Sebelum bertemu dengan dirinya aku tak pernah memiliki seseorang yang begitu berarti untukku. Kukira sahabat sejati hanya ada di dalam buku-buku yang ditulis para penggahayal maupun pujangga pelantun nada yang bersenjatakan gitar tua, tapi bocah gempal berkulit sawo matang itu menunjukkan bahwa semua itu nyata dan membuatku benar-benar merasakannya. Pertama kali aku bertemu dengannya saat usia kami sudah menginjak akhir belasan dipenghujung masa SMA. Aku masih mengingat masa-masa dimana kami senantiasa menghabiskan waktu bersama. Hari ini genap 2 tahun dia meninggalkan semua orang tercintanya. Hanya doa yang bisa aku kirimkan padamu kini sahabatku.
Kriiiiiiiiing!!!
Bel masuk yang begitu keras telah berbunyi ketika aku baru saja turun dari kendaraan umum. Aku segera berlari namun sial, gerbang telah ditutup! Hari ini harus berhadapan lagi dengan Pak Ramli nih. Semakin lama semakin banyak murid-murid yang membanjiri jalanan di depan sekolahan kami. Kalau kalian belum terbiasa melewati jalan raya di depan sekolah kami di pagi hari, kalian mungkin akan takjub melihat pemandangan ini. Tidak hanya satu dua orang yang telat masuk, jika semua dikumpulkan menjadi satu tanpa membedakan kelas sepuluh, sebelas maupun dua belas itu artinya tiap pagi akan ada satu kelas yang tak berpenghuni sebelum Pak Ramli berbaik hati membuka pintu pagar untuk para pemalas ini. Bahkan terkadang kalau sedang sial ada juga satu dua guru yang terpaksa ikut antrian masuk bareng kami murid-murid. Tidak disiplin begitu mengakar kuat dalam budaya sekolah ini. Entah dimulai sejak kapan dan akan berakhir kapan pula. Saat itulah pertama kalinya aku bertemu dengan Ramadhan.
"Sial, telat lagi!" dia yang ada disampingku ini terus mengumpat diatas motornya.
"Langganan ya?" aku menyahutinya.
Sambil mengamatiku sejenak dia lalu berkata, "Hahaha.. iya."
"Kau Ramadhan anak IPA 3 kan?"
"Iya. Tapi maaf, aku gak tau siapa namamu." dia menatapku dan tersenyum.
"Aku Rizal, kelas IPA 1."
Dari jauh aku melihat Pak Ramli mulai mendekat ke arah gerbang, aku kira dia akan membuka pintu tapi ternyata dia menyampaikan ultimatum pada kami bahwa tidak ada yang boleh masuk hari ini dan beliau menyuruh kami semua pulang. Ramadhan bertanya padaku apa mau ikut nongkrong bersamanya? Aku yang tak terbiasa membolos ini masih sedikit ragu menjawab ajakan darinya. Aku melihat seorang teman perempuanku yang bernama Lintang memohon-mohon pada Pak Ramli agar ia diijinkan masuk karena dia baru kali ini terlambat. Pak Ramli tidak menggubrisnya. Dari pada tak tau mau kemana aku akhirnya menerima ajakan Ramadhan. Sesampainya di warung nasi Taman Persahabatan, Ramadhan menyuruhku memesan apa saja. Ketika aku mendengar dia memanggil pemilik warung dengan sebutan Om, barulah aku mengerti mengapa dia berani menyuruhku memesan apa saja. Selesai makan kami berbicara ngalor ngidul tentang sekolah dan apa saja. Walau suka terlambat masuk sekolah, Ramadhan ini kapten tim basket sekolah lho. Dia sering terlambat karena harus mengantar adiknya terlebih dahulu. Kalau aku sendiri baru 3 kali ini terlambat.
Sejak saat itu hubungan kami sedikit lebih akrab karena kami sama-sama suka menghabiskan jam istirahat pertama di perpustakaan. Dia baru sadar bahwa kami sebenarnya sudah sering bertemu disini tapi belum saling mengenal seperti sekarang. Kami sering bertukar informasi tentang buku bagus, komik dan macam-macam bahkan kami membuat jadwal pembelian buku baru tiap bulannya untuk saling melengkapi koleksi jika memang buku tersebut tak ada di perpustakaan. Bila bulan ini aku yang membeli buku maka bulan depan dia yang membeli. Setelah selesai dengan buku masing-masing kami saling bertukar bacaan untuk menghemat pengeluaran. Kadang dia mengajariku teknik bermain basket dan olahraga lain kesukaannya selain basket lalu aku membalas dengan mengajarinya matematika dan pelajaran lain yang sulit dipahami olehnya. Tak jarang pula kami membicarakan anak perempuan di kelas masing-masing yang begini lah yang begitu lah, tapi kami punya prinsip yang sama, belum mau berpacaran walau ada perbedaan latar belakang antara prinsipnya dengan prinsipku. Tahun terakhir masa-masa SMA kami lewati dengan susah payah penuh perjuangan demi bisa lulus dan melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi. Rasanya waktu begitu cepat berlalu hingga kami terpisah demi melanjutkan cita-cita masing-masing. Lama kami tak bertemu, kontak pun juga terputus. Satu setengah tahun yang lalu aku mendengar kabar dari salah satu teman SMA yang memberitahuku bahwa Ramadhan telah meninggal karena kecelakaan. Aku begitu terpukul dan menyesal tidak bisa datang saat pemakamanmu. Selamat jalan sobat. Semoga amal kebaikanmu di terima disisiNya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H