Aku menunggu seorang pria di sebuah restoran. Kali itu aku membawanya sebuah kado berisikan jam tangan karena ia sering sekali terlambat saat kami janji untuk bertemu---dan lagi-lagi ia terlambat. Seorang pelayan laki-laki sudah tiga kali mampir ke meja dan menawariku segelas anggur. Aku menolaknya. Aku sedang menunggu seseorang kataku, dan itu membuatnya pergi. Sembari menunggu, aku mengingat bagimana kami bertemu pertama kalinya. Aku dan pria itu. Sekitar dua tahun yang lalu, di suatu sore aku ingin menonton film di bioskop. Mereka sedang memutar film Gone with the Wind. Hanya aku seorang di bioskop itu. Lantas setelah film sudah berjalan 15 menit, seorang laki-laki masuk dengan tergesa-gesa. Seember popcorn yang ia bawa sedikit tercecer ke lantai bioskop. Kemudian ia mengambil kursi bagian tengah, beberapa jarak di atasku. Tapi tak lama kemudian, layar berganti hitam. Aku melihat ke belakang, lelaki itu juga menoleh ke belakang. Lampu proyektor padam. Terlihat seorang petugas tengah mengotak-atik benda itu hingga akhirnya kembali menyala. Namun itu hanya sebentar, beberapa menit selanjutnya cahaya proyektor kembali padam dan layar menjadi hitam. Aku mengumpat di dalam hati. Karena ruangan itu menjadi sangat sunyi, aku bisa mendengar lelaki itu mengunyah popcorn di atasku. Aku menggoyang-goyangkan kakiku karena menunggu proyektor diperbaiki. Tapi hari semakin menjadi kacau untukku setelah petugas itu mengatakan bahwa proyektornya bermasalah sehingga uang kami harus dikembalikan. Dia juga menawari kami sebuah kursi di film yang lain apabila kami mau. Dikarenakan aku kehilangan selera untuk  menonton aku memilih keluar bioskop. Aku tak menyangka aku akan keluar saat matahari masih terang. Kupikir aku akan pulang saat hari sudah malam. Saat aku berdiri di pinggir jalan menunggu taksi tiba, lelaki itu menghampiriku dan mengajakku minum kopi di ujung jalan itu. Kupikir tak ada salahnya meminum kopi dengan pria asing sementara suamiku sedang sakit di rumah. Lagipun suamiku yang memintaku untuk keluar sore itu, karena ia pikir aku terlalu lelah mengurusnya.
Kami duduk dekat jendela. Dia bercerita bagaimana ia sangat menyukai film Gone with the Wind dengan penuh ekspresi. Tangannya aktif bergerak seperti seorang guru yang tengah menerangkan sesuatu. Terlebih saat aku berkata bahwa film itu juga film favoritku. Kami saling menukar hal-hal yang kami sukai, mulai dari film, musik, dan buku. Aku terpukau saat ia mengatakan padaku bahwa dia adalah seorang dosen sastra di sebuah kampus swasta. Saat aku menanyakan apakah dia pernah menulis novel, dia bilang belum. Tapi katanya, cerpen-cerpennya pernah diterbitkan oleh koran lokal, dan suatu hari ia berencana merangkumnya dalam buku kumpulan cerpen. Aku memberikannya sebuah pujian yang tulus, dan ia tampak senang.
Sebelum taksi menjemputku, ia menanyakan nomor telepon. Aku memberikannya. Dan setelah hari itu, kami sering bertemu. Awalnya hanya sekedar minum kopi, tapi lama kelamaan hubungan kami semakin liar. Bermula saat makan malam kesekian kalinya di sebuah restoran jepang, setelah sebelumnya aku berpikir ia takkan datang karena lama sekali aku menunggunya. Sampai akhirnya ia meminta maaf dengan alasan ia lupa waktu saat ia menulis. Aku memakluminya. Lantas setelah makan, kami memutuskan untuk bermain tebak-tebakan, bagi yang salah menebak harus meminum segelas sake. Aku rasa aku cukup mabuk malam itu, sampai tak memikirkan suamiku yang sendirian di rumah. Jadi saat lelaki itu menawariku untuk menginap di rumahnya, aku tak menolak, lantas aku mengirimkan sebuah pesan singkat untuk suamiku. Kukatakan aku menginap di rumah seorang kawan, dan akan kembali besok pagi.
Saat malam-malam yang seperti itu, setelah berhubungan ranjang, kami saling menukar cerita. Â Aku berbagi cerita tentang suamiku yang tengah melawan penyakit keras, dan aku lelah meladeninya. Ia tak merespon apa-apa dari ceritaku, ia hanya mendengar, dan itu membuat perasaanku menjadi lebih baik. Karena aku hanya butuh didengarkan. Setelah itu ia membagi cerita tentang mantan istrinya. Mereka sudah bercerai, dan hak asuh anak tidak jatuh untuknya. Jadi dia sering membagikan kesedihannya, betapa ia rindu pada anak-anak perempuannya. Katanya, mereka pindah ke luar kota, dan pria itu tak bisa berbuat apa-apa. Itu membuatnya sering merasakan kesepian. Persis seperti yang kurasakan. Lantas setelah itu aku merangsek ke dalam pelukannya, menyatu dengan dada dan suara detakan jantungnya. Dan kami pun tertidur.
Cukup sering aku melakukan itu, sampai suatu hari suamiku yang tengah sakit berat berkata padaku bahwa ia ingin melihatku bahagia. Ia kecewa pada dirinya, sampai membuatnya menangis. Dan itu membuatku iba. Setelah itu ia menunjukkan surat dokter padaku, katanya hidupnya takkan lama lagi. Tentu saja aku menangis mendengar kabar itu, aku terjatuh di pangkuannya. Ia mengelus-elus punggungku. Mengingatkanku bahwa apa yang kulakukan selama ini adalah salah, dan itu menyadarkanku bahwa aku sungguh mencintai pria ini. Dan pria itu sungguh mencintaiku.
Suatu sore lelaki itu mengirimkan pesan padaku, ia mengajakku untuk bertemu di taman. Awalnya aku menolak, kukatakan Alex jatuh dari kamar mandi tadi siang. Ia meminta maaf, dan aku bilang tidak apa-apa, lagipun Alex sudah tertidur. Setelah itu aku ikut tertidur di samping Alex, sampai pukul delapan. Alex masih belum terjaga. Ia tertidur cukup tenang, dan aku mengirim pesan kepada itu. Pria itu membalas dengan cepat, lantas aku mengajaknya untuk menemaniku minum kopi. Dan ia menerimanya.
Kami bertemu di kedai kopi yang sama saat pertemuan kami di bioskop. Saat itu aku tak banyak bicara. Aku mencoba menjaga perasaanku. Suamiku sedang sakit-sakitan di rumah. Ia mengetahui ada sesuatu yang aneh dariku, lantas ia bertanya, aku menjawab tidak apa-apa. Kemudian ia menyodorkanku sebuah kertas dari dalam saku celananya. Ia bilang, aku menulisnya untukmu. Aku menarik kertas yang terlipat itu, dan menemukan sebuah puisi panjang. Judulnya Emily, namaku. Dan di sana ia menulis bagaimana ia jatuh cinta pada tatapanku yang membias keindahan matahari sore itu, saat kita sama-sama mengecup gelas kopi di suatu hari setelah gagal menonton Gone with the Wind. Ia bilang di dalam puisinya, bahwa ia ingin meraih cintaku, sebagaimana ia mengutip kata-kata di dalam novel Gone with the Wind: i'd cut up my heart for you to wear if you wanted it. Lalu setelah itu ia menyentuh tanganku, dan aku menghindar. Dia kembali bertanya tentang apa yang terjadi padaku. Aku jawab bahwa kita tak seharusnya bertemu lagi. Aku bilang bahwa aku sangat mencintai suamiku, sampai aku tak menyangka bahwa merelakannya pergi adalah hal terberat dalam hidupku. Aku menaruh selembar uang kertas biru di meja, setelah itu aku memanggil taksi. Lelaki itu menarik lenganku, katanya adegan ini adalah mimpi buruknya. Dia tak ingin aku meninggalkannya seperti itu, ia meminta maaf. Tapi aku harus pergi, sehingga aku sedikit menarik tanganku untuk melepaskan cengkeramannya. Lantas di sepanjang perjalanan pulang, aku menangis di kursi belakang taksi itu.
Dua hari setelahnya, seseorang mengetuk pintu. Aku melihat laki-laki itu berdiri dengan membawa sebuah buket bunga, ia tersenyum saat menyerahkannya padaku. Katanya bunga ini ia petik di taman. Aku menyuruhnya untuk pergi, kubilang bahwa hubungan ini tak bisa kulanjutkan. Ia memelas untuk masuk, dan ingin membicarakan tentang itu. Tapi aku tak peduli, bersikeras untuk mengusirnya. Sampai aku merasa sedikit kelewatan dengan membuang buket itu ke halaman dan membanting pintu di hadapannya. Saat itu aku langsung berlari ke lantai atas, tempat di mana Alex berbaring dengan lemas. Ia bertanya siapa, aku menjawab hanya seseorang yang menanyakan alamat rumah. Setelah itu aku mengintip dari jendela kamar itu, dan memperhatikan lelaki itu berjalan dengan loyo sambil menggenggam buketnya masuk ke dalam mobil. Ia duduk di dalam sana cukup lama, sebelum akhirnya mobil itu melaju kencang dan menghilang cepat di perempatan.
Setelah hari itu, aku sering menemukan namanya di kolom sastra. Puisi-puisinya banyak terbit di sana. Rata-rata tentang cinta. Ada satu yang bagus menurutku, sampai kugunting dan kusimpan di buku catatanku. Itulah puisi yang diberi judul Emily itu. Dan dia juga sering mengirimiku pesan. Tapi tak pernah kubalas. Sampai suatu hari, aku mengabarinya bahwa Alex sudah meninggal. Ia tak langsung membalasnya. Lantas saat aku tengah sibuk membantu di dapur guna mengurangi rasa sedihku, ia membalas dengan meminta maaf tak bisa datang karena sedang di luar kota. Tapi ia mengucapkan belasungkawanya. Itu membuatku sedikit senang.
Berbulan-bulan setelah itu, ia tak pernah mengabariku lagi. Itu membuatku merasa rindu akan perasaan itu, perasaan saat ia mengirimiku pesan betapa ia merindukanku, tapi aku hanya membalas dengan tersenyum di dalam hati. Sebulan yang lalu, aku tengah berbelanja di mal. Saat aku melewati toko buku, sebuah acara peluncuran buku sedang berlangsung di sana. Lantas saat aku mendengar suara yang aku kenali, aku bergegas ke sana. Dan menemukan lelaki itu tengah duduk dengan menggenggam mikrofon di meja panjang, yang dihadapannya ada sebuah papan nama kecil. Di bawah namanya tertulis: "penulis". Aku cukup senang melihatnya di sana. Ia melambai padaku dengan tersenyum. Itu membuatku malu, karena tamu-tamu acara itu ikut menoleh ke arahku. Aku duduk dan menikmati acara peluncuran buku. Lantas setelah itu ia mengajakku minum kopi di salah satu kedai di mal itu. Di sana ia menanyakan tentang kabarku, dan kujawab baik-baik saja. Lantas ia bercerita bahwa akhir-akhir ini, ia sering mengunjungi anak-anaknya. Aku turut senang mendengarnya, setelah itu kami saling menukar cerita tentang masa lalu kami itu. Â Seperti biasa, tangannya selalu bermain saat ia bercerita. Dan di titik itu aku menyadari, betapa aku merindukannya. Ketika ia berkata bahwa ia harus pergi, ia menyodorkanku bukunya yang berwarna cokelat. Sebuah novel, dengan judul "Emily". Aku tersentuh, menaruh satu tanganku di dada, dan mengucapkan terima kasih padanya. Ia hanya mengangguk, tersenyum, dan beranjak pergi.
Tadi pagi, saat aku menyudahi novel itu. Aku memutuskan untuk mengabarinya sebuah pesan. Ajakan untuk bertemu. Aku ingin mengabarinya bahwa novel tentang seorang gadis bernama Emily yang mati diperkosa di tengah hutan itu sungguh menyesakkan dadaku. Tentunya itu bagus, karena aku ikut merasakan emosinya. Terlebih bagian penutupnya membuatku menangis, sebab para perempuan memutuskan untuk turun ke jalanan menuntut kasus Emily itu disudahi, meskipun pelakunya adalah seorang polisi. Walaupun aku sedikit kecewa karena ceritanya tidak sesuai harapanku, tapi tak masalah, lelaki itu menulisnya dengan baik. Selain itu, aku juga sangat merindukannya. Dan lelaki itu pun membalas pesanku dengan cepat, kami sepakat untuk ketemuan di sebuah restoran tepat di tengah kota.