Mohon tunggu...
Nuzuliyah Hayiluzun
Nuzuliyah Hayiluzun Mohon Tunggu... -

sedang belajar untuk menuliskan apa yang dilihat, dirasa, dan dipikirkan dengan ilmu yang telah didapat. Mari bersastra!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

pensil atau penghapus?

13 November 2011   13:24 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:43 157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kau tawarkan antara pensil atau penghapus. Saat ini kau kembali lagi sebagai lelaki yang tiada duanya. Sebenarnya kau hanyalah masa laluku yang memang indah. Keputusan terdahulu agaknya membuatku sakit sejenak namun kau datang mengobatiku. Karenanya aku mengatakan bahwa kau datang membawa pensil serta penghapus. Itu terserah aku mau memilih yang mana sebab kau tak memaksa untuk memberatkan diantara kedua pilihan tersebut. Tapi kau sudah masuk lagi dalam hidupku. Bagai pelangi yang terus mewarnai dan mendinginkan dengan hujanmu. Lalu kau semburatkan warnanya. Kau terus membasahi semua ladang hatiku yang mulai layu sementara kau hadirkan kupu-kupu berwarna yang terbang bebas di angkasa. Pada senja, kau perlihatkan bagaimana mentari yang terlahap oleh petang. Para gerombolan kambing yang sedari tadi berjalang di ladang menemui tidurnya. Dan kau membawa bintang serta bulan mengangkasa di lembah tidurku. Kita tidur bersama sembari menikmatinya. Hari ini kau telah berhasil merebut hatiku kembali yang sempat hilang. Namun disadarku, masih tersimpan bimbang. Kata mereka sembari mengulang peribahasa khas SD, “Tupai tidak akan jatuh di lubang yang sama”. Terus-menerus kusadari diriku ini bahwa lelaki yang memegang tanganku sekarang pernah melukaiku. Namun dia juga yang telah datang mengobatiku. Impas bukan? Sekarang aku benar-benar belajar, bagaimana pentingnya logika daripada perasaan. Bagai buah simalakama, jika aku menyuruhnya membawa pensil, maka ia akan menggores-lanjutkan kembali cerita kita. Namun aku takut, jika saja, keadaan menghendaki kami kembali terputus. Ini yang kedua kalinya ia memasuki hidupku, lagi-lagi tanpa permisi. Mungkin sebaiknya kali lain, aku memasang bel di dalam hatiku. Aaah, lelaki ini, begitu menyita pikiranku selama ini. Dan jika aku memutuskan untuknya membawa penghapus, maka hubungan kita akan benar-benar sebenar-benarnya sudah berakhir. Kemudian aku mencari lelaki lain dan ia mencari wanita lain. Kita tidak akan pernah bersatu apalagi menikah. Padahal umurku hampir 25, waktu yang setidaknya ideal bagi wanita melepas masa gadisnya. Sedangkan ia, lebih tua dariku dua tahun, lelaki yang ideal pula bagiku, menjadi imamku kelak.

Namun lagi-lagi, dia pernah menyakitiku. Dia pernah terang-terangan menelantarkanku. Bahkan temanku dan temannya sempat melarangku untuk mengingatnya. Lalu apakah sebaiknya aku menyambut hadirnya kini? Memang ia tidak membawa janji, hanya pensil dan penghapus, itu saja. Sekarang air mataku mengucur perlahan. Beruntung saat itu gelap meski sayup-sayup cahaya benderang memayungi kami. Entah dia dapat melihat mataku atau tidak namun yang pasti aku berusaha menutupi kegusaranku.

“Kamu suka, kan?” tanyanya membuyarkan pikiranku yang sedari tadi menari-nari.

“Iya”, jawabku seadanya karena terhenyak.

“Syukurlah kalau gitu. Aku ingin kamu lebih bahagia dari sekarang”.

Aku mulai berpikir keras.

“Maksudmu?” tanyaku untuk mengetahui arah pikirannya.

“Ya, aku ingin kamu bahagia lebih dari yang kamu dapat sekarang. Mungkin aku bukan orang yang tak tahu diri karena aku dulu pernah menyakitimu. Tapi aku sadar, aku harusnya menanggung semua rasa sakitmu. Dengan hadirku kini, terserah kamu, kau menerimaku lagi atau tidak, namun aku punya niat yang baik sama kamu. Kamu orang baik dan aku akan membaikimu. Aku akan mencoba membuat keadaan menjadi lebih baik, semampuku. Karna aku bukan pemegang kuasa atas semua itu. Aku mencintaimu, Pesek!”.

Deg. Langsung terhenti semuanya. Jantung, nafas, mata, angin, awan, bahkan sinar bintang, semuanya berhenti. Perlahan kulepaskan tanganku darinya. Aku hanya ingin berpikir tanpa ingin terhipnotis darinya. Aku juga tak ingin nadi-nadi cintanya mengalir deras melalui jabatan tangan kita. Aku duduk, ia mengikuti. Ia menunggu responku. Semuanya masih hening dan terhenti. Suara jangkrik pun seakan-akan malu untuk mengerik.

“Aku butuh...”

“waktu?”, jawabnya secepat kilat.

“Ya, butuh waktu yang sepertinya tidak sedikit. Aku memang sakit tapi kau juga telah mengobatiku. Tapi aku takut Kebo, terlalu takut. Memang kita saling cinta, sayang, rindu, tapi itu saja tidak cukup. Bagaimana dengan keadaan? Dengan situasi yang terlampau sulit? Dan dengan hal-hal yang nantinya datang tak terduga? Aku masih belum siap untuk semua itu”.

“Baiklah. Aku mengerti. Memang mungkin aku terlalu cepat menemuimu di saat seperti ini. Saat kau tersakiti lagi olehku. Tapi aku datang kali ini dengan pembenaran. Bahwa aku akan mengendalikan semua hal-hal itu sebagai lelakimu, pengarahmu, dan pelindungmu, dengan catatan, semampuku. Aku tidak memaksamu. Datanglah jika kau siap. Lalu putuskan semua itu”, terangnya lagi.

“Baik”, jawabku singkat.

---------------------------------------------------------------------------------------------------------

3 bulan kemudian.

Waktu yang mungkin terlalu lama baginya namun terlalu cepat untukku berpikir tapi aku telah siap saat ini. Siap dengan segala keputusanku karena keputusan terbesar ada di tanganku. Aku juga telah memikir matang-matang, sampai hangus rasanya. Dasar lelaki, dia selalu menyita waktuku seakan-akan aku ini menganggur. Apa dia tidak tahu bagaimana sibuknya aku harus mengurus butik yang baru saja kudirikan di kawasan Kemang itu. Omsetnya lumayan untuk membalikkan modal. Belum lagi restoran ayam yang kini meminta untuk dibuka cabang setelah dua restoran telah sukses merebut hati pencintanya. Kerja kerasku memang tersemangati oleh ibuku serta kedua adikku yang masih membutuhkan untuk dirawat. Ayah telah diminta olehNya karena kecelakaan hebat saat ia hendak pulang dari Sulawesi setelah menghadiri seminar kewirausahaan. Ayahku menjadi motivatornya.

Kami berduka dan terjatuh. Sempat hilang jiwa dan semangat kami namun mata ibu terus memancarkan semangat meski retinanya terus dibasahi oleh air mata. Aku harus bangkit, cukup sudah semua kedukaan ini. Ayah pasti juga akan sedih melihat anak pertamanya menjadi sangat lemah. Aku meminta izin untuk menjual semua omset Ayah. Dari kosan, bengkel, tambak, sampai supermarket. Ayah memang pejuang keras. Masa kecilnya ia pernah merasa tak punya apa-apa. Namun kegigihannya dan semangat dari wanita yang dicintainya, ibuku, Ayah mampu merubah dari tiada menjadi ada. Ayah juga sangat baik. Kepada kami, kolega, teman, saudara, bahkan musuhnya sekalipun. Begitu sempurna dimataku. Dan begitu aku menginginkan imamku kelak seperti Ayahku. Pembimbing, penyemangat, dan penginspirasiku.

Semangatku terus berkobar seiring usaha yang aku rintis benar-benar dari bawah terus menunjukkan peningkatan. Ibuku perlahan melupakan kejadian satu tahun itu. Sekarang kami sama-sama sibuk mengeksistensikan usaha kami. Dibalik kesuksesan usaha kami terselip beberapa gelintir seseorang yang tak menyukai usaha kami ini. Diantaranya menyebar gosip bahwa ayam yang kami gunakan adalah ayam tiren sehingga ayam itu adalah bangkai. Restoran kami terkapar selama hampir lima bulan. Hanya sedikit saja yang masih rajin mengunjungi restoran kami. Jam operasional juga hanya dibuka setengah hari saja. Belum lagi pegawai yang jumlahnya mencapai 50 orang, terpaksa kami pecat karena ketidakmampuan kami untuk menggajinya. Ibu. Lagi-lagi sorot mata ibu membangkitkan jiwaku yang runtuh.

Kulihat ibu dan adikku. Uang kita hampir menipis. Aku bangkit lagi.

“Tidak boleh terkapar disana, bolehlah jatuh, tapi jangan lama-lama”, sentakku kepada diriku.

Ya, begitulah seharusnya aku mengerasi diriku sendiri dalam menjalani hidup yang keras ini. Aku mendatangkan ayam hidup dengan berencana ingin merawatnya. Kandang itu kutaruh tak jauh dari restoran. Proses memasak sekarang dapat dilihat oleh pengunjung. Kini, pengunjung tak hanya dapat menikmati masakan matang saja, namun dapat juga membeli ayam dengan sebelumnya dipotong dan dibersihkan dari bulu-bulunya. Sukses. Pengunjung sekarang percaya dengan apa yang kami sajikan. Untuk menghindari dan mengulang kejadian serupa, ku buatkan palang dengan huruf kapital bertuliskan “TIDAK BUKA CABANG”. Pemfitnah restoran kami kini dikabarkan terkena stroke setelah penyakit komplikasi yang dideritanya. Aku memang tidak mau jahat dengan orang yang jahat denganku. Layaknya Ayah yang masih baik dengan musuhnya. Aku mencoba pahami itu benar-benar.

Tuhan tidak tidur. Tuhan Sang Penguasa Yang Maha Cinta. Aku cukup diam saja. Amarahku takkan membawaku kepada pikiran sejernih ini. Diamku tanpa menyumahserapahkannya tetap akan berpengaruh pada dirinya. Hanya Tuhan yang berhak membalas semua perbuatan baik-buruknya. Aku? Tak berhak. Aku hanyalah objek dari Tuhan dan bukan subjek. Aku hanyalah pemain dan bukan wasit dari permainan ini. Biarlah semuanya kuserahkan pada Tuhan dan Tuhan telah menunjukkan kuasaNya. Indah sekali.

Sekarang kembali kepada lelaki itu lagi. Aku hampir mendekati rumahnya. Sengaja tak ku hubungi ia, aku tak mau ia banyak berharap dan berpikir yang aneh. Dasar Jakarta, masih saja merawat kemacetan. Supirku yang telah tau jalan-jalan tikus di Jakarta, meliuk-liuk diantara rimbunnya perumahan serta pertokoan. Beruntung mobilku kecil, hanya cukup 4 orang saja. Tapi terkadang juga cukup bagi keluarga kecil kami saat kami masih mengandalkan supir sebagai pengemudi kami. Sebenarnya aku bisa menyetir, hanya saja aku terlampau sibuk, sedang pikiranku kemana-mana. Telepon genggam juga hampir tidak pernah sepi. Mulai dari adik, ibu, pelayan, sampai pelanggan ingin berbicara denganku. Tapi tak apalah, aku masih bisa mengatasinya.

Sudah satu jam kami menyusuri jalan ibukota.

“Jika memang terjebak macet, bisa-bisa aku nonton bioskop sampai abis karena lamanya”, pikirku sembari meregangkan otak dan perasaanku sedari tadi.

Sekarang aku sudah di depan pintunya. Rumahnya minimalis. Saking minimalisnya, pagarpun tak ada. Entah irit atau pengiritan. Dasar lelaki yang satu ini. Lonceng tepat dipintunya kugoyangkan. Aku suka sekali lonceng, suaranya nyaring. Entah sengaja atau tidak ia memakai lonceng sebagai bel di rumahnya. Tak lama terdengar samar suaranya.

“Ya? Kamu! Masuk-masuk. Sama siapa?”, tanyanya berkelanjutan.

“Diantar supir. Baru pulang dari butik”, jawabku singkat-singkat.

“Oh, gitu. Kok gak bilang-bilang. Aku masih lusuh ini. Baru cuci baju tadi. Oh iya, aku ambil minum dulu. Sebentar aja kok.”

Tanpa bisa aku cegah, dia sudah melesat ke dalam. Beberapa menit kemudian, ia membawakan tiga gelas sirup merah dingin. Dua untuk kami dan satu untuk supirku yang setia menunggu di dalam mobil, biasanya sambil membaca koran dan tak lupa menyedot rokok, gaya khas lelaki. Tapi tidak sama halnya seperti lelaki yang ada di depanku sekarang. Ia jauh dari barang mematikan itu, aku dan aku yakin semua wanita juga tak suka dengan rokok.

“Bagaimana kabarmu? Tiga bulan kamu benar-benar menghilang. Sekarang  muncul di siang bolong. Tanpa kabar terlebih dahulu. Beruntung aku di rumah. Tadi pagi kantorku sengaja mengadakan jalan sehat dan sekarang kita terbebas dari rutinitas pekerjaan”, jelasnya tanpa kuminta penjelasan.

Sebenarnya aku sudah tahu ia mengikuti jalan sehat pagi tadi, karenanya mungkin ini waktu yang tepat bagiku ke rumahnya. Entah mengapa aku ingin membicarakan ini semua di rumahnya. Tidak di restoran, taman, atau tempat sepi.

“Aku akan memutuskannya sekarang”.

Ia merubah posisi tubuhnya, lebih tegap, seakan-akan mendengarkan setiap kelanjutan bicaraku dengan sungguh-sungguh. Tak ada gurat harapan dari wajahnya. Aku sendiri tak punya kuasa untuk menatap langsung wajahnya namun aku dapat menangkap jelas dari sudut mataku. Dia menungguku berbicara.

“Setelah kesendirianku selama ini, aku bisa berpikir jernih. Tanpa hadirmu dan bayangmu. Aku benar-benar sendiri. Pertama aku lenyapkan semua kenangan kita yang lalu, aku leburkan semua rasa yang pernah melekat di hatiku, aku musnahkan semua sakit ini. Kedua aku kembali menghadirkanmu lagi. Sebagai sosok yang baru, membarui hidupku kini. Namun, yang baru belum tentulah bagus. Ketiga, aku mencoba melihatmu dari sisi penguasaku. Tuhan. Aku berpegang erat padaNya sebagai pegangang yang sebenar-benarnya. Dia terus tunjukkan semua kuasaNya. Semuanya mengarah ke kamu. Aku tak kuasa menolak tapi aku hanya terdiam. Semua itu kamu. Tak habis pikir sebenarnya. Tapi aku akhirnya meyakini, memang inilah jawabNya. Atas panduan dari Tuhan, aku memilih…”

Tik tok. Tik tok. Tik tok. Jam dindingnya memutus bicaraku. Suaranya menyebar kesegala arah. Aku sendiri berusaha terus mencari udara, menghirup kemudian melepaskannya perlahan. Tenang. Aku teruskan tapi aku berniat melihat wajahnya. Ia masih saja diam. Seperti anak kecil yang sedang didongengi kancil, ia terus berharap kelanjutan ceritanya.

“Aku memilih…”, aku bersiap.

“PENSIL!”, lantang dan mantap kuucapkan.

Lega rasanya mengeluarkan beribu pikiran selama tiga bulan ini. Dan hari inilah aku mengeluarkannya. Di luar sadarku, air mata tiba-tiba menetes dari sudut mataku. Entah ungkapan kelelahan atau kebahagiaan. Semua campur aduk namun yang pasti aku lega. Karena kepastian itu keluar dari mulutku sendiri. Dia? Oh iya, aku belum melihat mukanya. Edan. Daritadi aku hanya tertunduk saja. Tiba-tiba tangannya mengusap lembut air mataku. Sembari bersimpuh, wajahnya dekat dengan wajahku. Tanpa berkata, semua yang tersirat, kita saling berpelukan. Isyarat saling menerima satu sama lain. Lama sekali rasanya sampai jam dindingnya berdengung lagi. Seakan-akan ia menyadarkan karena terlalu lamanya kita berpelukan.

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------

“Kamu tinggal disini dulu ya, Nak? Satu atau dua bulan saja. Ibu masih ingin sama kamu”, pinta ibu.

“Iya ibu. Nanti aku bilang sama Kebo, eh maksudku sama mas Anton . Dia pasti setuju.”

Akhirnya kutemukan hidup yang penuh kepastian. Dimana dalam hitungan minggu, aku akan berdampingan dengannya. Usahaku sekarang juga akan kita kelola bersama. Terima kasih Tuhan. Kusematkan sujud syukur sebagai ungkapan syukurku. Ayah. Tersenyumlah, aku mendapatkan imamku yang sebenarnya. Semoga ia akan terus memenuhi hari dengan cinta kepadaNya agar kau tenang disana, ayah.

Kulihat ibu, adik, calon ibuku dan calon keluargaku, serta lelaki yang berhasil membuatku hidup kembali. Aku menangis. Cengeng memang aku ini. Itulah yang hanya bisa kulakukan saat aku tak kuasa menahan kebahagiaan ini dan menerima semua ini dengan logikaku. Tak menyangka semua akan menjadi seperti ini. Semoga keputusan terbesar ini tidak salah.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun