Mohon tunggu...
Novita Sari
Novita Sari Mohon Tunggu... Mahasiswa - Aktif di dunia literasi, pergerakan dan pemberdayaan perempuan

@nys.novitasari

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Perjalanan Menuju Surati

16 Februari 2020   21:05 Diperbarui: 17 Februari 2020   07:19 156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ia lalu masuk ke daerah rawa. Rawa Bento orang menyebutnya, dijadikan tempat menanam padi oleh orang kampung sebelah yang jaraknya tak terlalu jauh dari sini. Rawa itu tampak kosong, rerumputan liar tumbuh subur di petakan sawah. Memang belum masuk masa bercocok tanam, tampaknya warga membiarkan saja kondisi ini.

Suara-suara kecil menghampiri Bujang. Suara ingauan yang seakan muncul setelah ia menginjak daun-daun pulung di bantaran sawah. Dalam pikirannya ini adalah salah satu ujian untuk dapat sampai ke rumah keramat itu, Datuk Dullah memang tidak berpesan jika bentuk-bentuk ujiannya adalah suara tertentu.

Yang dikatakan datuk Dullah hanya ia dilarang untuk menoleh dan kembali ke belakang. Hal ini adalah pantangan yang harus dijalankan Bujang jika ingin pulang dengan selamat. Jika tidak, bisa dipastikan ia takkan pulang lagi ke rumahnya. Bisa saja ia tak tahu jalan pulang atau bahkan mati seketika.

Suara-suara itu kembali terdengar, kali ini bukan hanya dari belakang, tapi dari segala penjuru. Dihadapannya rawa-rawa itu berubah menjadi gelap, seperti tertutup awan. Ah tidak, bahkan seperti diselimuti awan gelap berpulun-pulun. Suara dari belakang semakin keras, kali ini menjelma suara yang paling ia kenal, ibunya.

"Pulang nak, pulang, ibu sudah tidak sanggup..."

Kepala Dullah mendongak ke belakang, seperti tak ada lagi alasan baginya untuk terus melangkah. Kakinya begitu berat. 

***

Semangkuk bakso yang ia pesan sejak tadi lalu mendarat di atas mejanya, kepulan hangatnya membuat perut yang sejak tadi keroncongan menjadi sedikit terobati. Ia tambahkan kecap, saus dan cabai. Semangkuk bakso romo-romo itu lalu tandas dalam sekejap. Pada sendokan kuah yang terakhir mendarat, gawainya berbunyi. Ada satu pesan yang masuk.

"Sayang, hari ini kita ke Mandalika ya" tulis perempuan itu dengan emoticon senyum.

"Iya sayang" balasnya cepat. 

Ia letakkan gawainya kembali, tidak ada notifikasi. Ia pandangi foto-fotonya di galeri, foto-foto bersama Surati, janda kaya yang pernah menjadi tetangganya dulu. Ah siapa pula yang menduga, bahwa perjalanan yang diarahkan Datuk Dullah mempertemukan keduanya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun