Pengalaman baru bagi saya saat mengikuti Newmont Bootcamp ini adalah bisa bertemu dengan warga sekitar. Ya, memang kami sudah dijadwalkan di hari ke 4 dan 5 menginap di dua tempat yang berbeda, di Maluk dan Sekongkang. Ada cerita dari salah seorang pendamping yang sudah pernah menginap di rumah warga bahwa masakan ibu-ibu setempat rasanya lebih mantap dari masakan yang ada di Townsite. Apalagi sambalnya, beuhh... Langsung saja saya penasaran mencicipi masakan warga. (Ceritanya ada di artikel Mencicipi Masakan Sumbawa).
Mungkin saya memiliki kesempatan lebih dulu dari teman yang lain dalam mencicipi makanan lokal ini yaitu di hari ke-3. Jadi saya dan singgih diundang makan siang di rumahnya mas Alvin. Ada cerita lain saat saya berada di rumahnya mas Alvin. Maaf, agak menyinggung tentang politik dan saya tidak tertarik dengan politik. Jadi sebelumnya, saat saya dan Singgih akan berangkat berkeliling stasiun cuaca (Pengalaman Mengukur Data Cuaca Kawasan Batu Hijau) sempat ada obrolan ringan tentang politik. Pak Moyo pendamping kami ini adalah pendukungnya Jokowi. Pokoknya beliau membangga-banggakan tentang Jokowi. Nah, saat di rumah Mas Alvin, ternyata ibunya mas Alvin ini sangat tertarik dengan dunia politik. "Daripada nonton sinetron srigala-srigala begitu, mending nonton berita, bermanfaat" begitu katanya. Agak beda sih dari ibu-ibu kebanyakan yang lebih suka nonton sinetron. Dan saat ditanya ia dukung siapa, dengan tegasnya ia bilang "Saya dukung Prabowo, apa itu Jokowi, bla bla bla... sebenernya saya pendukung berat ibu Mega tapi Jokowi itu..." kata ibu mas Alvin. Lalu bagaimana perasaan pak Ismoyo yang mendukung pak Jokowi? "Iya bener bu, Jokowi seperti ini, itu, lalalala..." dengan senyam senyum. Kami pun ikut senyam senyum karena tahu tadi pak Moyo juga menggebu-gebu membicarakan Jokowi. Dengan bahasa inggris pak moyo bilang, "iya-iyain aja, nanti ngga boleh makan di sini lagi". Hihihi
[caption id="attachment_368494" align="aligncenter" width="480" caption="Sedang mengobrol di rumah Mas Alvin. Yang menggunakan baju Newmont adalah pak Ismoyo, kemudian ke arah kanan ada Ibu dan Bapak Mas Alvin, dan Singgih (Dok. Pribadi)"][/caption]
Sambil menyantap singang yang sedap itu, Pak Moyo sempat menyinggung-nyinggung kepada Ibu Mas Alvin "Bu, Kapan Alvin melamar?". "Yaa, itu dia, rumah sudah disiapkan, tanah juga sudah dijual, tinggal tunggu calon dari Alvin saja" begitu kata Ibu mas Alvin. Mas alvin hanya senyam senyum. Ternyata, walaupun bukan di ibukota, biaya menikah di Sumbawa ini menjulang tinggi bisa sampai puluhan bahkan ratusan juta. Memang disana budayanya harus meriah. Ada "prestige" disana. Kalau di Bogor, ada peribahasa "Biar Tekor Asal Kesohor" biarkan saja merugi, asalkan bisa terkenal.
Beberapa saat kemudian, ada bapak dari Mas Alvin yang pulang untuk makan siang. Kami merasa tidak enak karena sudah makan duluan sebelum tuan rumah. Bapak itu pun sempat curhat tentang perlakuan Newmont terhadap para warga yang sebagian besar bertani. Perlu diketahui, kebanyakan mereka menanam padi untuk konsumsi pribadi. Katanya, seharusnya mereka mendapatkan pupuk gratis. Ya, itu sudah ada diperjanjian dan awalnya mereka mendapatkannya gratis. Tapi sekarang ini, pupuk malah dijual bukan diberikan. Sekarang, para warga cenderung membeli pupuk dari subsidi pemerintah. Pak Moyo pun sebagai bagian dari Newmont tak tahu menahu soal itu. Itu bukan bagiannya. Mungkin dengan saya menulis di sini, masalah kedua pihak akan terselesaikan.
Yang salah Newmont! Tapi kalau tidak ada Newmont, kami tak bisa apa-apa
Malam di hari ke-5 kami menginap di rumah pak Lurah di Sekongkang, paginya terlihat banyak motor parkir dan orang-orang berkumpul di seberangnya rumah pak Lurah. Eh, eh... ada apa ini? ada demo? Mulai dari ibu-ibu, beberapa menggendong anaknya yang masih kecil, bapak-bapak, dan tidak ketinggalan banyak juga penjual makanan yang parkir di sana. Ternyata mereka sedang mengantre mitan. Agak aneh sih kedengarannya "mitan", kalau di tempat saya sih sebut saja minyak tanah, mungkin kalau ke warung beli "mitan", penjualnya ngga bakal ngeh (sadar).
[caption id="attachment_368495" align="aligncenter" width="480" caption="Antre membeli mitan dengan harga 16 ribu per 4 liter (Dok. Pribadi)"]
Minyak tanah ini hanya ada seminggu sekali. Wajar saja banyak orang yang mengantre membeli mitan untuk keperluan seminggu ke depan. Selain itu, mitan yang dijual ini untuk keperluan 3 desa di Sekongkang, jadi harus berebutan juga dengan warga desa tetangga. Komplit sudah.
Dari penjelasan pak lurah, warga di sani masih banyak yang menggunakan kompor minyak. Mereka masih takut menggunakan gas karena banyak pemberitaan yang menayangkan meledaknya gas 3 kilo. Tapi, ada juga yang sudah mulai meninggalkan kompor minyak tersebut. Berbeda dengan tempat saya tinggal di Bogor, mungkin sangat langka ada warung yang menjual mitan, karena sebagian besar sudah berganti ke gas 3 kg. Bahkan tukang dagangan yang menggunakan kompor minyak pun hampir semuanya beralih menggunakan gas.
Setelah mengambil beberapa gambar dari kamera handphone saya, saya pun ikut nimbrung dengan salah seorang bapak yang sedang berbincang-bincang dengan Subhan. Bapak itu menjelaskan bahwa ia sangat kecewa dengan Newmont. Beberapa kali pun ia pernah mengajak warga untuk berdemo karena ketidakpuasan warga atas "treat" yang diberikan Newmont kepada mereka. "Harusnya Newmont tuh memberikan lapangan pekerjaan, kami diberi pelatihan, dsb..."
Pada malam pertama di Townsite, pak Djarot selaku Manager CSR memberi tahu kami bahwa para warga disekitar Newmont diberikan pelatihan, dsb agar mereka dapat membuka lapangan pekerjaan sendiri dan tidak hanya "disuapi" oleh Newmont. Warga menganggap, Newmont harus membuka lapangan pekerjaan bagi warga setempat. Memang perlakuan khusus recruitment diberikan untuk warga lokal, namun apakah seluruh warga lokal harus masuk menjadi pegawai Newmont?
[caption id="attachment_368496" align="aligncenter" width="480" caption="Saat berbincang dengan warga saat mengantre mitan (photo by Wingga)"]
Lalu saya menanyakan kepada bapak di antrean mitan tersebut "Kalau Newmont mencapai titik habisnya dan sudah tidak beroperasi lagi. Nanti apa yang akan dilakukan warga sekitar?". "Nah, itu dia, kami sendiri tidak tahu harus seperti apa". Warga seperti kelabakan jika tidak ada Newmont. Mungkin benar jika Newmont memfasilitasi warga dengan memberikan pupuk gratis, membina fasilitas umum, sekolah-sekolah, dsb. Jika itu memang perjanjiannya, harus dilaksanakan jangan sampai ada yang memanfaatkan dengan menjual pupuk oleh karyawan Newmont. Tapi perlu diingat, Newmont harus memberikan pandangan terhadap warga bahwa Newmont ini tidak selamanya ada. Ada satu titik yang merupakan titik matinya Newmont saat proyek selesai. Mungkin benar jika Newmont telah memberikan pelatihan-pelatihan untuk menambah softskill masyarakat. Namun, pemerintah pun jangan hanya lepas tangan dan tugas-tugasnya seolah-olah diambil alih Newmont. Bukannya saya membela Newmont, tapi setiap kali berbicara dengan warga, yang disebut hanya Newmont bukan pemerintah. Lebih baik jika Newmont dan pemerintah lebih bersinergi untuk memajukan masyarakat Sumbawa Barat.
Gasing dari Abdi, oleh-oleh paling "istimewa"
Sesaat sebelum pulang dari rumah pak Lurah, saya sempat bermain dengan anak bungsu pak Lurah yang bernama Abdi. Sejak semalam, saya meminta agar Abdi mau mengajarkan saya bagaimana bermain gasing. Gasing ini dibuat oleh pak Lurah sendiri sebagai bapaknya Abdi. Gasing ini sebenarnya memiliki bentuk gasing pada umumnya, namun saya tidak pernah memainkan jenis gasing ini. Kalau di Bogor, gasingnya terbuat dari bambu dan ada lubang panjang disisinya. Sehingga gasing akan berbunyi ketika berputar.
[caption id="attachment_368497" align="aligncenter" width="480" caption="Gasing pemberian Abdi (Dok. Pribadi)"]
Saya pun mengikuti cara Abdi memainkannya. Tali kur diputar-putar mengelilingi kepala gasing. Lalu sisa tali dililitkan di tangan sambil gasing dipegang terbalik. Lalu gasing diluncurkan. Swiiingggg... Saya gagal terus. Hingga kesesokan harinya sesaat sebelum pulang, saya mencoba dan mencoba. Akhirnya saya berhasil memutarnya. Duh... senangnya. Abdi pun merasa senang untuk saya. Sebagai kenang-kenangan, saya meminta gasingnya untuk dibawa pulang. Abdi tidak mau memberikan yang besar karena milik kakaknya. Lalu ia memberikan yang kecil miliknya. Terima kasih Abdi...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H