Mohon tunggu...
Nyimas Aminah
Nyimas Aminah Mohon Tunggu... Penulis - Writerpreneur, Financial Planner, Praktisi Asuransi Syariah

Melakukan banyak hal baik agar diri ini menjadi bernilai adalah bentuk rasa syukur. Selalulah menjadi penebar manfaat lewat tindakan dan tulisanmu (Nyimas Ariyanto)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Dendam Masa Kecil Nayla

22 Juli 2020   21:59 Diperbarui: 22 Juli 2020   21:50 212
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

 Namaku Nayla

Anak sulung dari 9 bersaudara. Lahir dari kota kecil yang kerap buat orang mabuk kepayang hehe. Ya...nama kotaku Kepahiang, yang membuat mabuk adalah perjalanan menuju ke sana. Hawa dingin dan aroma Perdu yang lembab, perjalanannya yang  berbelok-belok melintasi jalan berliku yang membelah hutan pegunungan, dimana tanah suburnya jadi tempat tumbuh si bunga raksasa  Rafflesia Arnoldi.

Aku kecil dibesarkan dalam keterbatasan. Ayah terpaksa  mengencangkan ikat pinggang agar penghasilannya mencukupi kebutuhan kami, ayah, ibu, aku dan 8 orang adik-adikku.  

Sepulang sekolah tugasku mengasuh. Kepulanganku dinanti-nanti ibu, itu sebabnya aku tidak bisa berlama-lama melipir kemana-mana. Ibu harus segera kepasar membantu ayah menunggui warung kelontongan satu-satunya sumber penghasilan keluarga kami. Dan sebagai anak tertua, kewajibanku menunggui adik-adik di rumah. 

Mengawasi mereka bermain, menyuapi makan, dan terakhir memandikan mereka sebelum ibu dan ayah pulang. Di usia masih sekolah dasar, aku sudah terbiasa melakukan pekerjaan layaknya ibu rumah tangga. Tak perlu dijelaskan uraian pekerjaanya seperti apa? Yang jelas aku masih bisa merasakan nyeri punggungku saat itu. Kalau ada istilah "Masa kecil kurang Bahagia" sepertinya itu Aku!  Nyaris tidak ada waktu buat bermain.

Permainanku, ya pekerjaan yang biasa aku kerjakan. Memasak, tapi bukan main masak-masakan ala anak-anak. Aku harus menyiapkan masakan sebenarnya buat makan malam keluarga kami. Ibu mengajari aku memasak lewat resep yang ditulis tangan ibu di secarik kertas yang diselip dalam kantong belanjaan dari pasar. Adikku yang kedua laki-laki, namanya Angga, dia biasanya yang bertugas membawakan kantong belanjaan titipan ibu itu. 

Dengan sepeda jadul ayah, Angga membawa pulang sekantong belanjaan berisi lauk dan sayur-mayurnya untuk kumasak sore harinya. Permainanku yang lain, bermain dengan tumpukan cucian piring, rendaman baju kotor, setrikaan arang dari baja tempa berbentuk ayam jago. perih mataku kalau sudah tiba waktunya menyetrika, asap arangnya tidak bersahabat. Dengan dalih menghemat listrik, kami lebih memilih menyetrika dengan gosokan arang (bahasa kampungku). 

Lengan kecilku jadi berotot, digurat gagang sapu karena setiap hari harus menyapu rumah tua peninggalan kakek yang luasnya cocok untuk lapangan bola. Belum lagi bahuku, rasanya seperti pendek sebelah karena keseringan mengendong adik dengan selendang kain panjang ibu.

Aku mulai tumbuh besar namun merasa menjadi dewasa sebelum waktunya. Situasi membentukku seperti karbit mematangkan pisang. Masa kecilku hampir habis dibenamkan dalam tanggung jawab mengurus rumah dan adik-adik. Banyak hal yang harus kukerjakan layaknya orang dewasa. 

Rutinitas ini dimulai sejak aku kelas empat SD. Tepatnya semenjak ibu melahirkan anak kelima dan seterusnya. Aku seperti pohon bambu kecil, harus mengalami kesakitan saat menembus urat tanah untuk menguatkan akarnya. Sampai akhirnya bisa leluasa tumbuh tinggi dan menjulang. Keadaan menempaku seperti api menempa besi. Aku bertumbuh menjadi sosok anak yang tidak biasa. Tapi aku jadi merasa luar biasa.

" Nay ibu salut sama kamu,,,kamu hebat sudah bisa masak nasi kebuli seenak ini..." bu Ratna wali kelas kami mengacungkan 2 jempolnya padaku saat pelajaran PKK menjelang ujian kelas 6 SD.  Aku merasa tersanjung dengan pujian bu Ratna.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun