Mohon tunggu...
Yanti Saragih
Yanti Saragih Mohon Tunggu... -

Semua ada alasannya

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

HIDUP INI SINGKAT, MATAHARIKU..!

12 Mei 2013   18:46 Diperbarui: 24 Juni 2015   13:41 191
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Tak pernah ada kata cukup untuk mengenangmu, mengingat satu per satu kisah yang telah kita ukir bersama.  Kadang pahit kadang manis, kadang-kadang juga memalukan untuk dikenang.  Semakin kemari semakin aku menyadari kebenaran ujaranmu, kita terlalu mirip, nyaris sama.  Kalau biasanya kau tak pernah gamblang menjelaskan maksudmu, maka tidak untuk saat itu, lebih kurang dua tahun lalu.  Kala itu kau susah payah menasehatiku dan seperti biasa aku selalu punya cara untuk mengelak.  Kau merengkuhku ke pelukanmu, lalu mengacak-acak rambutku.  Belum cukup sampai disitu, kau juga mencubit hidungku keras-keras sampai aku mengaduh kesakitan.  Lalu berusaha menghindari tanganmu dengan membenamkan kepalaku di pangkuanmu.  “Keras kepala!”, omelmu seraya menokok ( = menjitak) kepalaku.  “Memangnya dari siapa kuwarisi sifat keras kepala ini?”, ujarku tak mau kalah.  Kau terdiam sejenak, lalu kau mengangkat tubuhku agar tegak menatapmu.  Perlahan-lahan tanganmu membelai pipiku, lalu rambutku.  Aku menantang matamu –selalu seperti itu-  untuk menyembunyikan perasaanku yang mendadak tidak karuan, berharap kau takkan mampu menyelami relung hatiku yang paling dalam, berharap kau takkan tahu bahwa ada sesuatu yang aku sembunyikan, sesuatu yang tak pantas, mengingat kesepakatan kita.  “Dik, kita memang terlalu mirip ya, sama-sama keras kepala, sama-sama sombong, sama-sama pemarah. Kau benar-benar menjadi sosok diriku dalam versi wanita.” ,ujarmu.  Seingatku baru sekali ini -dalam belasan tahun persahabatan kita- kau mengakui bahwa kita itu mirip.  Dan entah kenapa kali ini aku tak berniat membantahmu.

Kita telah saling mengenal selama 15 tahun, lalu kita menjadi sahabat dekat selama hampir 13 tahun, dan selama itu ada sesuatu yang tersimpan di hatiku. Tentang perasaan yang tak pantas, sebab kau selalu bangga memproklamirkan pada sekitar kita kalau aku adikmu.  Karena itu perasaan ini kupendam dalam-dalam.  Kujadikan kau tempat sampah untuk semua keluh kesahku, kujadikan kau tempatku mencari kasih sayang, bahkan aku juga menjadikanmu tempat pelampiasan amarahku yang tak pernah berani kunyatakan pada orang lain.  Acapkali kau memelukku kala aku menangis, acapkali kau menghiburku dengan menyanyikan lagu-lagu indah, atau membacakan potongan-potongan kisah yang menguatkan. Kau selalu tersenyum untukku, setelahnya kau menagih bayaran dariku, sebuah senyuman juga.

Kau selalu memanjakanku, selalu ada buatku, mungkin “menjadi cermin yang sedianya kupecahkan” seperti katamu dalam salah satu suratmu.  Namun tak jarang kau marah padaku, membentakku, bahkan mendiamkanku berbulan-bulan. Bukan karena kau melupakanku atau membenciku, melainkan karena kau ingin aku dapat memetik hikmah dari ke-diam-anmu dan agar kita berdua bisa saling refleksi tentang sikap kita selama ini, lebih berbenah diri.  Kadang kala aku marah padamu, aku membentak-bentakmu, tak jarang aku juga mendiamkanmu, membentangkan jarak sejauh-jauhnya.  Lagi-lagi kita sama-sama egois dan keras kepala, kau tak juga mau mengalah, bahkan kau semakin jauh dariku, sampai-sampai aku yang akhirnya mendekatimu, memohon maaf dan menangis (ya, itu senjata utamaku).

Aku juga sering menuduhmu hanya berpura-pura sayang padaku, berpura-pura memperhatikanku, hanya karena kau kasihan dan iba padaku. Kau meyakinkanku bahwa kau tak punya kuasa untuk berdalih atau berpura-pura, kau sayang padaku, itu saja tanpa alasan lain.  Selintas kau katakan, memang demikianlah hidup, kita harus menguji teman kita sebelum kita mempercayainya, tapi meskipun demikian kau tidak merasa aku mengujimu, sebab kau yakin mutu persahabatan kita lah batu ujinya, dan kau merasa demikian lebih baik, tanpa rasa saling mengikat dan sikap possesive, kau dan aku sama bebas meski saling menyayangi.

Kau sering memanggilku adik kecilku atau my angel, sebaliknya aku selalu menyebutmu matahariku, kau penerang dalam hidupku, peneguh jalanku.  Bukan; aku tidak sedang menduakan Tuhan-ku, apalagi menuhankan-mu seperti tuduhan teman-temanku.  Tapi perpanjangan kasih Tuhanlah yang kutemukan dalam dirimu.  Bukankah dimasa sekarang Tuhan tak pernah langsung menampakkan wujudNya, tak pernah langsung menolong dan menemani umatNya?  Setahuku Tuhan memakai berbagai cara untuk menolong umatNya, untuk menyatakan cinta dan hadirNya.  Dan dalam hidupku, Tuhan memakaimu, terima kasih matahariku.

Kedekatan kita mengajarkanku banyak hal, membuatku harus lebih ekstra hati-hati bila dekat denganmu, jangan sampai kau tahu isi hatiku. Namun 2 tahun lalu aku mulai meraba-raba dalam gelap tanyaku, sikapmu berbeda, adakah kau tahu isi hatiku?  Ataukah kau juga menyimpan perasaan yang sama denganku.  Lalu kau menjauh, mulanya perlahan tapi kian kentara, aku bingung, aku kalut.  Selama ini aku telah melewati banyak kehilangan, dan selama itu kau selalu ada di sampingku, meneguhkanku.  Lalu apa yang  harus aku lakukan bila kehilanganmu?  Aku sasar matahariku.  Seperti biasa, aku masih adik kecilmu, yang selalu menyalahkan diri sendiri, ketakutan sendiri dan menangis sendiri.  Setelah itu aku meledak-ledak, memarahimu, bahkan memakimu.  Matahariku, maafkanlah aku.  Andai kau tahu perasaanku, aku takut kehilanganmu bila tetap menjadi adik kecilmu.  Aku takut kau menghina perasaanku, ya aku cinta padamu.  Kau telah mengetahui rahasiaku, untuk itu aku berniat pergi darimu.  Aku berusaha membuatmu marah dan benci padaku, agar kau tak mau lagi mengingatku, dengan demikian aku masih bisa menatapmu dari kejauhan.

Kau sangat marah, kau terluka, kau meradang dan memutus semua jalinan komunikasi denganku.  Tapi kau tetaplah dirimu, yang tulus menyayangiku.  Begitu saja kau kembali ke sisiku, seolah tak ada masalah apapun yang terjadi.  Dan di saat itu aku telah memilih yang lain. Bukankan dulu kau selalu memintaku mencari teman berbagi hidup?  Bukankah dulu dengan amarah kau membentakku keras dan menegaskan posisimu bahwa kau hanya seorang abang?  Lalu mengapa kau terluka dengan hadirnya dia?  Bukankah aku hanya seorang adik untukmu?

“Aku mencintaimu dik, sangat mencintaimu” bisikmu lirih sambil membenamkan wajah di bahuku.  Aku terkejut, aku bingung, ini bukan dirimu.  Dirimu adalah orang yang tidak membutuhkan cinta asmara, dirimu terlalu percaya diri dan sombong. Tak mungkin, ini tak mungkin terjadi.

“Sungguh dik aku sangat mencintaimu.”  Kau semakin dalam membenamkan wajahmu.  Hei, apa yang sedang terjadi, sandiwara apa ini? Batinku berteriak kencang.

“Jangan pernah pergi jauh dik, aku tak bisa tanpamu.” Kau tergugu dan menangis di bahuku.  Lelaki pemarah itu, lelaki tegar itu, lelaki tempatku bergantung dan bermanja kini menangis di depanku, memohon padaku dan menyatakan cinta.  Aku cuma bisa tercenung, lalu menangis denganmu.

Alangkah bodohnya kita, saling menutupi perasaan masing-masing.  Hanya karena kita takut melanggar janji persaudaraan kita.  Alangkah bodohnya kita menyia-nyiakan belasan tahun, bermain-main dengan perasaan kita, toh pada akhirnya kita tetap harus saling jujur juga.  “Matahariku, katakan apa yang harus kulakukan?  Ada hati lain yang kan tersakiti, bagaimana ini?” isakku terbata-bata.  “Kau mencintainya?”, tanyamu pelan.

“Aku tak tahu, yang jelas aku sangat menyayanginya.” Jawabku.

“Apa dia bisa mennjagamu dengan baik?  Apa dia memperlakukanmu seperti putri?  Apa dia selalu ada untukmu?”, cecarmu lagi.  Aku tak mampu menjawab hanya airmatalah jawabannya, aku tak sanggup bercerita padamu, betapa sesunguhnya dalam kebersamaan kami aku tetap merindukan hadirmu.

Lalu kita membuat lagi kesepakatan konyol, kau memintaku memutuskan hubungan kami.  Kau memintaku menunggumu, sayangnya tak jelas sampai kapan.  Sesaat sebelum kita berpisah, aku menangis di pelukanmu, “bawa aku bersamamu”

Kau memelukku erat, “Kau boleh pegang janjiku, aku akan kembali untukmu atau, atau kau yang akan kujemput untuk bersama-sama denganku disana, di tempatku” ujarmu tegas.

Aku percaya pada janjimu, sebab aku seutuhnya percaya padamu.  Tapi kau dan aku masihlah orang yang sama, yang sama-sama egois, keras kepala dan pemarah.  Mendadak kita diam tanpa alasan yang jelas.  Lalu berkali-kali aku mencoba ulurkan perdamaian namun tak ada sambutan.  Matahariku, apa kabarmu?  Lupakah kau pada janji kita?  Aku mulai lelah menunggu.  Bukan karena aku tak sabar tapi kau sendiri jelas tahu apa yang sesungguhnya aku alami. Matahariku, bolehkah aku pergi jauh?  Mungkin kita tak ditakdirkan bersama.  Meski aku tahu kau selalu yang terindah, tapi aku tak kuasa bertahan dalam ketidak jelasan ini.  Kalau kau tak bisa kembali kesini, mengapa kau belum membawaku pergi?  Jangan berlama-lama lagi, sebab hidup ini singkat matahariku, kita harus memilih dan takkan mungkin bisa kembali lagi.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun