Mohon tunggu...
Awan Kinton
Awan Kinton Mohon Tunggu... -

Ada mereka yang mencari kebenaran, ada mereka yang mencari pembenaran.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Karena Menulis di "Kompasiana" Tidak Berguna, Maka?

23 Desember 2009   16:29 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:48 322
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Setiawan Triatmojo adalah seseorang yang telah dirusak pemahaman tentang menulis oleh "Kompasiana". Bagaimana bisa ia berkomentar secara berturut-turut seperti ini: "Yg mau menerima ajaran jangan nulis di sini. Tapi komen masih boleh. Yg ga mau diajar teruskan nulis, klo mau, klo ga mau jg gpp. hhhhhhh." "Lho nanti klo terus nulis di sini dibilang ga ada gunanya?" "Lha menurut kamu sendiri gimana?" "Ya ada, aq dr ga bisa nulis sekarang bisa. Dari takut² ungkapkan ide, sekarang berani. Dari biasanya ngrumpi sama temen ibu² tetangga, sekarang bisa ngrumpi dg ibu² seindonesia." "Klo menurutmu itu manfaat yg kamu peroleh, ya teruskan sj. Toh kamu jg ga merasa rugi kehilangan waktu atau ga dibayar." "Tapi, jgn² nanti menguntungkan pihak kompas atau kompas memanfaatkan kita utk cari keuntungan? Wah ini ketidakadilan dong?" "Memangnya klo ga ada kompasiana, kami bisa nulis di Koran kompas? atau mungkin di koran lain, koran daerah kek, atau malah sekedar buletin RT misalnya. Kamu merasa rugi, mmgnya dah nulis berapa?" "Yahh klo pun ada kemunginan bisa nulis utk dimuat di Koran, kayaknya tetap ga akan pernah deh… ga terpikir. Lha katanya jg banyak yg ngirim tp ga dimuat² tuh. Lalu sekrg aq baru nulis satu di kompasiana. Napa memang?" "Nah itu!! Kita tanya dulu sama yg sdh terlanjur nulis bepuluh² bahkan beratus² tulisan tuh. Umpamanya Mbak ML dan Pak Kate, mereka merasa rugi ndak nulis di sini. Merasa rugi ndak, ga dibayar. Atau tnya Pak CH dan RR, yg sdh senior itu, dgn tulisan yg klo dihargai, mgkn dah bisa menjadikan beliau kaya raya? Gimana?" "Oke deh. Kita tunggu jawaban mereka. Salam kompasiana." Dan satu komentar tanggapan terhadap komentar dari Ary Amhir. Ary Amhir mengatakan, "aduh bung setiawan semangat sekali hehe.. anjing menggonggong kafilah tetap berlalu." Dikomentari oleh Setiawan Triatmojo, "lhoh siapa ini? anak manis, kenapa malam² keluyuran ke sini? Lagi bawa apa tuh?" Lucunya, kotak komentar saja dijadikan tempat yang memikat untuk melepas penat, karena secara tidak langsung "disuruh" menulis, kata Setiawan Triatmojo membalas Ary Amhir, "Yah bung setiawan..mumpung yg punya rumah lagi kondangan, mampir sebentar " Itu membuka mataku, betapa negeri ini mudah sekali dihasut, salah satunya. Selain itu argumentasi mereka terlalu kekanak-kanakan dan tidak menyerang pokok asli tulisan ini. Kita masih mengingat tragedi 66, Malari, terakhir 98. Peristiwa jahat yang menasbihkan dirinya sebagai jangkar perusak kemanusiaan bangsa. Dalam film "Gie" karangan Riri Riza, ditampilkan di layar lebar itu, banyak sekali anak negeri yang turut menjadi korban transisi pemerintahan, pasukan GERWANI (Gerakan Wanita Indonesia) banyak diperkosa, hingga pembunuhan berjuta manusia di Bali sana. Ini adalah pertanda bangsa ini belum kuat mentalnya. Manusia Indonesia belum memiliki pegangan hidup yang kuat. Jelas manusia dapat kita pola sesuai keinginan kita. Mungkin istilah politik Apertheid, terminologi Goyim, atau ras kedua oleh Nazisme itu berdasarkan semangat menurunkan hakikat kemanusiaan. Saat ini, khususnya di Indonesia, manusia dididik untuk bekerja lebih dulu, lalu berpikir. Tidak seperti Rene Descartes hakikatkan tentang keberadaan diri manusia, "Manusia mesti berpikir, agar lalu ada!" Karena menurutnya, seluruh dimensi kehidupan di alam ini sama, kecuali pola pikirnya. Segala sesuatu itu berakar dari budaya. Dan bangsa, juga negara ini belum memiliki budaya yang mengakar tentang itu semua. Jika kita kembali ke masa sekitar 60-70 tahun lalu, ketika Madilog (Materialisme, Dialektika, dan Logika) dikeluarkan diantara bom dan desing peluru tentara Jepang, Tan Malak telah mewanti-wanti agar bangsa ini memiliki akar berpikir yang kuat, sekaligus keterampilan hidup yang mumpuni. Dalam suatu narasinya yang populer, Tan Malaka berkata, lebih kurang, "Aku telah membuat sekolahan yang membangun watak dan keterampilan manusia, agar manusia tidak menjadi peminta-minta Kolonialisme." Kenyataannya, setelah Tan Malaka, Bapak yang ditasbihkan oleh Bung Karno sebagai pahlawan revolusi terbunuh, maka cita-cita itu semua hilang. Atau nenek kakek, kawan-kawan nenek kakek, atau apalah itu yang pernah mengenyam pendidikan di Taman Siswanya Ki Hadjar Dewantara. Mereka tidak menjual kemampuan teknis, tidak mendapatkan prestasi, tidak membuat apa pun, kecuali watak merdeka! Setelah keluar dari Taman Siswa itu adalah manusia Indonesia yang lahir dengan semboyan "Salam Merdeka!" Dan sekarang yang tersisa adalah jejak-jejak kebodohan inlander. Kasus yang paling santer saat ini adalah Century. Betapa bangsa ini mudah sekali diarahkan perhatiannya ke sesuatu yang lebih "populer". Karena manusia Indonesia bertindak berdasarkan atas suka-tidak suka! Suka menulis di "Kompasiana" karena bapakku kerja di "Kompas", aku tidak suka menulis di "Kompasiana" karena bapakku kerja di "Republika", misalnya. Pluralisme bukan menjadi gada, melainkan menjadi batu sandungan berbangsa. Manusia Indonesia, selama tidak mau berpikir sendiri, maka banyak pihak yang akan memainkan pikiran dan hati mereka. Di sebuah acara parodi politik, aku sempat berbicara dengan kawanku tentang posisi media di masyarakat. Ternyata anggapanku selama ini salah! Bagaimana bisa pilar demokrasi keempat menjadi candu bagi rakyat, ketika mereka melakukan pemberitaan yang tiada kepentingannya untuk bangsa dan negara. Mereka memainkan isu! Juga parodi politik itu memainkan isu. Lalu aku bertanya kepada kawanku itu, "Jadi saat ini tidak ada yang berpihak kepada rakyat?" Dengan pesimis kawanku itu menjawab, "Tidak ada!" Bagaimana ini bisa terjadi? Mohon "Kompas" memikirkan ini. 61% kata Ruhut Sitompul SBY mendulang suara rakyat untuk menjadi presiden, dan sebanyak nilai itu rakyat saat ini menaruh ketidakpercayaan kepada Bapak Pasuruan itu. Awalnya dari kasus Anggodo, lalu melebar ke Century, dikulik oleh Prita dan Luna Maya, saat ini hilang entah kemana! SBY kembali aman. Apakah manusia harus selalu dimanipulasi? Ini ide yang buruk, aku yakin manusia itu terlahir sebagai kertas putih dan kembalikan mereka sebagai kertas putih! Bagiku sebagai akedemisi menulis di "Kompasiana" jelas berguna, karena hidupku bukan untuk uang. Di kehidupan nyata pun aku tidak berhasrat mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya. Lalu bagaimana mereka yang menjadikan uang sebagai motor penggerak hidup mereka, lalu menulis di Kompasiana ini, itu jelas suatu ketidaksadaran. Bisa saja kita menulis untuk kepentingan orang lain, yang buruk itu. "Biarlah itu terjadi!" kata sebagian orang, asal mereka mendapatkan keistimewaan, baik berupa materi maupun imateri. Sudah jelas materi tidak bisa kita dapatkan dengan menulis di "Kompasiana", karena itu aku menyebutnya tidak berguna! Itu dari pandangan hidupku tentang dunia yang telah terjerat materialisme ini. Segalanya mengharuskan uang, uang telah menjadi teologi baru!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun