Mohon tunggu...
Nyomann Adikara Mahardikajaya
Nyomann Adikara Mahardikajaya Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS, KETUA DPD IHSA (Indonesia Homestay Association) BALI, RELAWAN BUMIKITA

Saya penulis, spiritualis, pendidik, aktivitis lingkungan kampanye pengurangan sampah plastik, penggerak Heritage Tourism

Selanjutnya

Tutup

Parenting Pilihan

Menyusui, Ritual Suci Pembentuk Akhlak Luhur Anak

14 Agustus 2023   10:00 Diperbarui: 14 Agustus 2023   11:41 309
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Melihat judul "Menyusui, Ritual Suci Pembentuk Akhlak Luhur Anak" ini,  mungkin seketika alis Anda terangkat naik keheranan. Apa hubungannya menyusui dengan ritual ? Pakai membawa-bawa akhlak luhur segala. Bukannya sedang mencari-cari sensasi pembeda, saya memang akan mencoba berbagi perspektif yang berbeda dan sangat penting terhadap kegiatan menyusui. 

Apa yang terpikir ketika Anda melihat sebuah arca atau patung dewi  yang bertelanjang dada yang menampakkan payudara? Arca ini banyak  dijumpai pada candi-candi di Jawa atau pura di Bali. Saya sering menyaksikan wisatawan domestik di  Bali banyak yang merasa kikuk seperti malu-malu. Terutama ibu-ibunya. Kalau bapak-bapaknya, nampaknya sih diam-diam serius sebagai pengamat. Wkwkwk. Mereka dan mungkin juga Anda, sedang mengalami pergulatan batin. Mengapa di tempat yang dianggap suci ada penampakan yang kelihatannya tidak sopan?

Pada umumnya, orientasi kita sebagai  orang dewasa dalam melihat payudara adalah seksualitas. Karenanya dalam kasus di atas, para lelaki terbangkitkan hasratnya atau ada juga yang merasa tidak nyaman. Sedangkan para perempuan merasa seperti dipermalukan.   Lalu apakah para pendahulu kita dulu adalah para maniak seks ? Atau apakah ada kearifan tinggi yang mereka miliki yang tidak mampu kita jangkau ? Karena keduluan oleh desakan orientasi birahi yang muncul melatari penghakiman kita? Dua opsi ini menjadi pilihan yang menarik untuk dieksplorasi.

Masyarakat Nusantara jaman dulu jelas bukan tipe masyarakat yang maniak seks yang layak dilabeli primitif. Sebagai bukti, kita dapat melihat banyak  video atau foto-foto dokumenter yang menampilkan aktifitas masyarakat Bali di internet.  Digambarkan bahwa sampai tahun 40-an, hampir semua perempuan Bali masih  bertelanjang dada dalam kehidupan sehari-hari. Bukan hanya di dalam rumah, melainkan di tempat-tempat umum yang terbuka. Bahkan ketika mengadakan kegiatan latihan menari yang ditonton banyak orang sekali pun. Tidak ada ekspresi yang aneh dari para lelaki pada waktu itu. Semuanya biasa-biasa saja.  

Kearifan asli Nusantara tidak menempatkan perempuan sebagai objek seks. Perempuan dimuliakan dan ditinggikan karena memiliki energi feminim. Energi yang menghasilkan feminimitas  seperti kasih sayang, pengayoman, kesabaran, kelembutan, kehati-hatian, kedamaian, keindahan dan sejenisnya. Sifat-sifat ini lebih dekat kepada sifat-sifat Ilahi dibandingkan maskulinitas, sifat-sifat  yang pada umumnya mendominasi laki-laki. 

Energi feminim ini merupakan kekuatan yang sangat memberdaya bagi semua sendi kehidupan, bahkan yang 'menghidupi' laki-laki. Sehingga seorang perempuan dalam keyakinan leluhur kita adalah sakti bagi pasangannya. Fakta-fakta yang kita jumpai sampai saat ini, seorang laki-laki yang ditinggal mati oleh istrinya akan kehilangan kekuatannya. Analoginya bagaikan kulkas, AC, kipas angin dan semua barang-barang elektronik yang diputuskan daya listriknya. Kehilangan daya, membuat hampir semua para duda tidak mampu bertahan lama untuk menjadi single parent. 

Kita juga bisa melihat bahwa banyak tokoh yang sepeninggal istri tercinta langsung menurun produktifitasnya. Bahkan tidak berselang lama juga meninggal menyusul Sang Sakti. Fakta lain yang mendukung posisi sakti ini, akhir-akhir ini muncul  idiom yang populer tentang kesuksesan yang berbunyi,"Di balik seorang pria sukses, pasti ada seorang perempuan yang luar biasa!"   

Mewakili Nusantara, karena masih kental menjaga kearifan Nusantara, Bali saya jadikan contoh bahasan lebih spesifik tentang topik kita ini. Kebetulan sebagai orang Bali, saya mengalami dan mencermati kearifan-kearifan tersebut.  

Payudara adalah salah satu simbol feminimitas yang sangat penting.  Dari generasi ke generasi, kami dididik untuk memahami bahwa payudara itu merupakan simbol kasih sayang seorang ibu kepada kita. Juga simbol awal kehidupan kita di muka bumi ini.  Melalui payudara Ibu, kita mendapatkan nutrisi kehidupan untuk yang ke pertama kalinya. Di dalam dekapan hangatnya, Ibu menyusui kita dengan penuh kasih. 

Di samping asupan nutrisi, juga ada kedekatan psikologis yang terbangun. Ibu pada saat menyusui akan dibanjiri hormon Oksitosin atau hormon cinta. Cinta murni yang tidak tercemar dengan nafsu lain. Konon hormon ini menghasilkan rasa bahagia yang tertinggi bagi seorang ibu. Banyak penelitian dan kajian yang mendukung hal ini, yang termuat pada banyak artikel dan jurnal. Kebahagian ini juga akan  mengguyuri sang bayi. Begitu bermakna dan indahnya kegiatan menyusui ini, tidaklah berlebihan kalau saya menyebutnya sebuah ritual suci.

Setiap ritual akan memiliki spirit yang menjiwainya.  Spirit dari ritual, spiritual ! Kita sedang membahas pentingnya menyusui dari perspektif spiritual.  Cinta kasih, kebahagiaan, kedekatan khusus, kick-off (meminjam istilah sepakbola) bagi kehidupan yang indah, merupakan spirit-spirit yang terbangun dalam ritual menyusui. Sayang kalau seorang ibu menyia-nyiakan kesempatan emas ini. Jangan mudah menyerah dengan kesibukan lainnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun