Namanya Kedai Gunung. Â Keren ya. Â Pasti konotasinya kedai yang menyediakan jenis kopi dari gunung. Ya memang demikian. Â Didepan kedai ada banner dengan gambar gunung plus info macam-macam kopi. Diantaranya Kopi Gunung Kawi, Gunung Arjuno, Â Gunung Bromo, Â Gunung Welirang dll. Kedai ini berpartisipasi dalam even Malang Sejuta Kopi (MSK) . Dimana gerakan ini memberikan edukasi tentang konsumsi kopi yang sehat. Â Juga mengusung pesan pemakaian produk kopi lokal di kedai kopi se-Malang Raya.Â
Pemilik Kedai Gunung adalah Pak Beng. Orangnya terkesan nyante dan suka guyon. Â Saat saya dan Mas Slamet berkunjung ke kedainya, Â cukup lama menunggu. Â Ternyata waktunya kurang tepat. Kedai yang berlokasi di jalan Pulosari itu baru buka pukul 18.00 . Karena waktu menunjuk pukul 15.00 Â jadi kami bergegas menuju lokasi lain untuk kemudian kembali lagi ke Kedai Gunung.Â
Saat kembali pukul 18.00 cuma ada 2-3 orang pengunjung. Â Namun tak lama kursi kayu panjang yang tersedia penuh. Mereka yang datang adalah sekumpulan anak-anak SMA. Memesan beberapa es kopi susu juga kopi hitam. Menyusul pengunjung lain yang usianya diatas mereka. Sepintas kedai ini adalah tempat ngopi berbagai kalangan usia. Harganya pun tak membuat kantong bolong , karena terjangkau antara 5rb-12rb saja.Â
Melihat pengunjungnya mulai mengalir --- untuk menyiasati waktu, kami "mengintip" saat Pak Beng meracik pesanan pengunjung. Â Dengan lincah tangan Pak Beng menyiapkan takaran kopi dan menghaluskannya. Â Air dalam ketel kecilpun dimasaknya. Sementara cangkir untuk menyeduh kopi juga di sterilkan dengan air panas.
Konsep Kedai Gunung
Di meja yang tak begitu besar terdapat toples-toples yang berisi biji kopi. Menurut Pak Beng sebenarnya ada 12 jenis kopi yang tersedia di kedainya. Â Tapi untuk untuk kesehariannya tersedia 8 jenis kopi seperti yang tercantum di banner. Beberapa hari kemudian jenis kopi diganti dengan jenis lainnya sehingga genap 12 jenis. Ini adalah upaya agar pengunjung tak bosan dengan jenis kopi yang ada.Â
Tentang konsep kedai gunung ini sebenarnya sederhana saja. Â Kalau melihat kedai yang tak terlalu luas pasti pengunjung yang datang terlihat bergerumbul. Â Nah dari kondisi itu otomatis para pengunjung ngumpul dan saling menyapa. Â Itulah yang diharapkan pemilik kedai. Â Tak ada jarak dan sekat serta kumpul rukun menikmati kopi ramai-ramai.Â
Dan malam itu Mas Slamet mencicip kopi tubruk jenis kopi lokal Dampit SDR (Sri Dono Retno). Sedang saya menolak halus karena seharian sudah mengkonsumsi kopi berkali-kali. Kami ngobrol banyak tentang kopi, Â roasting hingga alat roasting made in Pak Beng sendiri. Â Luar biasa yaaa.... Bisa membuat mesin secara otodidak. "Alatnya buatan sendiri dan sederhana, " ucapnya.Â