Mohon tunggu...
Nyaman Agung Triyatno
Nyaman Agung Triyatno Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Penggemar One Piece.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Menggugat Status Kepemimpinan Presiden Jokowi

24 Februari 2015   14:42 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:36 183
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bulutangkis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Vladislav Vasnetsov

Menarik membahas kepemimpinan Indonesia sekarang. Ya, ini soal Presiden. Pertama, Presiden lah yang akan memimpin jalannya tata kehidupan negara melalui struktur pemerintahan. Kedua, Presiden lah yang melaksanakan undang-undang, peraturan pemerintah, dan peraturan lain yang barang tentu akan berimbas kepada kehidupan seluruh Warga Negara Indonesia.

Alasan di atas lah yang membuat Presiden menjadi ‘bukan jabatan tinggi biasa’. Orang yang terpilih akan menjadi persona yang mencerminkan identitas sebuah negara. Jadi, bukan persona biasa saja yang terpilih menduduki jabatan Presiden. ‘Bukan jabatan tinggi biasa’ sudah barang tentu dilengkapi ‘status tidak biasa’ pula.

Pemimpin-Presiden; Status Sosial Pilihan Partai menuju Status Pemimpin Kenegaraan

Dalam kajian sosiologi, jenis dan pembentukan status bisa berdasarkan; pertama, ascribed status, dimana tipe status yang didapat sejak lahir berdasar keturunan seperti jenis kelamin, ras, kasta, golongan, suku, usia, dan lain sebagainya. Contohnya seperti bangsawan, putra mahkota kerajaan, pewaris perusahaan keluarga.  Kedua, achieved status, status sosial yang didapat sesorang karena kerja keras dan usaha yang dilakukannya. Contohnya yaitu seperti harta kekayaan, tingkat pendidikan, pekerjaan. Ketiga, assigned status yaitu status sosial yang diperoleh seseorang di dalam lingkungan masyarakat yang bukan didapat sejak lahir tetapi diberikan karena usaha dan kepercayaan masyarakat. Contohnya seperti seseorang yang dijadikan kepala suku, ketua adat, sesepuh.

Pada konteks Jokowi, di dalam lingkungan PDI Perjuangan, dia bukan merupakan lingkaran elit. Lazimnya partai politik di Indonesia, PDI Perjuangan masih menganut kepemimpinan tradisional berdasar ketokohan seseorang, dalam hal ini trah Soekarno. Hadirnya Jokowi menjadi antitesis tokoh yang diajukan menjadi Presiden yang selama ini adalah ketua partai politik, atau lingkaran petinggi parpol. Pada dataran ini Jokowi telah mendapatkan status persona assigned status, dimana dia diberikan kepercayaan menjadi capres karena usaha sebagai Walikota Solo dan Gubernur DKI sehingga mendapat kepercayaan. Popularitas melambung, dan PDI Perjuangan pun tunduk pada riuhnya keinginan masyarakat. Jokowi menangguk dukungan suara dari gerakan social yang selama ini absen pada pemilu. Jadilah Jokowi Sang Presiden RI.

Assigned status partai berubah menjadi assigned status Presiden. Konflik kepentingan pun terjadi ketika Jokowi bekerja sebagai petugas partai. Ini ‘dimanfaatkan dengan baik’ oleh parpol. Tekanan bertubi-tubi pun dilakukan demi kepentingan golongannya. Etika Presiden sebagai pemimpin seluruh golongan dan partai pun terkalahkan oleh politik kekuasaan.

Jadilah ketidakjelasan pada 100 hari pertama masa Pemerintahan Jokowi. Dimulai dengan kesalahan pemilihan sejumlah posisi kementerian yang seharusnya diisi oleh para ahlinya malah disisi oleh orang partisan, seperti Menteri Politik dan Keamanan, Menteri Hukum dan HAM, Jaksa Agung. Hal ini berimbas pada lemahnya koordinasi antar menteri. Blunder berikutnya adalah menaikkan harga BBM ketika harga minyak dunia turun. Salah langkah berikutnya adalah kasus pemilihan Kapolri yang menjelma menjadi isu KPK VS Polri. Terakhir masalah masalah mobil nasional yang bekerjasama dengan Proton dari Malaysia. Tampaknya Jokowi gagap mewujudkan status dari pilihan parpol yang menang pemilu menjadi status presiden. Malah ‘direndahkan’ menjadi ‘petugas partai’.

Pada dataran ini, ada baiknya kita kembali pada pengertian dasar. Di Indonesia status Presiden adalah sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan. Status kepala negara membawa imbas kalau Presiden Indonesia menjadi simbol resmi sebuah Negara Indonesia di dunia. Status ke dua, sebagai kepala pemerintahan, Presiden dibantu oleh wakil presiden dan menteri-menteri dalam kabinet, memegang kekuasaan eksekutif untuk melaksanakan tugas-tugas pemerintah sehari-hari. Presiden (dan Wakil Presiden) menjabat selama 5 tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama untuk satu kali masa jabatan. Jadi, tidak ada presiden sebagai ‘petugas partai’.

Tantangan untuk Tuan Presiden Jokowi

Lalu bagaimana strategi Presiden melepas dari belenggu partai politik? Jawaban pasti adalah menguatkan legitimasi struktur negara yang dia pimpin sehingga menjadi senjata dalam melawan sistem politik di Indonesia yang penuh anomali.

Dalam sudut pandang State Stability & State Performance menurut Jan-Eric Lane & Svante Ersson dalam buku Compartive Politics (1994) tata kehidupan nasional akan berkembang jika stabilitas suatu negara berdasar pada tingkat legitimasi (legitimacy) rejim, sistem ketatanegaraan yang kuat, diakui dan dipatuhi masyarakat serta memiliki efisiensi (efficiency) dalam pelaksanaan hukum dan peraturan dalam sistem ketatanegaraan yang demokratis.Kondisi legitimasi dan efisiensi ini dicerminkan pada lima faktor, yaitu:

Pertama,Environmental condition (Strategic environment). Kondisi lingkungan mempengaruhi kelangsungan hidup sebuah tata kenegaraan. Kondisi lingkungan tersebut adalah ukuran dan iklim. Pertama, Ukuran menyangkut luas wilayah negara dan jumlah penduduk yang pada akhirnya berujung pada kapasitas sistem dan warga negara yang efektif. Ukuran negara akan berhubungan positif dengan kapasitas sistem. Efektifitas warga akan berhubungan negatif dengan ukuran negara. Dengan demikian, ada dua kekuatan berlawanan yang terlibat: kelangsungan hidup suatu negara akan meningkat dengan kapasitas sistem, tetapi ketidakefektifan warga menurun.Kedua, Iklim berpengaruh terhadap pembentukan karakter, tradisi dan kebudayaan sebuah masyarakat. Pengasaan atas kekayaan alam menjadi kunci Utama. Daerah yang beriklim tropis memiliki banyak akses terhadap air, penguasaan akses kekayaan alam membuat satu kelompok atau negara dapat mempertahankan bahkan berkuasa atas negara lain.

Kedua, Institutional and Actor related conditions. Gagasan pemerintahan yang stabil tergantung pada kompromi institusi untuk meningkatkan pemerintah. Suatu negara terdiri dari berbagai kelompok dalam masyarakat yang memberikan persetujuan mereka kepada pemerintah. Berbagai asosiasi merupakan badan politik, diperkuat terus menerus oleh konsensus. Sedangkan mayoritas cendekiawan menekankan konsep pemerintahan yang stabil sebagai zero-sum game di mana pemenang pluralitas mengambil semua pengaturan kompetitif di mana perpecahan lintas sektor memiliki gaya sentripetal. Kritik terhadap kondisi ini  pemerintahan yang stabil memerlukan kerangka kerja institusional yang sama sekali berbeda, setidaknya dalam apa yang disebut sebagai ‘masyarakat terbagi’. Dalam konteks sistem kenegaraan demokrasi, tampak pada sistem demokrasi mayoritas perwakilan dengan sistem demokrasi proporsional.

Ketiga, Poverty versus Prosperity (social gap). Lingkungan politik memainkan peran utama dalam membentuk probabilitas kelangsungan hidup rezim, seperti apakah pengaturan agraria atau industri, perkotaan atau pedesaan, kemiskinan, kemakmuran, dan sebagainya. Terkadang kemiskinan dapat menjadi pelanggeng rejim yang berkuasa, tapi dapat juga menggulingkan kekuasaan.

Keempat, Concentration of political & economic power. Konsentrasi penguasaan kekuasaan politik dan ekonomi juga menjadi kunci dalam menjaga stabilitas kekuasaan negara. Dengan dikuasainya pusat kekuatan politik dan ekonomi yang diarahkan demi penguatan kepentingan sistem yang sedang berkuasa, maka kekuasaan tersebut akan langgeng. Dalam demokrasi, idealnya pemegang kekuasaan politik  berbeda dengan pemegang kekuasaan ekonomi.

Kelima, Certain Cultural Factors (ethnic or religious fragmentation and social heterogeneity). Fragmentasi suku, agama dan heterogenitas sosial dalam sebuah sistem menjadi isu sangat penting. Secara umum, fragmentasi etnis memiliki dampak negatif pada masyarakat. Etnis pada umumnya memiliki dampak konservatif karena mendorong politik sayap kanan. Penentuan demokrasi proporsional atau perwakilan menjadi sangat penting demi menciptakan kekuatan seimbang dengan diterapkan sesuai dengan nilai-nilai dan kondisi nyata masyarakat yang sudah barang tentu sesuai dengan hukum dan peraturan negara.

Jika dilakukan pemetaan menjadi seperti berikut:

Faktor

Presiden

Partai Politik

Environmental condition (Strategic environment)

Memiliki data dan pengetahuan lebih valid dan tersebar sumbernya, mulai dari BPS, kependudukan, Pertanahan, Kepolisian, Militer

Berdasarkan pengurus di tingkat Kabupaten, Kecamatan, Desa. Itupun kalau ada.

Institutional and Actor related conditions

Memiliki kekuasaan menggerakan pada PNS, PNS Pemda, Kepolisian dan Militer.

Memiliki Pengurus daerah dan ormas, laskar, kader.

Poverty versus Prosperity (social gap)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun