Mohon tunggu...
Nyai Duesseldorf
Nyai Duesseldorf Mohon Tunggu... -

Nyai Duesseldorf a.k.a Zev. Web Designer, Pekerja IT dan Penulis. Bukunya yang sudah terbit: Elle Eleanor (Nominasi Kla Award 2009) dan Antologi Puisi & Cerpen 24 Sauh (Masuk MURI).

Selanjutnya

Tutup

Puisi Artikel Utama

LAILA - Tarian Pengorbanan Cerpenku di Kompas Minggu

18 Oktober 2010   08:32 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:20 793
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Teman-teman, sungguh terharu saat cerpen saya dimuat di Kompas Minggu. Jauh dari sempurna, sayapun tak menyangka. Mohon masukan positif ya untuk perbaikan saya ke depan.. Salamku.

LAILA: Tarian Pengorbanan

Cerpen Zeventina Octaviani(Kompas, 17 Oktober 2010) DUA “bodyguard” mengantarku, satu bertugas merangkap supir. Badan mereka besar-besar. Dari ototnya terlihat bahwa mereka adalah orang-orang terlatih untuk menjagaku. Mereka mengantarku ke sebuah hotel mewah berbintang 5. Kamar 462. Doakan aku selamat, ya…,” bisikku lirih. Salah satu dari bodyguard itu menatapku. Sorot matanya sulit kumengerti. Aku tak tahu apa yang ada di dalam hatinya, tetapi di balik wajah garangnya, kulihat kedamaian. “Hati-hati,” katanya singkat saat melepasku. Pistol tersembunyi di balik celananya yang tertutup kantong besar. Aku tersenyum padanya sebelum berlalu. Rahadian. Di lift, kulihat bayang diriku. Tubuhku tirus terbalut rok mini dan atasan hitam menerawang. Tubuh yang jiwanya seperti keluar dari jiwaku. Entah jiwa milik siapa, sulit kukenali lagi.

***

Di Indramayu, setelah ibu sakit keras yang mengakibatkan tubuhnya mengeluarkan bau-bauan tak sedap, aku sering mencari tikus untuk ditukar sejumlah uang. Aku sudah berusaha melamar untuk bekerja ke sana-ke mari, namun begitu sulitnya dengan ijazah SMA yang kumiliki. Karena banyak sekali tikus liar, maka pemda setempat memberikan sejumlah uang untuk setiap tikus yang terbunuh. Aku bisa mengumpulkan uang untuk pengobatan ibu. Teman sebayaku banyak yang menjajakan tubuh ke para lelaki hidung belang. Mereka bergerombol berdiri di pinggiran jalan setiap malam tiba. Dalam sekejap mereka mendapatkan uang cukup banyak. Aku tak tertarik. Aku memilih berburu tikus, lebih halal daripada menjajakan tubuh. Kini, aku terpaksa harus mengingkari janjiku. Walau seluruh manusia di muka bumi ini mengutuk pun aku rela. Angina Pectoris yang di derita ibu, di tambah Herpes Simplex Virus yang menyebabkan bisul bau dan bernanah di sekujur wajah ibu, membutuhkan biaya besar untuk mengobatinya. Aku ingin ibu sembuh.

***

Lelaki yang akan meniduriku kali ini adalah seorang bos dari Jepang. Perawakannya pendek dengan perut tambun. Setelah mandi, aku mulai menari. Menarikan tarian yang sengaja kuciptakan untuk membuatnya ketagihan. Tarian yang melibatkan seluruh panca indraku bekerja. Tarian penuh gelora. Terkadang, tangan kasarnya memperlakukanku tidak senonoh. Mencakar kulitku hingga terasa pedih, namun semakin pedih, bayang wajah ibu semakin tergambar jelas. Semakin pedih terasa, kecintaanku pada ibu semakin kuat.

***

Bapak kandungku adalah seorang bupati. Dia yang seharusnya bertanggung jawab, malah lari bersama wanita simpanannya, membawa semua harta yang kami miliki. Kini kami menempati rumah kontrakan yang kecil dan kumuh. Bapak menceraikan ibu di saat ibu butuh dukungan atas sakit yang dideritanya. Bapak memanipulasi harta gono gini bersama pengacara sahabatnya. Permainan kotor yang menyakitkan hatiku. Luka yang diderita ibu begitu sempurna. Jiwa dan raga. Aku marah pada Mbak Ning yang menghalangiku menusuk bapak dengan pisau. “Biarkan bapak gila, kita tak usah terbawa gila.” kata Mbak Ning. Aku menangis di pelukannya.

***

Dari hasil melacur, rupiah demi rupiah kubayarkan ke rumah sakit. Dengan perasaan bahagia membayangkan ibu akan segera sembuh, kutengok tidurnya yang pulas. Wajah ibu mulai cerah. Bisul dan nanah di sekujur tubuhnya sedikit berkurang. Mbak Ning tengah bersenandung ketika aku datang. Dia begitu telaten merawat ibu. Namun begitu melihatku, raut wajahnya berubah. “Jangan dekati ibu!” bisiknya ketus. Tak ingin ibu paham apa yang terjadi, aku keluar diikuti Mbak Ning. Di kursi ruang tunggu, kami duduk berhadapan. “Jika kau masih mau kuanggap sebagai adikku, berhentilah melacur!” katanya tegas. Aku menciut. Tak mengira Mbak Ning akan tahu. Kepadanya, aku berbohong mengatakan aku kerja di bank. “Tuhan akan membuka jalan dari setiap kesukaran. Tak perlu melacur pun, Mbak yakin ibu bisa sembuh!” katanya. Aku tersenyum sinis. Aku telah lakukan itu. Tak seorang pun dari rekanan-rekanan bapak yang mau membantu. Bahkan mereka melecehkan dan menghinaku. “Percuma Mbak. Aku sudah mencoba, tapi mereka balik menghinaku.” Mbak Ning menggeleng. “Tetap akan kucoba. Tolong jaga ibu dan berjanjilah padaku untuk berhenti melacur!” Aku mengangguk. Mbak Ning menghampiriku lalu memelukku. Dengan ketegaran luar biasa, Mbak Ning meninggalkanku. Dalam hati aku berjanji untuk berhenti melacur.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun