Mohon tunggu...
gus payu
gus payu Mohon Tunggu... -

kesederhanaan hidup yang mapan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

#AksiBarengLazismu Rumah Ilalang di Tanah Gepeng

14 November 2014   23:41 Diperbarui: 17 Juni 2015   17:48 163
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Gambaran Project

Siapa yang tidak mengenal Pantai Kuta, keindahan Nusa Dua, patung Garuda Wisnu Kencana, Pantai Lovina, Taman Raya Bedugul, Gunung Batur, Trunyan, dan segudang objek wisata alam yang membuat pelancong enggan meninggalkan Bali. dari ujung barat hingga ke timur pulau Bali selalu menawarkan pesona unik untuk dikunjungi. Saya akan mengajak pembaca untuk melihat salah satu kawasan paling timur pulau Bali yaitu Karangasem.

Kabupaten Karangasem tepatnya terletak di 8º00'00" - 8º41'37,8" bujur selatan dan 115º35'9,8" - 115º54'8,9" bujur timur. Kabupaten ini memiliki luas daerah 83.954 hektar, yang terdiri atas 8 kecamatan: Karangasem, Abang, Kubu, Bebandem, Sidemen, Selat, Rendang, dan Manggis. Kabupaten Karangsem juga meliputi tiga kelurahan dan 68 desa tradisional, 52 kelompok komunitas, dan 526 dusun. Pendataan penduduk tahun 2003 mencatat bahwa jumlah penduduk total Kabupaten Karangasem adalah 388.320 orang, terdiri atas 193.518 pria dan 194.802 wanita. Penduduk Karangasem memiliki penghidupan yang beragam. Ada yang menjadi petani, nelayan, pedagang, pengrajin, dan bahkan ada aktif di bidang pariwisata. Mayoritas penduduknya beragama Hindu, yang sangat religius, sehingga hampir setiap hari ditemukan aktivitas ritual.

Di Karangasem juga tak terlepas dari pesona keindahan alam yang banyak menarik wisatawan. Ada taman Ujung, Pantai Candidasa, biota laut Amed, Bukit Jambul, dan lainnya. pesona keindahan ini menghadirkan opini bahwa Bali adalah pulau dengan citra glamor dan penduduk yang berkecukupan. Namun, tidak banyak yang tahu, di pelosok Bali ada beberapa kawasan yang merupakan anak-anak kandung negeri ini belum mendapatkan hak pendidikan yang selayaknya.

Rumah Ilalang di Tanah Gepeng

Perasaan iba akan menyelimuti anda ketika berkunjung ke desa Munti Gunung, desa yang dikenal sebagai rumahnya para pengemis. Inilah sisi lain Bali yang gemerlap, sisi lain Bali yang eksotis, sisi untuk Bali lebih berbenah terhadap nilai pendidikan untuk anak kandungnya sendiri. Saat melintasi permukiman ini, yang ada hanya perbukitan kering dengan sumber air yang sangat minimal.

Salah satu pengajar di sebuah sekolah. entahlah apa bisa disebut sebagai sekolah jika bangunannya masih mirip gudang yang tak berpenghuni. Kadek menutirkan bahwa anak-anak Munti Gunung masih banyak yang tidak mendapatkan pendidikan yang layak. Entah karena faktor tidak tersedianya fasilitas yang mendukung dan juga faktor internal anak-anak di desa ini yang sudah didoktrin bahwa sekolah yang membuang-buang waktu saja.

Perubahan Tidak Akan Pernah Terjadi Jika Kita Terus Menunggu Waktu Atau orang Yang Tepat. Kita Adalah Perubahan Itu Sendiri. “( Barack Obama)

Aku memiliki mimpi besar yang aku awali dengan mimpi sederhanaku membangun pendidikan yang layak di desa penuh gepeng (Gelandangan Pengemis).

Tempat lahirku adalah surgaku. Banyak orang menamainya surga dunia, pulau dewata, pulau seribu pura. Ya, tempat lahirku adalah pulau Bali. Pulau Bali terkenal dengan keindahan, kesejukan, kedamaian bagi siapa pun yang memandang. Aku sangat bangga memperkenalkan Bali pada kawan-kawanku. Setiap hari aku dimanjakan oleh keramaian kota. Deburan ombak yang setia bernyanyi untuk tamu asing dan domestik yang emnikmati Bali dengan segala kemewahannya. Surga belanja dengan barang-barang cantik banyak ditemukan di tempat ini. Aku merasa hidupku tak kurang dengan pemandangan indah. Inilah pulau dewataku. Aku berpikir bahwa semua tempat di Bali adalah surga dan penduduknya dengan bebas menikmati surga itu. Ternyata aku salah. Di tempat yang indah ini, masih banyak yang tak mendapat hal selayaknya, terutama pendidikan. Sisi lain pulau Bali yang megah. Ada anak-anak kandung negeri ini yang berusaha mewujudkan pendidikan sebagai suatu hak yang harus diperoleh.  Tepatnya di daerah Muntigunung Karangasem Bali, mimpiku terasa sangat dekat untuk membantu mereka yang ingin belajar.

Munti gunung merupakan sebuah dusun yang terletak di Desa Tianyar Barat Kecamatan Kubu Kabupaten Karangasem Bali dan tepatnya dusun ini terletak dilereng curam timur laut Gunung Batur Propinsi Bali. Puluhan tahun silam  bahkan sampai dengan satu tahun kemarin munti gunung sangat terkenal diseluruh Indonesia bukan dikarenakan oleh daerahnya yang banyak menyimpan situs sejarah, bukan karena alamnya yang indah sehingga banyak investor yang berebut mesuk kedsea ini, bukan pula karena seni budaya bali yang begitu tersohor ke seantero dunia, namun lebih dikenal karena hampir seluruh penduduk desa ini menjadi gelandangan dan pengemis (Gepeng) yang selalu menghiasi kota-kota besar di pulau Bali.

Kondisi Alam yang kering tandus tanpa ada satupun sumber mata air membuat seluruh masyakatnya bersusah payah untuk mendapatkan pasokan air bersih guna memenuhi keperluan hidup sehari-hari.

Dan yang sangat mencolok dari munti gunung jika dibandingkan dengan semua desa dibagian selatan Gunung Agung adalah Tingkat Pendidikan sebagian besar masyarakatnya masih rendah (tidak tamat SD). Sebagian besar masyarakatnya tidak bisa menggunakan bahasa Indonesia sehingga orang luar kesulitan untuk berinteraksi, sebagian besar buta aksara, akses pendidikan rendah, akses kesehatan sulit, sebagian besar tenaga potensial keluar untuk mencari pekerjaan sehingga yang menghuni desa hanya anak-anak dan orang jompo. Aktivitas desa ini nyaris tidak tampak dan akan ramai ketika ada kegiatan upacara keagamaan karena semua masyarakat yang beraktivitas diluar desa pulanng ke kampung halamannya.

Letaknya jauh dari perkotaan dan jalan yang harus dilalui penuh bukit dan bebatuan. Ada rasa penasaran dalam ingatanku. Munti Gunung merupakan suatu daerah di Kabupaten Karangasem, wilayah paling timur pulau Bali. Daerah ini termasuk dalam kecamatan Kubu. Jarak dari Denpasar dapat ditempuh selama kurang lebih tiga jam. Begitu sampai di desa ini, aku dan rombongan disambut udara panas yang menyengat. Matahari seolah begitu dekat. Aku juga melihat beberapa ibu-ibu menjinjing ember besar dengan kain di atas kepalanya.

“mau kemana Bu?, tanyaku”

ngalih yeh bersih, gus” (mencari air bersih nak)

Rombongan ibu dan anak ini harus berjalan panjang menaiki pegunungan kering guna mendapat air bersih. Cuaca menyengat rasanya sudah begitu dirasakan oleh mereka. Mereka tampak ikhlas melakukan ini, karena memang ini adalah salah satu cara untuk mendapat air bersih guna memenuhi kebutuhan hidup akan air.

Aku berbincang bersama saudaraku tentang kemudahanku mendapat air bersih. Tinggal memutar keran saja, air bersih dengan jumlah yang tak terbatas mengalir begitu keras. Aku juga ingat sering bermain air bersama adikku, membuang air dengan mudahnya. Aku tak tahu jika ada orang yang sangat sulit mendapat air bersih dan harus berjuang tiap harinya demi air seember, seperti ibu-ibu di desa Munti Gunung ini.

Aku berkeliling lagi. Melihat hal lain yang belum pernah kulihat sebelumnya. Segerombol anak kecil seusia sekolah dasar sedang menjinjing bakul bekas di atas kepalanya. Anak-anak ini berjalan tanpa alas dan bajunya dibiarkan terlepas, sehingga perut buncitnya terlihat sangat jelas. Begitu mereka melihat aku dan rombongan, mereka menengadahkan tangan, meminta recehan pada kami.

“pak, bli, kami belum makan”

Aku kasihan terhadap anak-anak ini. mereka terlihat kusam dan kelaparan. Rambut pirangnya juga menegaskan bahwa mereka sudah seharian di jalanan atau dari rumah ke rumah. aku ingin memberinya sejumlah uang, namun dilarang oleh sepupuku. Ia menjelaskan bahwa anak-anak di desa ini sudah terbiasa mengemis. Untuk menghilangkan kebiasaan itu, maka dilarang memberi apapun pada pengemis dari desa ini. Bahkan banyak warga desa Munti yang menjadi pengemis hingga ke kota-kota besar seperti Denpasar, Badung, dan kota lainnya di Bali.  Gepeng yang umumnya ibu rumah tangga mengajak anak-anaknya meminta-minta hampir di tiap persimpangan jalan di kota besar seperti Denpasar, Kuta, Klungkung dan Gianyar. Kejadian inilah yang membuat sepupuku bercerita panjang lebar tentang asal usul mengapa desa Munti Gunung ini dikenal sebagai desa asala para pengemis.

Menurut cerita yang kudengar, dahulunya di desa ini terkena kutukan bahwa masyarakat harus menjadi pengemis kelak. Apabila mereka, warga asli desa Munti Gunung ini tidak menjadi pengemis, maka akan sakit-sakitan. Warga sekitar menyakini adanya mitos dan kepercayaan tersebut. Inilah yang menjadi salah satu alasan mengapa warganya mengemis. Namun, sampai saat ini belum ada yang mampu menjelaskan apakah mitos dan cerita itu benar adanya.

Aku semakin tertarik dengan alam dan masyarakat desa Munti gunung ini. sepanjang jalan aku melihat suasana asli yang belum tersentuh gaya modern sedikit pun. Kehidupan warga di tempat ini juga jauh dari apa yang kualami di kota. Aku bertanya dalam hati, “apakah mereka tidak pernah kesepian?”

Kini aku sampai di wilayah paling ujung Munti Gunung. Dari tempatku ini, aku bisa melihat semua pemandangan. Aku menghitung jumlah rumah penduduk tak terlalu banyak dan padat. Kerlap kerlip lampu juga tidak begitu terang. Suara kendaraan hanya sesekali terdengar. Lebih banyak suara jangkrik tengah malam dan nyanyian burung pada pagi hari.

“di desa ini, bagian dusunnya, ada juga yang belum banyak yang mendapatkan aliran listrik”

Sepupuku mengagetkanku dengan kalimat yang diucapkannya. Aku dapat membayangkan, di rumah anak-anak ini tidak dapat menonton televisi, siaran anak-anak, atau informasi yang berkaitan dengan dunia di luar desa Munti Gunung. Kasihan sekali. Namun, aku melihat anak-anak di desa ini selalu bermain dengan girang.

Di suatu pagi aku melihat anak-anak bermain gasing tanah, sebuah permainan tradisional yang sudah tak pernah kumainkan lagi. aku ikut memainkannya. Ternyata, gerakan gasingku kalah cepat dengan gerakan gasing anak-anak desa Munti ini. Ada juga anak perempuan yang bermain kepyak, permainan tradisional yang hanya pernah kudengar namanya lewat cerita masa kecil Ayahku. yang paling aku suka yaitu bermain goak-goakan. Permainan ini sangat seru dan menguras tenaga. Mereka sangat ceria. Aku sering merasa bahwa hp yang kupunya berisi semua permainan yang dibutuhkan, tetapi aku juga butuh bermain seperti anak-anak ini sesekali.

Kami berjalan lagi. Aku melihat beberapa lahan warga dibiarkan kering dan tak berisi. Sepupuku menjelaskan bahwa banyak warga yang meninggalkan ladangnya dan pergi ke kota-kota besar untuk mengemis. Pendapatan menjadi pengemis jauh lebih besar dan menjanjikan daripada diam terus di Munti Gunung. Sehari warga bisa mendapat uang hasil mengemis sebanyak 100.00,00 rupiah. Aku benar-benar kaget. Mengapa mereka memilih menjadi pengemis di saat usia mereka masih sangat muda dan punya banyak tenaga untuk bekerja?

Aku semakin dekat dengan mimpiku. Aku ingin membangun sebuah sekolah seni di tempat tandus ini. sebab aku melihat anak-anak ini, terutatama perempuannya memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi seniman. Namun, aku tahu mimpiku ini tidak mudah. Aku tak menyerah. Melainkan memulai dari hal kecil untuk menarik perhatian mereka agar mau belajar. Aku membagikan beberapa buku bacaan kepada anak-anak di Munti Gunung ini. buku bacaan aneka bentuk, warna, serta gambar-gambar menarik membuat mereka sangat terkesan dan ingin tahu lebih banyak.

Mereka sangat tertarik dengan dunia binatang dan dunia bawah laut. Namun, sayang banyak dari mereka yang belum pandai membaca. Aku merasa bersalah telah berpikir bahwa Bali ini kaya dan baik-baik saja. aku baru sadar masih banyak yang harus dicerdaskan di tempat ini. masih banyak anak-anak yang butuh bantuan untuk mengenal huruf, membebaskan mereka dari kegelapan yang sesungguhnya. Aku tidak mau desa ini hingga tahun-tahun mendatang tetap dikenal sebagai desa penghasil gepeng. Aku tak mau. Aku yakin anak-anak ini juga sependapat denganku. Mereka tidak ingin dikenal hanya sebagai anak gepeng atau anak pemalas yang tak mau berubah hanya karena sebuah mitos. Aku mencintai alam munti gunung dan juga anak-anak yang setia merawat desanya hingga kini. Indonesia cerdas dimulai dari generasinya yang dicerdaskan.

“Rumah Ilalang di Tanah Gepeng” yang akan menyasar Kabupaten Kubu, Desa Munti Gunung merupakan kegiatan terintegrasi antara kajian dan fasilitasi literasi. Kajian dilakukan dengan pendekatan budaya untuk menggali akar persoalan, aspirasi, dan sudut pandang komunitas terhadap situasi dan kondisi pendidikan. Hasil kajian diharapkan menjadi masukan yang berguna bagi para pihak yang terkait persoalan pendidikan di desa Muntigunung ini. Rumah Ilalang ini dibentuk serupa clc (Comunity Learning centre) yang akan menempatkan beberapa pengajar muda untuk berbagi bersama anak-anak yang tidak mendapatkan pendidikan dasar. Selain membekali anak-anak Munti Gunung dengan kemampuan membaca, berhitung, dan menulis yang paling minimal, program Rumah Ilalng ini juga akan menguatkan budaya serta kearifan lokal masyarakat di desa ini. tujuannya adalah untuk meniadakan anggapan bahwa di desa ini adalah rumahnya para gepeng. Saya ingin sekali citra negatif ini lepas dari desa Munti Gunung, terutama generasinya. Bagaimanapun juga, label negatif semacam ini akan menjadi batu penghalang untuk perkembangan desa Munti Gunung. Mimpi saya ingin membudayakan kesenian tari dan gong di desa yang anak-anaknya masih polos ini. para pengajar muda yang nanti ditempatkan di daerah ini akan menaburkan benih dan menjaring anak-anak desa Munti Gunung untuk menjadi penggerak desa selanjutnya. Sekali lagi, mimpi saya teramat besar untuk desa ini bisa mengalami kemajuan dan menghilangkan mitos-mitos tentang tanah gepeng. Anak-anak desa ini harus bisa menari dan menguasai kesenian sehingga mereka nanti bisa menjadi duta perubahan, duta kemajuan untuk desa tercintanya, Munti Gunung. Saya yakin, potensi anak-anak di desa ini tidak kalah dengan anak-anak lainnya di Bali maupun Indonesia. hanya saja mereka belum mendapatkan kesempatan dan pionir yang tepat. Saya akan menempatkan “guru hidup” yang benar-benar memberikan apa yang dibutuhkan oleh anak-anak desa Munti Gunung berdasarkan kearifan lokal budayanya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun