Ketika saya telah berkeluarga dan memiliki anak, cara pandang saya mengenai perencanaan masa depan berubah. Dulu, saya bukanlah orang yang merencanakan sesuatu ke depan, apalagi merencanakan hingga sepuluh tahun ke depan atau bahkan lebih.
Sejak memiliki anak, saya berpikir bagaimana untuk menjamin masa depan anak kami terutama dalam hal perlindungan jiwa dan kesehatan, apalagi jika ajal menjemput saya lebih awal. Siapa yang akan menanggungnya nanti? Memang agak menakutkan untuk membayangkan hal tersebut, tetapi hal ini menjadi fakta di sekeliling kita.
Ada suatu kisah dari teman kantor saya, bisa dibilang kami cukup dekat, memiliki suami (sebagai pencari nafkah) dan seorang anak. Mereka merupakan keluarga dari pasangan muda, umurnya saja masih 31 tahun. Umur anaknya tak jauh dari umur anak saya yaitu 18 bulan, hanya selang 3 bulan saja dengan umur anak saya.
Tanpa ada angin dan hujan, tiba-tiba saja saya mendapat kabar bahwa suami dari teman saya tersebut terkena serangan jantung. Hati saya pun terpukul. Meskipun bukan saya yang mengalami, tapi saya langsung membayangkan bagaimana jika hal tersebut saya alami, apalagi anaknya berusia sama dengan anak saya.
Menurut cerita, suaminya memang ada keturunan penyakit jantung tetapi dalam kesehariannya selama ini, ia baik-baik saja dan dapat menjalani aktifitasnya dengan normal, kemudian tiba-tiba saja ia mendapat serangan jantung.
Meskipun dalam kisah teman saya tadi, sang istri memiliki pekerjaan sehingga masih bisa survive untuk menopang keluarganya. Tetapi saya yakin, ada shocking tersendiri untuk menanggung biaya-biaya tanggungan keluarga yang tadinya ditanggung oleh dua orang kemudian ditanggung sendiri. Bisa dibayangkan juga jika pihak yang ditinggalkan tidak ada pegangan penghasilan sama sekali.
Hal ini menjadi peringatan bagi siapa saja, baik yang sudah tua bahkan yang masih muda sekalipun bahwa pada jaman sekarang penyakit telah merenggut nyawa siapa saja tak memandang umur.
Munculnya berbagai penyakit kritis disinyalir karena gaya hidup yang tidak sehat dan stres yang tinggi. Apalagi di zaman sekarang yang menuntut mobilitas dan risiko pekerjaan yang tinggi.
Dari catatan WHO (World Health Organization) bahwa setiap tahun 38 juta orang meninggal akibat penyakit degeneratif (seperti jantung, stroke, kanker dan diabetes) dan sebagian besarnya terjadi di negara berkembang seperti Indonesia.
Dari kejadian tersebut, saya mengambil hikmah bahwa perencanaan masa depan terutama untuk perlindungan jiwa dan kesehatan sangat diperlukan bagi siapa saja. Berbagai cara pun telah tersedia, kita tinggal memilih jalan mana yang akan kita tempuh untuk merencanakan masa depan yang lebih terencana.