Saudaraku, pernahkah kau menangis karena kau ditakdirkan sebagai dirimu sendiri? Pernahkah kau melihat cermin, lalu selama bertahun-tahun lamanya, kau melihat wajah yang sama dari tubuh yang tak pernah betah kau tinggali itu ternyata perlahan-lahan mengerut menjadi kian murung?Â
Kau tahu dengan pasti bahwa kau tak punya banyak pilihan selain menetap di dalam sana untuk waktu yang lebih lama, karena kau sendiri takut untuk mati. Ketika kau melihat bayanganmu di cermin, kau ikut melihat orang-orang terkasih. Berbekas senyum-senyum mereka seperti stiker dari toko-toko baju yang rajin kau tempel di kaca agar suatu hari  kau tak perlu lagi melihat wajahmu sendiri di dalam sana.Â
Kau benci dengan nafas yang keluar dari lubang hidungmu, terlebih udara yang keras melalui mulutmu sendiri. Tapi lagi-lagi kau tahu kau tak punya pilihan yang lebih jitu selain terus melakukannya lagi, lagi, dan lagi.Â
Saudaraku, tinggallah lebih lama lagi di dalam diriku. Sekawanan manusia-manusia itu mengerikan. Atau aku yang mulai menjadi sesuatu yang bukan bagian dari mereka.
Menjadi ada dan aku terpaksa menerimanya adalah suatu kenyataan yang begtu pahit. Rasanya seperti aku terjebak dalam permainan yang aku sendiri tahu, suatu saat, seberapa keras pun aku berusaha memainkannya, aku akan selalu terjatuh pada kekalahan yang sama.Â
Hingga lama-lama kekalahan ini tak menimbulkan rasa sakit sama sekali pada kulit-kulitku, bahkan aku tak merasakan apa-apa sama sekali. Seolah aku telah lepas dari keberadaan tubuh ini bagai suatu mimpi yang teramat panjang. Tapi entah kenapa kesemuanya ini tiba-tiba terasa sakit saat kepalaku sendiri mengingatkanku akan cinta yang tak pernah terbagi dalam diriku.Â
Aku tahu aku hidup. Aku tahu ada ujung mata pisau yang tertancap di punggung, yang setiap kali aku merebahkan badan untuk sekadar melarikan diri dari kenyataan, pisau itu akan membukakan luka yang lebih lebar dan lebih dalam. Tapi aku tak merasakan sakit sama sekali, hanya saja aku tahu pisau itu tak seharusnya berada di sana.
Saudaraku, maukah kau menerima rasa sakitku? Atau paling tidak, bagikanlah sedikit rasa sakitmu padaku dan aku membagikan rasa sakitku padamu.Â
Kau tahu, itulah cinta kita, cinta yang penuh dalam penderitaan. Kau ingin bahagia, sedang kau tahu aku tak betah sebagai tuanmu. Sebab itu kita saling membagi penyakitan ini. Dan kau tak pernah menangis, karena aku tidak menangis. Kau menunggu kapan aku terlena, dan kau menghujat dengan segenap penyesalan mengapa hingga kini aku masih menjalani hidup yang sama, dengan gaya hidup yang sama, tapi dengan kata umpatan yang mulai berbeda.Â
Saudaraku, sejatinya aku sangat mencintai hidup ini. Bagaimana mungkin aku menolak setiap udara yang berlalu di antara daun-daun itu. Bagaimana aku tidak menari di kala ranting-rantingnya bergoyang mengeluarkan irama hangat yang mengajak persahabatan denganku. Aku ingat, aku pernah sangat mencintai hujan. Dan aku berjanji tak akan pernah membencinya, sebab aku memang menyukai hujan itu membasahi rambut dan seluruh tubuhku. Aku ingat aku senang mendengarkan orang tertawa. Atau orang menangis membuatku terenyuh. Mengapa aku harus menolak hidup ini di saat jalanan setiap hari memperlihatkan anak-anak berlarian riang gembira. Tapi ke mana anak-anak itu pergi sekarang? Itu tak jadi soal. Untuk sekali waktu aku pernah mencintai hidup ini, hanya saja aku terlalu membenci diriku sendiri.Â
Itu saja persoalanku. Lantas maukah kau, saudaraku, berdamai dengan itu? Aku ingin mengulang segalanya dari awal lagi. Untuk mimpi-mimpi, dan cinta-cinta kepada hidup yang telah pergi, aku ingin segera menjemputnya kembali.