Dia berharap opsir muda itu langsung saja menanyai keterangan tentang si jasad, tapi opsir muda bilang bahwa lebih baik menunggu atasannya datang. Si atasan sedang enak-enaknya bercumbu di ranjang bersama istrinya, picik si petani rajin itu. Tapi dia diam saja, berdoa, berharap agar waktu cepat berlalu, dan angin malam dapat menemani langkahnya pulang. Sebagai mantan anggota kelompok separatis, dia tahu betul sejarahnya jelek, dan melawan, tentu akan memperparah keadaannya. Dan bisa saja ia dipenjara seumur hidup atas kejahatan yang tidak dikotori oleh tangannya sendiri, dan itu sangat memilukan.
Tiba-tiba dari kejauhan, dia melihat sebuah lampu motor melaju menuju kantor polisi. Akhirnya, orang yang dinantinya itu pun tiba, tepat saat emosi si petani bertegak lurus dengan neraka. Tak menunggu lama, ia langsung berdiri dan bergegas agar segala prosesi ini cepat usai. Si opsir yang pangkatnya lebih tinggi itu perutnya buncit, dan mukanya sudah keriput. Dari tampang, petani itu lebih terlihat muda, tapi perkara umur adalah rahasia.
Si petani tak menerima jabatan tangan opsir itu, wajahnya sudah terlanjur cemberut. Ia diminta untuk duduk. Karena dilihat kopi di gelas sudah dingin, opsir yang pangkatnya lebih tinggi itu meminta si opsir muda membikinkan kopi lagi buat si petani. Dan di sanalah, diceritakannya semua, dan itu tidak lama. Hanya sebentar, kebanyakan pertanyaan opsir berpengalaman itu mengarah pada hal-hal personal soal si petani. Tentang kesehariannya, anaknya, tinggal di mana, dan ketika si opsir menanyakan perihal istrinya, ia melempar pandangannya keluar. Ada satu cahaya lampu di pinggir jalan yang terlihat begitu busuk.
"Meninggal," jawabnya.
"Sebab?"
Dibunuh," jawabnya.
"Oleh?"
"Tentara." Jawabnya.
"Sebab?"
"Peluru nyasar."
Opsir menganggukkan kepalanya. Dia menulis keterangan pada buku catatan: petani = tersangka. Kemudian dia menutup bukunya, dan mengucapkan terima kasih. Katanya dia akan mencari tahu identitas si tak bernyawa, dan bisa jadi mereka akan bertemu lagi di lain waktu. Tanpa dibolehkan untuk pergi, petani itu lebih dulu bangkit dari kursinya, dan pulang dengan berlari-lari kecil ke arah bukit. Demikian angin malam yang begitu menusuk sendi-sendinya yang lebih dulu basah oleh keringat itu mengantarkannya pulang menuju anaknya.