Mohon tunggu...
Nyasia Aludra Yasmina
Nyasia Aludra Yasmina Mohon Tunggu... Lainnya - XI MIPA 3 (29)

Nyasia Aludra Yasmina XI MIPA 3 (29) SMAN 28 Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Apa Itu "Toxic Masculinity"?

29 Agustus 2020   15:37 Diperbarui: 30 Agustus 2020   09:13 700
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pernahkah mendengar istilah toxic masculinity?

Toxic masculinity berasal dari konstruksi sosial yang mengacu pada sikap dan perilaku laki- laki. Toxic masculinity merupakan peristiwa yang terjadi dengan mengajarkan anak laki- laki bahwa mereka tidak dapat mengekspresikan emosinya secara terbuka, contohnya bahwa mereka harus "tangguh sepanjang waktu" dan bahwa apapun selain itu membuat mereka terlihat feminim atau lemah.

Istilah maskulinitas memang baik untuk membantu identitas seseorang, tetapi jika ia tidak mampu mencapai maskulinitas, maka akan mengarah ke toxic masulinity. Jika seorang laki- laki tidak dapat memenuhi permintaan perempuan, maka ia mungkin akan dibilang lemah. Contohnya apabila laki- laki tidak dapat mengangkat kursi maka ia akan diejek oleh teman- temannya. 

Kata toxic masculinity pertama kali digunakan oleh psikolog bernama Shepperd Bliss pada tahun 1980-an dan 1990-an. Bliss berusaha untuk memisahkan sifat- sifat negatif laki- laki dari sifat- sifat positif, dan menggunakan istilah toxic masculinity untuk membedakannya.

Ciri- ciri yang Shepperd Bliss katakan sebagai toxic masculinity adalah pengelakan untuk mengekspresikan emosi, aspirasi tinggi untuk dominasi fisik, seksual, dan intelektual, dan pengurangan hormat terdapat pendapat, tubuh, dan harga diri perempuan. Sedangkan menurut Ross-Williams toxic masculinity adalah gagasan dimana laki- laki harus bertindak secara dominan dan agresif untuk mendapat rasa hormat. 

Toxic masculinity memiliki berbagai dampak negatif pada laki- laki. Pria yang menganut budaya tradisional maskulin, seperti suka mengambil risiko, kekerasan, dominan, kebutuhan untuk mengontrol emosi, dan mengejar status sosial, akan lebih cenderung untuk mengalami masalah psikologis seperti stress dan depresi.  Kemandirian dan penahanan untuk mengekspresikan emosi dapat merusak kesehatan mental karena, hal itu membuat pria untuk tidak mencari bantuan secara psikologis atau memiliki kesulitan untuk menghadapi emosi.

"Jadi cowok gaboleh nangis", "Jadi cowok harus kuat". Itu merupakan contoh toxic masculinity yang paling sering dilakukan di Indonesia. Walaupun jarang dibicarakan, toxic masculinity sudah banyak terjadi di Indonesia. Contoh toxic masculinity yang sering kita dengar:

  • Mengejek temannya yang laki- laki yang sedang galau dalam percintaan
  • Mengejek lelaki yang terlihat merawat dirinya sendiri, contohnya menggunakan skincare
  • Mengejek temannya yang sedang menangis
  • Menganggap dirinya lemah kalau kalah dari perempuan
  • Mengatakan "namanya juga cowok" untuk membenarkan kesalahan laki- laki
  • dan masih banyak lagi.

Menangis bagi laki- laki bukanlah hal yang biasa bagi mereka, tetapi menangislah jika merasa ingin menangis karena itu adalah hal yang normal untuk semua orang. Tidak semua laki- laki terlahir sama, ada yang lembut dan juga ada yang tegas. Hal tersebut bukanlah kekurangan dan kesalahan mereka, kita tidak mempunyai hak untuk menghakimi mereka, tetapi kita harus menghargai mereka. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun