"Taz, ini titipan dari Bu Ketty dan Mbak Ririen," satu kardus kurma disodorkan kepada saya.
"Ya, terima kasih. Sampaikan salam kami untuk beliau ya!"
"Siap, Taz." Cak Zainul, tukang becak jamaah masjid kami itu segera berlalu.
Seperti tahun lalu dan tahun sebelumnya. Keluarga Bu Ketty ini selalu memberikan donasi. Baik berupa uang. Terkadang makanan kecil untuk iftar. Ramadan kali, sudah dua kardus kurma yang dikirimkan.
Sebagaimana Koh Liek. Biasa mengirimkan air mineral gelas. Baik di bulan Ramadan maupun di bulan yang lain. Ini sudah berlangsung lama. Kebiasaan ini sekarang dilanjutkan oleh adiknya.
Inilah wajah masjid kami. Saat banjir besar di awal tahun 2000-an. Kami menampung warga yang terkena musibah. Tak pandang ras, suku, maupun agama. Hal inilah rupanya yang cukup membekas di hati.
Hingga keluarga Bu Ketty dan puterinya. Keluarga Koh Liek menjadi begitu dekat dengan kami. Meskipun mereka memiliki keyakinan berbeda. Tak menghalangi untuk berkarya bersama dalam hal muamalah (sosial).
Kami berkeyakinan. Masjid akan menjadi menara suar bagi kerukanan umat. Masjid menjadi 'rumah berteduh' bagi siapa saja yang membutuhkan. Membangun semangat saling bekerja sama. Menebarkan bibit-bibit perdamaian dan rahmatan lil 'alamin. Rahmat bagi seluruh alam.
Tak mudah di awalnya memang. Ada pro dan kontra saat menerima donasi. Dari mereka yang berbeda keyakinan. Namun dengan penjelasan yang gamblang. Sekaligus berkaca dari peristiwa besar musibah tadi. Semua akhirnya luruh.
Proses panjang itu kini terasa indah. Isu-isu negatif yang berhubungan dengan SARA. Sedini mungkin dapat kita selesaikan secara bersama. Merawat suasana dialogis dalam keberagaman.Â