Mohon tunggu...
Novita Sari
Novita Sari Mohon Tunggu... Mahasiswa - Aktif di dunia literasi, pergerakan dan pemberdayaan perempuan

@nys.novitasari

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Paman Kisong

6 Februari 2020   21:35 Diperbarui: 6 Februari 2020   22:04 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sejak kecil kurasa hanya paman Kisong yang peduli pada keluarga  kami, setidaknya hal itu kulihat dari perhatian paman sejak emak diduga menderita diabetes. Emak sering mudah kelelahan, ia kadang merasa panas dan dingin bersamaan. 

Bapak yang bekerja sebagai tukang bangunan tidak bisa membawa emak untuk dirawat inap, bahkan penghasilannya tidak cukup untuk memenuhi makan kami bertiga. Diam-diam kuperhatikan paman Kisong sering datang ke rumah, membawa sekarung beras dipundak beserta minyak sayur, teh, bawang, cabai, garam, sabun mandi dan gula dalam keresek putih penuh yang ditenteng tangan kirinya.

Paman Kisong berperawakan tinggi tegap. Ia sering datang dengan memakai jaket cokelat lusuh dengan tulisan yang telah memudar. Kalau ia datang, aku sangat bersuka cita. Ia akan memberiku uang jajan lima ribuan yang akan langsung kubelikan ciki-ciki di toko wak Minah yang tak jauh dari rumahku. Paman juga akan membopong emak ke belakang untuk mandi air rebusan yang ia buat didapur kami. Air rebusan itu dimasak dengan campuran daun ilalang, daun pisang sembatu yang  telah mengering, serai, dan daun bungur. 

Wangi khas air rebusan itu barangkali yang membuat emak menjadi segar, hingga seringkali aku mendengar suara cekikikannya dari halaman depan. Kalau hendak mandi begitu, aku sering dipanggil emak ke kamarnya.

"Nak, nanti kamu jangan ke belakang ya. Emak mau dimandikan oleh paman mu, nanti kau main saja di halaman. Jangan lupa ambil pakaian emak dan letakkan di bahu ranjang ya" katanya.

"iya mak" jawabku.

Setelah mengambilkan sepotong daster pendek dan pakaian dalam emak, aku langsung meletakkannya di bahu ranjang lalu berjalan berjingkat-jingkat menuju halaman. Bermain jual-jualan dengan mengumpulkan daun-daun, kulit pohon duku di halaman dan bebungaan yang ada. Ku kumpulkan satu persatu, aku berperan sebagai penjual dan sesekali juga sebagai pembeli.  

Biasanya dalam satu minggu, kadang-kadang paman Kisong datang tiga kali kerumah kami. Paling banyak lima kali tapi juga bisa setiap hari. Aku sering bilang pada paman, kenapa dia tidak menginap saja di rumah. Paman hanya tersenyum, sambil mengusap kepalaku ia bilang "Besok kita tinggal satu rumah ya nak" ucapnya lembut. Aku senang mendengarnya, paman Kisong adalah laki-laki yang baik kedua  setelah bapak.

Suatu hari, paman tidak muncul di rumah kami padahal sudah genap satu minggu saat terakhir kali ia datang kerumah. Sambil mengusap-usap mata karena sedikit mengantuk kutanyakan pada emak saat kami sama-sama berbaring di televisi, "kenapa paman Kisong tidak datang ke rumah minggu ini mak" kataku. Emak yang sedari tadi berbaring tampak membelalakan mata, bapak keluar dari kamar sambil mencak-mencak.

"Taun! Anjing! Babi! itu kerjaan kalian ya?"

Dengan susah payah emak menegakkan badannya. Keduanya ribut di dalam kamar, bunyi-bunyi botol parfum yang di lempar ke dinding mewarnai percakapan mereka. Sesekali suara sesenggukan emak membuat aku menutup mata dan telinga. Apa orang dewasa memang suka menunjukkan emosinya dengan membanting-banting barang? Mungkin karena mereka membelinya dengan uang sendiri jadi mereka bebas melakukan itu. tidak seperti aku yang jika membeli gulali, harus menadahkan tangan pada emak, bapak atau paman Kisong dahulu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun