Musim kemarau tahun ini begitu terasa kering, panas menyengat, air sungai menyurut, rerumputan hijau menguning, kelembaban tanah berkurang sehingga membentuk retakan-retakan di permukaan tanah, pohon-pohon menggugurkan daunnya, dan tentunya kita malas sekali untuk keluar ruangan di tengah hari bolong. Setidaknya ini yang saya rasakan di kota Bogor. Memang terasa aneh sekali ketika kota yang dijuluki kota hujan tetapi selama hampir sebulan ini hujan hanya numpang lewat saja. Dan miris sekali melihat rumput-rumputan di pinggir jalan berwarna kuning keemasan karena kering di kota yang memiliki rata-rata hari hujan lebih dari 320 hari dalam setahun tersebut.
Kekeringan terjadi ketika radiasi matahari meningkat, evapotranspirasi meningkat, suhu udara meningkat, curah hujan menurun, dan kelembaban udara berkurang. Dalam istilah ilmiahnya disebut kekeringan meteorologi, dimana hanya unsur-unsur cuaca yang dipengaruhi. Kemudian, jika kejadian kekeringan tersebut berlanjut lebih lama sehingga membuat stres tanaman dan kelembaban tanah berkurang, maka disebut kekeringan pertanian atau kekeringan kelembaban tanah. Lalu, jika kekeringan terus berlanjut hingga air sungai, air danau, dan badan air lainnya menyurut maka sudah masuk ke kekeringan hidrologi. Bahkan kekeringan hidrologi ini bisa mempengaruhi groundwater dalam bumi. Karena begitu kompleksnya kejadian kekeringan, maka banyak para ilmuan yang menganggap kekeringan itu tidak diketahui pasti awal dan akhirnya serta luasan yang terkena dampaknya.
Kembali lagi kepada kondisi cuaca yang terjadi akhir-akhir ini. Alhamdulillah, kamarin sore (26/7) Bogor dan sekitarnya diguyur hujan walaupun dengan intensitas ringan hingga sedang. Perlu kita syukuri dengan kehadiran hujan ini, karena belum tentu besok atau lusa hujan kembali turun di wilayah Bogor dan sekitarnya. Jika dilihat dari pantawan radar BMKG pada jam 2 siang tadi (27/7), keberadaan awan di pulau Jawa sangat sedikit apalagi awan yang berpotensi hujan seperti awan cumulus. Dari gambar di bawah dapat dilihat bahwa di wilayah Jabodetabek tidak terlihat adanya awan penghasil hujan dan langit cenderung clear. Namun, kondisi di utara Indonesia terlihat lebih baik walaupun hanya berupa titik-titik awan potensial.
Jika dilihat pada peta prediksi akumulasi curah hujan untuk hari ini, memang hanya terdapat hujan ringan di selatan Jakarta sekitar 0-5 mm. Selebihnya untuk pulau Jawa, Bali, dan NTB masih cenderung kering tanpa hujan hingga hujan ringan. Seperti yang pantauan radar sebelumnya, wilayah utara Indonesia memang masih lebih baik seperti Kalimantan Utara, Sulawesi Utara, hingga ke Papua dengan intensitas tertinggi mencapai100 mm. Kondisi kering juga bisa disebabkan oleh hembusan angin monsoonal yang berasal dari Australia (tenggara) sehingga awan sulit terbentuk (Detik.com). Dengan kondisi kering seperti ini, maka tidak mungkin dilakukan penyemaian awan dengan menggunakan teknologi modifikasi cuaca karena tidak terdapat awan potensial. Penyemaian baru dapat dilakukan jika awan –awan potensial mulai tumbuh di wilayah tersebut. Kemungkinan terdapat pertumbuhan awan pada musim transisi dari musim kemarau ke musim hujan, yaitu pada bulan September dan Oktober.
Beberapa wilayah di Indonesia yang mengalami kekeringan (terutama pulau jawa dan sekitarnya) kondisi air sumur, sungai, dan lahan pertanian sudah mulai mengering. Tentu saja hal tersebut dapat berakibat fatal jika kekeringan ini terus terjadi karena dampak yang diberikan akan semakin besar. Dari Oceanic Niño Index (ONI), nilainya terus naik sejak periode FMA (februari maret april) hingga data terakhir mencapai 0.9. Hal tersebut juga menunjukan semakin besar anomali cuaca yang terjadi.Karena kondisi kekeringan yang tak tahu kapan awal dan akhirnya, maka sudah seharusnya kita lebih menghargai air agar tidak terbuang dengan sia-sia dan dimanfaatkan sebaik mungkin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H