Kulihat selembar kertas tersangkut di karang. Dan sepotong hati yang patah terbungkus plastik sampah. Dia bergoyang bersenandung dengan nyanyian ombak yang merindukan padang ilalang.
Di satu bagian bumi, ada manusia yang hanya punya setengah hati. Katastrofi patah hati telah melayangkan setengahnya lagi kemari, tepat di depan kaki-kaki lemah yang nyaris patah.
Aku melihat matahari. Dia tak lagi bersembunyi. Langit cukup terang terbuka bagai gerbang yang membuka sembilan neraka.
Maka aku memetik awan-awan. Bulu-bulunya hangat seperti sentuhan yang jauh di pulau. Aku membungkus kertas basah itu, yang tintanya telah terburai menjadi darah. Sama halnya sepotong hati itu, maka dengannya aku membungkus bencana itu dalam benjana berbalut mega dan kugantungkan di awan yang tebal.
Kuharap bulan segera menurunkan hujan-hujan panjang. Dan membasahi seluruh bumi dengan ratusan cinta-cintanya. Mendatangkan bidadari-bidadari bersayap patah untuk satu gelora yang telah memudar atas hari-hari tanpa kemarin.
Hingga esok, saat aku terbangun, aku ingin pot kosong di jendela, menumbuhkan satu pohon kecil. Berbahasa latin yang serupa dengan namamu. Yang merekahkan bunga-bunga musim semi.
Namun kulihat lagi selembar kertas dan sepotong hati di atas mega. Aku tersenyum. Entah mengapa, awan menjadi begitu tinggi.
Maka kulihat lagi seluruh badanku,Â
telah tersangkut di karang. Menanti.
April, 2023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H