Mohon tunggu...
Tumpal Sitompul
Tumpal Sitompul Mohon Tunggu... Penegak Hukum - Imbangkan yang tersirat dan tersurat

try to learn from my mistakes

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

(Lagi-lagi) KPK

12 November 2014   19:53 Diperbarui: 17 Juni 2015   17:58 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Namun tulisan ini bukan tentang KPK.

http://www.tempo.co/read/news/2014/11/10/063620795/Alasan-KPK-Desak-Jokowi-Serahkan-Calon-Jaksa-Agung

Membaca berita diatas, faktanya, KPK bukan hanya sebuah komisi yang melaksanakan kewenangan yuridisnya untuk melakukan upaya pemberantasan korupsi. Lebih dari itu, bersamaan dengan komitmen Presiden Joko Widodo untuk melakukan hal yang sama, KPK tak ayal mendapat 'tugas' lain untuk 'meneliti' rekam jejak para pembantunya. Termasuk dalam memilih Jaksa Agung yang baru.

Saya tidak mau menelan ludah saya sendiri bagaimana saya berteguh pendirian tentang perlunya melibatkan KPK dalam proses pemilihan para menteri beberapa waktu lalu. Termasuk ketika Presiden hendak melibatkan KPK untuk melakukan profiling check terhadap beberapa kandidat Jaksa Agung yang diajukan. Upaya baik Presiden tersebut membuat saya sebagai salah satu insan adhyaksa agak cemburu sekaligus iri. Rekomendasi KPK tidak hanya berpengaruh 'menentukan' para Menteri, namun juga menentukan sosok Jaksa Agung, pimpinan tertinggi Kejaksaan Agung RI, suatu lembaga penegakan hukum yang sesungguhnya memiliki kedudukan dan kewenangan yang lebih luas dan besar dibanding KPK.

Selintas saya kembali ke masa lalu, melihat bagaimana 'saudara kembar' tapi 'beda perlakuan' ini lahir. Di awal-awal kelahirannya KPK terbentuk karena lembaga-lembaga penegakan hukum konvensional dinilai stagnan dan tidak optimal dalam melawan kejahatan luar biasa ini. Dalam perjalanannya KPK mampu mengintensifkan penanganan perkara tindak pidana korupsi secara efektif dan efisien. Hampir dapat dipastikan setiap terdakwa kasus korupsi ‘kelas kakap’ yang dilimpahkan ke Pengadilan Tipikor akan berakhir di penjara.

Dalam perjalanannya pula, KPK mampu menampung kerinduan masyarakat akan sosok lembaga penegakan hukum yang memiliki integritas. KPK kemudian menjadi publik dan media darling. Tidak ayal lagi berbagai tindakan hukum yang dilakukan kepada para punggawanya, dianggap sebagai sebuah kriminalisasi dan suatu upaya untuk melemahkan lembaga KPK.

Sedangkan Kejaksaan? Lembaga penuntutan yang sudah dari sebelum merdeka secara resmi difungsikan pertama kali oleh Undang-Undang pemerintah zaman pendudukan tentara Jepang No. 1/1942 ini ‘terseok-seok’ membentuk kredibilitasnya. Sempat dicap sebagai ‘kampung maling’ pada era Abdul Rahman Saleh, Kejaksaan kalah pamor dibandingkan saudara kembarnya. Pengembalian keuangan negara yang sangat signifikan dari penanganan tindak pidana korupsi belum mampu membuat Kejaksaan sebagai kesayangan publik dan media. Media lebih banyak menyoroti perilaku satu persatu oknum lembaga ini yang arogan dan korup.

Lagi-lagi kita semua harus merendah diri dengan bercermin kepada KPK sebagai role model. Apresiasi dan dukungan publik yang besar terhadap KPK seharusnya dapat memicu pembenahan secara optimal di tubuh Kejaksaan.

Disamping permasalahan wacana reposisi independensi Kejaksaan yang bebas dan merdeka sebagai kekuasaan yudikatif yang masih dipandang sebelah mata, pekerjaan utama yang paling penting adalah mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap institusi Kejaksaan sebagai lembaga yang benar-benar kredible dalam upaya penegakan hukum. Proses untuk memulihkan public trust tersebut tentu harus dilakukan dengan langkah-langkah progresif dan revolusioner yang mengupayakan perbaikan institusi secara utuh dan menyeluruh, dimana upaya perbaikan tersebut tidak hanya menyelesaikan permasalahan carut marutnya penataan organisasi yang berkaitan dengan kepegawaian (jenjang karir, mutasi, dsb). Tetapi juga secara bersamaan membentuk profesionalisme dan tanggung jawab dengan dilandasi kultur, ideologi dan praksis penanganan hukum yang berkeadilan yang dapat memberikan kemanfaatan dan kepastian hukum bagi masyarakat pencari hukum.

Kami memang tengah menunggu pemimpin kami yang baru. Sosok yang progresif dan revolusioner, yang dapat memulihkan dan mengembalikan kepercayaan masyarakat. Untuk memiliki pemimpin yang memiliki kapasitas untuk itu tentunya kita tidak perlu membangkitkan Baharuddin Lopa dari kuburnya, atau sosok dari kalangan partai politik yang disinyalir dapat memberikan keberpihakannya kebijakan hukumnya kepada partai pengusungnya.

Setelah 23 hari berlalu tanpa Jaksa Agung, saya berharap Presiden dapat menjawab berbagai tantangan dan ekspektasi publik terhadap persoalan hukum dengan lebih memilih sosok yang dapat menjembatani polemik tentang sosok Jaksa Agung yang berasal dari internal atau dari eksternal. Sosok tersebut tentunya perpaduan antara sosok internal yang resisten terhadap persoalan-persoalan internal dan juga sosok yang memiliki pengalaman eksternal, yang dengan pengalamannya tersebut memiliki ‘kekayaan’ sudut pandang yang berpengaruh terhadap pembentukan visi dan misi institusi yang dipimpinnya kelak.

23 hari telah berlalu dan Baharuddin Lopa yang tak mungkin kembali, saya merindukan kembalinya sosok Jaksa Agung yang dapat menjadi teladan bagi kami, inspirator yang mampu mengembalikan kewibawaan kami selaku aparat penegak hukum. Hingga kemudian pada suatu saat nanti, saya yang tak perlu merasa iri dan cemburu, tentang Kejaksaan yang mengakomodir kerinduan publik tentang penegakan hukum yang adil dan bermanfaat. Tentang Kejaksaan yang kemudian di apresiasi dan disayang publik.

*tulisan ini hanya pendapat pribadi, tidak mewakili institusi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun