Mohon tunggu...
Ni Nyoman Merista
Ni Nyoman Merista Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Saya ingin menulis dengan baik.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Bagaimana Cara Kaum Minoritas Berekspresi di Dunia Maya?

25 Desember 2023   23:53 Diperbarui: 26 Desember 2023   01:06 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Seiring berkembangnya zaman, masyarakat dipermudah oleh adanya media baru. Perkembangan media baru seperti internet dan media sosial semakin membantu keseharian orang-orang, terutama dalam hal komunikasi. Media sosial menjadi salah satu medium yang memungkinkan penggunannya berinteraksi dengan pengguna lain dan membentuk ikatan sosial yang tidak terbentang jarak (Nasrullah, 2016). Adapun platform media sosial yang marak digunakan adalah Instagram, TikTok, X (dulu Twitter), dan Facebook.

Platform media sosial yang semakin berkembang mengikuti zaman, menjadi acuan bagi individu maupun kelompok dalam mengekspresikan diri mereka, salah satunya adalah para minoritas. Kaum minoritas merupakan suatu jenis atau kelompok yang jumlahnya lebih sedikit dibandingkan dengan kelompok-kelompok disekitarnya. Hal itu juga disebutkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dengan tambahan bahwa kaum minoritas tersebut selalu didiskriminasi oleh kaum dominan. Dikutip dari laman berita Liputan6.com, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia mengatakan bahwa terdapat lima kaum minoritas yang membutuhkan upaya perlindungan dan jaminan dari negara di Indonesia, yaitu etnis, ras, disabilitas, agama, dan LGBT atau mereka dengan orientasi seksual dan identitas gender menyimpang.

LGBTQ merupakan singkatan dari jenis-jenis penyimpangan orientasi seksual, tersebut Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender, dan Queer. Istilah ini bermula sebagai pengganti ungkapan gay community atau Komunitas Gay dengan singkatan yang terdiri dari LGB saja. Di awal tahun 1990-an istilah LGBT dengan penambahan huruf  "T" atau "Transgender" terbit. Dewasa ini, Q atau Queer ditambahkan sehingga menjadi LGBTQ yang dipakai untuk melabelkan orang-orang dengan orientasi seksual yang menyimpang.

Teori budaya yang dapat dikaitkan dengan pembahasan kaum minoritas LGBTQ adalah teori penetrasi sosial. Menurut Littlejohn (2017), teori penetrasi sosial memiliki sistem yang sangat terorganisir terkait jati diri seseorang dan orang lain. Teori penetrasi sosial ini dikembangkan untuk menjelaskan evolusi yang berkembang dalam hubungan interpersonal (Altman & Taylor, 1975). Altman dan Taylor (1975) juga mengatakan bahwa teori ini cocok dalam pembahasan mengenai pengungkapan jati diri seseorang dengan dinamika penguatan. Maksud dari dinamika penguatan di sini adalah apabila respon orang lain terhadap diri seseorang bernilai positif, mereka akan lebih mengungkapkan pribadi sendiri kepada orang tersebut. Proses ini akan terus meningkat seiring berkembangnya tingkat pertemanan atau pemahaman kedua pihak yang terlibat, hingga pada titik terdalam pengenalan jati diri seseorang.

Teori penetrasi sosial ini bisa diibaratkan dengan bawang. Bawang yang bentuknya berlapis-lapis sama seperti kepribadian manusia. Apabila semakin dalam mengetahui tentang seseorang, semakin dalam pula bawa yang terkupas. Oleh karena itu, teori ini disebut juga sebagai teori bawang. Teori bawang ini dapat dikaitkan dengan pembahasan di atas mengenai LGBTQ. Kelompok LGBTQ yang merupakan kelompok minoritas tidak semudah itu mengungkapkan jati diri mereka kepada publik. Mereka hanya berani mengatakannya kepada orang-orang yang sudah mengenal diri mereka hingga lapisan terdalam maupun orang-orang yang memahami perasaan mereka.

Di Indonesia sendiri, terdapat dua orang yang terkenal karena penyimpangan sosialnya, yaitu Ragil Mahardika dan Lucinta Luna. Nama kedua orang tersebut sudah tidak asing di telinga orang-orang Indonesia. Ragil Mahardika merupakan orang Indonesia yang bekerja di Jerman dan merupakan seorang penyuka sesama jenis. Sementara Lucinta Luna, dikenal sebagai seorang transgender. Baik Ragil dan Lucinta tidak dapat disamakan dengan teori penetrasi sosial karena keduanya, tanpa mengenal orang-orang di luar sana, mereka berani mengungkapkan diri bahwa mereka adalah salah satu dari kaum minoritas yang eksistensinya banyak ditentang di berbagai wilayah.

Bagaimana dengan mereka yang tidak berani untuk memberitahukan publik? Tidak hanya sebagai kaum yang minoritas saja, LGBTQ menjadi kelompok yang banyak ditentang oleh masyarakat. Hal tersebut dikarenakan bagaimana orientasi seksual para LGBTQ tidak sesuai dengan tatanan seharusnya. Oleh karena itu, mereka kesusahan untuk membuka diri kepada masyarakat. Namun, kaum LGBTQ menjadi kelompok yang tidak mendiskriminasi jenis kelamin, usia, status sosial, hingga agama. Sehingga dalam pandangan beberapa orang mereka terlihat saling mendukung satu sama lain, terutama dalam mengekspresikan diri dan memahami konsep diri masing-masing.

Berkaitan dengan cara memahami diri, media sosial membuat kelompok ini menjadi sedikit berani dalam mengekspresikan diri mereka. Salah satu cara yang dilakukan kelompok LGBTQ dalam berekspresi di dunia maya adalah membuat komunitas virtual. Komunitas ini dapat ditemukan di media-media sosial yang menjangkau internasional, seperti Instagram, TikTok, X, dan Facebook. Bahkan di Instagram, terdapat beberapa akun terkait LGBTQ yang sudah bercentang biru.

Meskipun dalam dunia nyata atau pada kesehariannya mereka tidak menampakkan sosok mereka, para kaum minoritas ini memiliki tempat sendiri untuk menunjukkan diri mereka yang apa adanya. Apabila terlalu takut atau malu untuk menunjukkan diri sesuai kehidupan nyata mereka, masih terdapat wadah-wadah tersendiri yang dapat mereka jadikan pengganti dalam berekspresi, seperti membuat akun baru, atau menggunakan platform media sosial lainnya. Platform media sosial lain yang dapat digunakan adalah aplikasi kencan online seperti Tinder, Bumble, Omi, dan sebagainya. Seperti itulah, kaum minoritas LGBTQ berekspresi di dunia maya.

Catatan:

Tulisan ini bukan dimaksudkan untuk membenarkan atau menyalahkan, tetapi menganalisis dari perspektif kajian budaya yang ada.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun