangan airnya yang didapat dari air hujan yang meresap. Dampaknya, cadangan air tanah saat musim kemarau diharap masih dapat tersedia untuk dimanfaatkan untuk kebutuhan air bersih.
Secara garis besar, metode pemanenan air hujan dilakukan dengan memanfaatkan air hujan yang jatuh di atas atap dengan cara mengalirkan air hujan tersebut melalui talang ke tangki penampungan. Selanjutnya, instalasi pemanenan air hujan yang ideal memiliki sistem filterisasi yang digunakan untuk mendapatkan kualitas air yang cukup layak untuk digunakan. Bentuk instalasi penampungan dan akses pemanfaatan airnya dapat dibuat sedemikian rupa. Misalnya dapat langsung digunakan melalui keran yang terpasang di instalasi, ataupun juga dialirkan ke kamar mandi melalui pipa-pipa sambungan. Lama ketersediaan air hujan di penampungan tentu akan bergantung pada kapasitas penampungan dan frekuensi pemakaian, dan tentu saja frekuensi turunnya hujan.
Sejauh ini air hujan yang sebaiknya telah difilter dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan-kebutuhan sekunder. Di antaranya untuk membasuh muka, tangan, kaki, menyiram tanaman, mencuci kendaraan, maupun kebutuhan sekunder lainnya. Bagi yang masih kurang yakin betul dengan tingkat higienitasnya, maka akan lebih memilih sumber air bersih yang lain untuk kebutuhan primer seperti untuk keperluan konsumsi. Persepsi ini tentu cukup wajar. Pada dasarnya, pemanfaatan air hujan muncul sebagai sumber air pendukung alternatif, bukan sumber air utama.
Salah satu implementasi penerapan instalasi pemanenan air hujan juga baru-baru ini dilakukan di Kota Cirebon oleh program ACCCRN (Asian Cities Climate Change Resilience Network) di Indonesia. Kekeringan menjadi salah satu karakter kerentanan di salah satu area di sana, tepatnya di Kelurahan Argasunya. Selain tidak terjangkau oleh akses layanan PDAM yang memadai, kedalaman air tanah pun mencapai 60 m sehingga pemenuhan kebutuhan air dari sumur tidak terlalu lancar, terlebih di musim kemarau. Di luar itu, pemakaian air tanah terus-terusan tentu tidak menjadi rekomendasi karena akan mengganggu cadangan air tanah dan kekuatan struktur tanah itu sendiri.
Berangkat dari latar belakang tersebut, maka dibuatlah instalasi pemanenan air hujan di area percontohan 4 SD di sana, yaitu SD Cadas Ngampar, SD Silih Asah I, SD Silih Asah II, dan SD Sumur Wuni. Pertimbangannya adalah perlunya perhatian pada kondisi murid dan guru yang proses belajar mengajarnya terganggu dengan kebutuhan air kamar mandi yang tidak tersedia dengan baik. Maka, melalui suatu kegiatan kolaborasi antara Mercy Corps Indonesia, APEKSI, Pemerintah Kota Cirebon, dan Perkumpulan Warga Siaga, bersama-sama mewujudkan upaya respon terhadap kondisi sulitnya air bersih sebagai dampak perubahan iklim melalui instalasi pemanenan air hujan tersebut.
[caption caption="Murid-murid di SDN Cadas Ngampar Memanfaatkan Air dari Penampungan Air Hujan"]
Warga sekolah penerima manfaat telah merasakan manfaat dari keberadaan instalasi pemanenan air hujan ini. Rata-rata air hujan tersebut digunakan untuk keperluan kamar mandi/ toilet, cuci muka/tangan/kaki, dan tidak jarang digunakan untuk wudhu. Bahkan menurut informasi, sekolah dapat melakukan penghematan biaya listrik karena selama musim hujan mereka tidak lagi menggunakan pompa listrik untuk menyedot air dari sumur.
"Kegiatan ini menunjukkan bahwa ada upaya yang bisa dilakukan untuk menghadapi kondisi kesulitan air dan kekeringan yang kebetulan menjadi salah satu bentuk kerentanan Kota Cirebon akibat dampak perubahan iklim. Harapannya, kegiatan serupa dapat direplikasi di tempat-tempat lain yang memiliki kebutuhan serupa," ungkap Ir. Yoyon Indrayana, MT selaku Kepala DPUPESDM dan sekaligus aktif di dalam Tim Kota Perubahan Iklim Kota Cirebon.
Dari berbagai pembelajaran, penerapan instalasi pemanenan air hujan ini menjadi praktik baik untuk diterapkan sebagai salah satu bentuk adaptasi perubahan iklim. Mulai dari instalasi sederhana skala rumah tangga, maupun yang sedikit membutuhkan material lebih untuk instalasi skala komunal.