Lelaki di Batas Malam
Oleh: M. Nuzulul Arifin
Monolog.
Durasi + 30 menit.
Stage hanya diisi dengan satu buah kursi goyang. Backcground berupa bentangan kain hitam yang menutup seluruh dinding. Lighting dari atas berupa 3 buah lampu yang temaram saja. Sedangkan di kiri dan kanan depan dipasang highlight yang nanti sesekali disorotkan.
Soundback berupa instrumen gitar akustik dengan iringan lagu yang ‘Tuhan’-nya Bimbo. Dimainkan secara utuh pada awal cerita sebelum monolog. Selanjutnya dimainkan lirih saat monolog berlangsung. Dimainkan dengan agak keras saat monolog berhenti. Dimainkan secara utuh kembali saat monolog usai.
Pemain terdiri dari 2 orang. Satu orang sebagai pemain utama (PU)yang bernama ‘Aqil. Diperankan sebagai seorang dengan fisik yang kukuh, tinggi, besar dan bersuara berat. Berusia kurang lebih 50 tahunan dengan rambut yang sudah beruban penuh. Pakaian necis kantoran, dengan dasi dan jas serta sepatu vantofel yang bermerek.
Satu orang pemain pendukung berfungsi sebagai ‘suara hati’ (SH). Perempuan dengan suara lembut namun lantang dan tegas.
--------------------------------------
Semua lampu padam. Instrumen dimainkan dengan lagu ‘Tuhan” yang dimainkan penuh. Saat pada bait “aku jauh... engkau jauh...”, semua lampu pelahan-lahan dinyalakan penuh. Highlight dipancarkan penuh ke arah kursi goyang yang sedang bergerak-gerak sendiri.
PU berjalan perlahan memasuki panggung dengan ekspresi penuh kecemasan dan penuh kemasygulan yang bercampur jadi satu. Berjalan sambil sesekali berhenti untuk menghadap ke audiens.
Selanjutnya menghampiri kursi goyang (yang dalam keadaan goyang). Mengelus-elus, memandang lekat-lekat, sambil sesekali melihat ke audiens.
PU: Akhirnya aku menghamipirimu kawan. Setelah sekian lama aku berjuang. Bekerja keras... demi kamu.(sambil terkekeh-kekeh. Menarik napas dalam-dalam, dengan posisi masih berdiri sambil mengelus-elus kursi goyang)
PU: Kau tahu bukan? Akhirnya apapun ku korbankan untuk dapat meraihmu. (dengan tertawa ngakak dan menggeleng-gelengkan kepala. Kemudian maju ke bibir stage menghadap penuh ke audiens)
PU: Kau belum tahu kawan? Tak terhitung berapa milyar telah aku keluarkan hanya untuk kursi itu. (sambil menunjuk ke arah kursi) Berapa tahun waktuku aku pertaruhkan hanya untuk mengatur strategi. Lalu jalankan strategi untuk meraihkursi itu. (kemudian berjalan kembali mondar-mandir, berjalan kembali ke arah kursi)
PU: Betapa susah payah usahaku untuk merengkuhmu. Apapun ku jual, ku gadaikan. Bahkan harga diri serta kehormatankupun aku jual dan aku gadaikan. (teriak lantang, lalu terpekur diam sambil memgangi dengan erat sandaran kursi)
PU: Dan...kau sekarang di pelukanku sayang. (sambil menjatuhkan badan, berjongkok. Lampu higlihgt perlahan padam. Hanya lampu temaram saja yang menyinari perlahan)
PU: Aku lelah sayang. Aku lelah. Perjalananku yang panjang tadi memaksaku untuk segera berlari menujumu. Entah berapa nama tadi berusaha memanggilku. Aku tak peduli sayang. Sebab aku ada hanya untukmu. (kembali diam terpekur lama)
SH: Kau lelah ‘Aqil? Kau bisa lelah juga ‘Aqil?
PU: Yah aku lelah sekali. Tapi aku sangat bahagia dengan semua ini. Sebab sayangku akhirnya mampu ku raih. (sambil beranjak untuk menduduki kursi)
SH: Kau penipu ‘Aqil. Kau sosok penipu hebat. Masih saja kau menipuku. Kau benar-benar lelah bukan?
PU: Tidak! Meski aku lelah, tapi aku bahagia. Puas? Sudah berapa kali ku bilang. Jangan kau kuntit diriku. Justeru aku terlalu lelah untuk bicara denganmu. (setengah berteriak)
SH: (sambil tertawa) Manusia macam kamu memang kejam. Nuranimu sendiripun kau usir dan kau buang.
PU: Terus kau mau apa?
SH: (masih sambil tertawa) Harusnya kau sadar. Justeru dirikulah yang bisa menyelamatkanmu dari semua kekacauan ini.
PU: Bullshit.... (kembali beranjak dari kursi, berjalan mondar-mandir mendekati audiensi di pinggir stage)
Picik sekali jika aku dengarkan omongannya. Toh, semua sudah terjadi. Semua sudah selesai. Aku berhasil menggapai impianku.
SH: Tapi dengan membunuh anakmu.
PU: Persetan dengan anak.
SH: Kau juga bunuh isterimu.
PU: Apalagi isteriku. Tidak begitu penting. Aku besok akan cari kembali.
SH: Dan ibumu....
PU: (ekspresi wajah cemas dan gugup) Kenapa dengan ibuku? Dia baik-baik saja. Lebaran terakhir kemarin pub sudah ku bilang kalau anaknya sedang sibuk. Aku memang tidak bisa pulang. Aku sudah minta doa pada beliau. Bahwa ‘Aqil akan bertarung untuk menjadi seorang pemimpin tahun ini.
SH: (tertawa terbahak-bahak)
PU: Lalu kenapa, hah?
SH: (masih tertawa terbahak-bahak. PU berubah ekspresi menjadi bingung)
PU: Ada yang lucu?
SH: Kau sudah lupa ingatan ‘Aqil. Ibumu bunuh diri bukan?
PU: Kata siapa, hah? Siapa yang katakan itu?
SH: Setelah kau bunuh anakmu karena berkampanye untuk lawan politikmu, kau menjadi kehilangan akal bukan? Kemudian ketika kau tahu juga bahwa isterimu tidur dengan lawan politikmu yang lain juga. Kau bunuh juga dia bukan?
PU: Benar. Lalu kau mau apa?
SH: Tanganmu begitu kotor ‘Aqil. Otakmu sudah penuh racun. Anakmu yang demikian juga karena kau yang suruh bukan? Agar seolah-olah dia terlihat empati dengan lawan politikmu. Kau terkesan seolah-olah didholimi.
PU: Sudah seharusnya demikian. Anak sudah seharusnya membalas budi pada orangtuanya. Dan mereka bersedia.
SH: Lalu isterimu? Mengapa kau bunuh juga.
PU: (dengan wajah memerah dan tangan mengepal) Yang ini sudah keterlaluan. Ini yang sudah tak bisa kumaafkan.
SH: Mengapa tak kau maafkan. Kamu juga yang memerintahkan bukan?
PU: Tapi tak kuperintahkan tidur dengannya. Si keparat anjing babi bedebah.
SH: (menimpali dengan suara tertawa)
PU: Tak begitu harusnya. Aku Cuma minta dia porotin duitnya. Tidak lebih daripada itu. Bukan tidur dengannya.
SH: Kau pikir dia bisa dekat, lalu tiba-tiba bisa ambil duitnya yang berkoper-koper itu dengan gratis. Gila kau ‘Aqil. Namamu saja ‘Aqil, namun tak lebih dari keledai dungu yang hanya menurutkan nafsumu saja. Mana mungkin dia mau kasihkan gratis uangnya kalau tak ada imbalannya. Kau mimpi di siang bolong. Justeru isterimu itu yang punya akal. Dia tidur dengannya agar mendapatkan kepercayaannya.
PU: Tapi tak seharusnya begitu.
SH: Bodoh! Kau sungguh bodoh. Kau serahkan isterimu untuk ditiduri lawan politikmu lainnya. Suami macam apa pula kamu!
-----------------------------------------
Semua lampu dimatikan. Berangsur suara instrumen agak mengeras.
SH: Lalu ibumu akhirnya tahu dengan apa yang kau lakukan. Ibumu sangat bersedih. Seolah merasa bersalah dengan memberi nama seperti itu pada ‘Aqil. Sangat tidak pantas. Bahkan kekeliruan besar dulu yang beliau buat.
PU: Sudahlah diam saja kau!
SH: Kenapa harus diam. Kau takut bukan?
PU: Cerewet!
SH: Kau takut bukan? Ternya nasib ibumu lebih tragis dibanding nasib anak atau istrimu.
PU: Diam....! (berteriak kencang)
SH: Akhirnya pun ibumu bunuh diri. Begitu kecewanya dia kepada dirinya sendiri. (suasana seketika hening. Lampu yang redup pun akhirnya dimatikan. Instrumen kembali mengalun agak keras)
PU: Hiks... (menangis tersedu-sedu, sambil mengayun-ayunkan kursi)
SH: Aku akan diam ‘Aqil. Sebab sekaranglah kau seharusnya bicara.
--------------------------------------
Lampu dinyalakan redup. Satu lampu highlight di arahkan ke PU, yang masih menangis tersedu.sedu.
PU: Tuhan... Aku menang bukan? Masih menang bukan. Sayang kaulah milikku sekarang. Jangan ikut tinggalkan aku ya. Aku begitu mencintaimu melebihi yang aku punya. (memegang erat-erat pegangan kursi)
PU: Tuhan... Aku menang bukan? (berteriak lantang)
PU: Mengapa Engkau tidak menjawab Tuhan? (dengan nafas memburu dan terengah-engah)
PU: Aku sudang berjuang keras Tuhan. Apa masih kurang dengan apa yang aku lakukan. Apatah aku tidak boleh memiliki kekasihku ini Tuhan. (menangis tersedu-sedu sambil mengacak-acak rambut serta membuka semua atribut kenecisannya. Kemudian berlarian ke sana ke mari dengan berteriak-teriak yang tak karuan)
PU: Tuhan apakah justeru aku memang kalah. Aku telah kalah. Meski apapun telah aku pertaruhkan. Apakah aku jadi pecundang Tuhan. Aku jadi pecundang Tuhan.... (sambil memegangi dada dan merebahkan diri kesakitan di depan kursi. Instrumen mengalun lirih patah-patah melemah. Lalu perlahan berhenti.)
-------------------------------------
Kemudian lampu dimatikan semua dengan instrumen utuh lagu ‘Tuhan’. Setelah berhenti, lampu semua dinyalakan.
Tamat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H