NAMA : NUWAF AL JAMIL
NIM : 222121182
PANDANGAN HAKIM DALAM PERKARA PERCERAIAN YANG DISEBABKAN TIDAK MEMILIKI KETURUNAN PERSPEKTIF KOMPILASI HUKUM ISLAM Â (STUDI DI PENGADILAN AGAMA BANTUL 1 B) Oleh Nurul Hidayati UIN Raden Mas SaidÂ
Pendahuluan
A. Penelitian skripsi yang dilakukan oleh Nurul Hidayati berjudul "Pandangan Hakim dalam Perkara Perceraian yang Disebabkan Tidak Memiliki Keturunan Perspektif Kompilasi Hukum Islam (Studi di Pengadilan Agama Bantul 1 B)" mengkaji pandangan hakim terhadap perkara perceraian yang disebabkan oleh tidak adanya keturunan. Penelitian ini didasarkan pada kasus perceraian yang diputus oleh Pengadilan Agama Bantul dengan nomor perkara 379/Pdt.G/2021/PA.Btl dan 960/Pdt.G/2021/PA.Btl. Melalui penelitian kualitatif ini, penulis berusaha memahami pandangan hakim dan kesesuaian keputusan tersebut dengan Kompilasi Hukum Islam (KHI).
B. Alasan Memilih Judul Skripsi
Judul skripsi ini dipilih karena permasalahan perceraian dengan alasan tidak memiliki keturunan merupakan isu yang signifikan namun tidak secara eksplisit diatur dalam KHI. Di dalam masyarakat, keturunan sering dianggap penting dalam perkawinan, dan ketiadaan keturunan bisa menjadi sumber konflik yang serius. Oleh karena itu, meneliti bagaimana hakim memutuskan kasus perceraian dengan alasan ini memberikan wawasan yang penting tentang bagaimana hukum Islam diterapkan dalam konteks modern dan bagaimana hakim menafsirkan aturan yang ada dalam KHI.
C. Pembahasan Hasil Review Skripsi
Penelitian skripsi ini mengungkapkan bahwa meskipun Kompilasi Hukum Islam (KHI) tidak secara eksplisit mencantumkan ketiadaan keturunan sebagai alasan sah untuk perceraian, dalam praktiknya, hakim dapat mengabulkan permohonan perceraian dengan merujuk pada Pasal 116 KHI. Pasal ini mengatur bahwa perselisihan dan pertengkaran yang terus-menerus merupakan alasan sah untuk perceraian. Dengan demikian, ketiadaan keturunan yang memicu konflik berkepanjangan antara suami dan istri dapat dianggap sebagai bagian dari perselisihan yang diatur dalam pasal tersebut.
Dalam penelitian ini, dua kasus perceraian yang dianalisis menunjukkan pola yang serupa. Dalam kedua kasus tersebut, pasangan suami istri mengalami ketegangan dan konflik yang terus-menerus akibat ketiadaan keturunan. Konflik ini akhirnya membuat hubungan pernikahan mereka tidak harmonis dan tidak dapat dipertahankan lagi. Hakim dalam kedua kasus ini memutuskan bahwa konflik yang disebabkan oleh ketiadaan keturunan memenuhi syarat sebagai perselisihan yang dimaksud dalam Pasal 116 KHI.
Pasal 116 KHI menyebutkan beberapa alasan yang dapat digunakan sebagai dasar untuk mengajukan perceraian. Salah satu alasan yang sering digunakan adalah adanya perselisihan dan pertengkaran yang terus-menerus tanpa ada harapan untuk bisa berdamai lagi. Dalam konteks ini, meskipun ketiadaan keturunan tidak disebutkan secara khusus, implikasi dari ketiadaan keturunan yang menyebabkan perselisihan berkepanjangan dapat diinterpretasikan sebagai salah satu bentuk perselisihan tersebut.
Penafsiran hukum oleh hakim dalam kasus-kasus ini menunjukkan fleksibilitas dan adaptabilitas KHI dalam menghadapi situasi yang tidak secara eksplisit diatur dalam teks hukum. Hakim memiliki wewenang untuk menilai keadaan khusus dari setiap kasus dan membuat keputusan yang berdasarkan pada prinsip keadilan dan kesejahteraan bagi kedua belah pihak. Dalam hal ini, hakim mempertimbangkan dampak psikologis dan sosial dari ketiadaan keturunan terhadap hubungan pernikahan.
Lebih lanjut, penelitian ini juga menyoroti pentingnya pemahaman mendalam tentang konteks sosial dan budaya dalam penerapan hukum Islam. Di banyak masyarakat, memiliki keturunan dianggap sebagai tujuan penting dari pernikahan. Ketiadaan keturunan sering kali membawa stigma sosial dan tekanan psikologis yang signifikan, yang dapat mengarah pada konflik dalam pernikahan. Hakim dalam kasus-kasus iniHakim dalam kasus-kasus ini mempertimbangkan faktor-faktor tersebut dalam membuat keputusan perceraian.
Keputusan hakim yang mengabulkan permohonan perceraian dengan alasan ketiadaan keturunan yang menyebabkan perselisihan berkepanjangan juga menunjukkan bahwa hukum Islam, melalui KHI, dapat beradaptasi dengan kebutuhan dan realitas sosial yang berkembang. Hal ini memberikan ruang bagi penafsiran yang lebih luas dalam menghadapi isu-isu yang mungkin tidak terduga saat penyusunan teks hukum tersebut.
Selain itu, penelitian ini memberikan wawasan tentang bagaimana isu-isu terkait pernikahan dan perceraian ditangani dalam sistem peradilan agama. Penelitian ini menyoroti peran hakim dalam menerapkan hukum dengan cara yang responsif terhadap kondisi nyata yang dihadapi oleh pasangan suami istri. Ini juga menunjukkan pentingnya keseimbangan antara teks hukum dan interpretasi kontekstual yang dapat menjawab kebutuhan keadilan substantif.
Secara keseluruhan, hasil penelitian ini menegaskan bahwa meskipun tidak ada ketentuan eksplisit dalam KHI mengenai ketiadaan keturunan sebagai alasan perceraian, hakim dapat menggunakan fleksibilitas interpretatif yang diberikan oleh Pasal 116 KHI untuk mengakui dampak dari ketiadaan keturunan sebagai bentuk perselisihan yang sah untuk perceraian. Hal ini menunjukkan dinamika penerapan hukum Islam yang dapat menyesuaikan dengan berbagai situasi dan kondisi kehidupan nyata pasangan suami istri.
Pada perkara nomor 379/Pdt.G/2021/PA.Btl, alasan perceraian tidak terbatas pada ketidakmampuan memberikan keturunan saja. Kasus ini juga mencakup berbagai faktor lain yang secara kolektif menyebabkan perselisihan dan pertengkaran yang berkepanjangan antara suami dan istri. Selain masalah ketiadaan keturunan, tergugat juga dituduh tidak memberikan nafkah yang layak serta menunjukkan perilaku buruk seperti berjudi dan mabuk. Kombinasi dari berbagai faktor ini menjadi dasar yang kuat bagi hakim untuk mengabulkan permohonan perceraian.
Ketidakmampuan memberikan keturunan sering kali menjadi salah satu pemicu utama ketidakpuasan dalam pernikahan, terutama dalam konteks masyarakat yang sangat menghargai keberadaan anak dalam keluarga. Namun, dalam kasus ini, ketidakmampuan memberikan keturunan hanyalah salah satu dari beberapa alasan yang secara keseluruhan menyebabkan keretakan hubungan. Tindakan tergugat yang tidak memenuhi kewajiban nafkah menambah beban emosional dan finansial pada pihak penggugat, memperburuk situasi.
Selain ketidakmampuan memberikan nafkah yang layak, perilaku buruk tergugat seperti berjudi dan mabuk menciptakan lingkungan rumah tangga yang tidak sehat dan penuh konflik. Kebiasaan berjudi dapat mengakibatkan masalah keuangan yang serius, sementara perilaku mabuk sering kali berujung pada tindakan kekerasan atau perilaku destruktif lainnya. Kedua perilaku ini jelas bertentangan dengan tanggung jawab moral dan legal seorang suami dalam pernikahan.
Dalam putusannya, hakim mempertimbangkan seluruh aspek yang diajukan oleh penggugat, tidak hanya fokus pada satu alasan saja. Penggabungan berbagai faktor negatif yang dialami oleh penggugat menunjukkan bahwa masalah dalam pernikahan mereka bersifat kompleks dan tidak dapat diselesaikan hanya dengan berfokus pada satu isu. Pertimbangan ini menunjukkan pendekatan holistik yang digunakan oleh hakim dalam mengevaluasi situasi yang dihadapi oleh pasangan tersebut.
Perkara ini juga menyoroti pentingnya pemenuhan kewajiban dasar dalam pernikahan, seperti memberikan nafkah yang layak dan menjauhkan diri dari perilaku buruk. Ketika salah satu pihak gagal memenuhi kewajiban ini, hubungan pernikahan menjadi tidak stabil dan penuh konflik. Dalam konteks ini, ketiadaan keturunan hanya memperparah ketegangan yang sudah ada, tetapi bukan satu-satunya faktor yang memicu perceraian.
Hakim dalam kasus ini menggunakan Pasal 116 KHI sebagai landasan hukum untuk mengabulkan perceraian. Pasal ini menyebutkan bahwa perselisihan dan pertengkaran yang terus-menerus tanpa ada harapan untuk bisa berdamai lagi adalah alasan yang sah untuk perceraian. Dalam kasus nomor 379/Pdt.G/2021/PA.Btl, jelas terlihat bahwa kombinasi dari ketidakmampuan memberikan keturunan, tidak memberikan nafkah yang layak, serta perilaku buruk tergugat memenuhi kriteria perselisihan yang dimaksud dalam pasal tersebut.
Pendekatan yang digunakan oleh hakim ini menunjukkan fleksibilitas dan adaptabilitas KHI dalam menghadapi berbagai situasi yang dihadapi oleh pasangan suami istri. Dengan mempertimbangkan berbagai faktor yang menyebabkan perselisihan, hakim dapat memberikan putusan yang lebih adil dan sesuai dengan kondisi nyata yang dihadapi oleh pihak-pihak yang terlibat. Ini juga menunjukkan bahwa sistem peradilan agama berupaya untuk responsif terhadap kebutuhan keadilan substantif bagi para pihak yang berperkara.
Secara keseluruhan, perkara nomor 379/Pdt.G/2021/PA.Btl menunjukkan bahwa dalam kasus perceraian, tidak jarang ditemukan kombinasi berbagai faktor yang secara kolektif menyebabkan keretakan hubungan pernikahan. Ketidakmampuan memberikan keturunan, tidak memberikan nafkah yang layak, serta perilaku buruk seperti berjudi dan mabuk adalah faktor-faktor yang saling terkait yang berkontribusi pada perselisihan yang tidak dapat diselesaikan. Pendekatan holistik dalam menilai kasus perceraian seperti ini sangat penting untuk memastikan bahwa keputusan yang diambil mencerminkan keadilan dan kesejahteraan bagi kedua belah pihak.
Dalam perkara nomor 960/Pdt.G/2021/PA.Btl, alasan perceraian tidak hanya berkutat pada ketidakmampuan memberikan keturunan, tetapi juga melibatkan tekanan dari keluarga tergugat dan sikap kasar tergugat, yang memperburuk keadaan. Tekanan dari keluarga tergugat sering kali menambah beban emosional dalam pernikahan, terutama jika keluarga tergugat menuntut adanya keturunan sebagai bagian dari harapan mereka terhadap pernikahan tersebut. Ketidakmampuan memenuhi harapan ini dapat menyebabkan ketegangan tambahan yang berat bagi pasangan.
Tekanan dari keluarga tergugat dalam perkara ini menciptakan lingkungan yang tidak mendukung dan tidak kondusif bagi penggugat. Harapan dan tuntutan yang terus menerus dari pihak keluarga tergugat dapat mengikis kepercayaan diri dan kesejahteraan emosional penggugat. Dalam banyak kasus, tekanan ini bisa memanifestasikan dirinya dalam bentuk komentar yang menyakitkan, perlakuan diskriminatif, atau bahkan campur tangan yang berlebihan dalam urusan rumah tangga pasangan. Akibatnya, penggugat merasa terisolasi dan semakin tertekan.
Selain tekanan dari keluarga, sikap kasar tergugat juga memainkan peran besar dalam memperburuk situasi. Sikap kasar ini bisa berupa kekerasan fisik, verbal, atau emosional, yang semuanya berkontribusi terhadap lingkungan rumah tangga yang tidak aman dan tidak nyaman. Sikap kasar tergugat memperparah masalah yang sudah ada, membuat penggugat merasa tidak dihargai dan tidak dilindungi dalam pernikahan tersebut. Dalam jangka panjang, perlakuan kasar ini merusak hubungan secara mendalam dan membuat rekonsiliasi menjadi hampir tidak mungkin.
Ketidakmampuan memberikan keturunan dalam situasi ini menambah lapisan ketegangan yang signifikan dalam rumah tangga. Bagi banyak pasangan, ketidakmampuan memiliki anak bisa menjadi sumber tekanan emosional yang besar. Namun, ketika dikombinasikan dengan tekanan dari keluarga dan sikap kasar dari pasangan, masalah ini menjadi lebih kompleks dan sulit diatasi. Ketidakmampuan memberikan keturunan sering kali dianggap sebagai kegagalan, baik oleh pasangan itu sendiri maupun oleh keluarga besar, yang semakin memperuncing konflik dan memperburuk ketegangan yang ada.
Dalam konteks perselisihan yang tak terelakkan ini, pengadilan memandang bahwa ketidakmampuan memberikan keturunan bukanlah satu-satunya alasan perceraian, tetapi merupakan bagian dari serangkaian masalah yang lebih besar. Pasal 116 KHI memberikan landasan hukum bagi perceraian berdasarkan perselisihan dan pertengkaran yang terus-menerus. Dalam perkara ini, hakim menilai bahwa kombinasi dari tekanan keluarga, sikap kasar, dan ketidakmampuan memiliki keturunan menciptakan lingkungan yang sangat merusak, sehingga perceraian merupakan solusi yang paling adil dan realistis.
Keputusan hakim untuk mengabulkan perceraian dalam perkara ini menunjukkan pemahaman mendalam tentang kompleksitas dinamika rumah tangga. Hakim mempertimbangkan semua faktor yang menyebabkan ketegangan dan perselisihan yang tidak dapat diselesaikan, memastikan bahwa putusan yang diambil sesuai dengan prinsip keadilan dan kesejahteraan. Dengan demikian, putusan ini mencerminkan fleksibilitas dan sensitivitas hukum Islam di Indonesia dalam menangani kasus-kasus perceraian yang rumit, dengan memperhatikan berbagai aspek yang mempengaruhi kehidupan rumah tangga pasangan tersebut.
Pandangan hakim dalam kedua perkara ini menekankan bahwa alasan utama perceraian adalah perselisihan dan pertengkaran yang disebabkan oleh ketidakmampuan memberikan keturunan, bukan ketidakmampuan itu sendiri. Dalam kedua kasus tersebut, hakim melihat bahwa konflik yang terjadi akibat ketidakmampuan memiliki keturunan telah mencapai titik di mana rekonsiliasi menjadi hampir mustahil. Konflik yang terus-menerus ini menciptakan lingkungan yang tidak sehat dan tidak stabil, yang pada akhirnya membahayakan kesejahteraan emosional dan psikologis kedua belah pihak.
Dalam perkara nomor 379/Pdt.G/2021/PA.Btl, ketidakmampuan tergugat untuk memberikan nafkah yang layak serta perilaku buruk seperti berjudi dan mabuk menambah kompleksitas masalah yang ada. Ketidakmampuan memberikan keturunan menjadi katalis utama yang memicu perselisihan ini. Namun, masalah-masalah tambahan tersebut memperburuk situasi dan menambah beban emosional bagi penggugat. Hakim memutuskan bahwa kombinasi dari semua faktor ini membuat pernikahan tidak dapat dipertahankan.
Sementara itu, dalam perkara nomor 960/Pdt.G/2021/PA.Btl, tekanan dari keluarga tergugat dan sikap kasar tergugat memperburuk ketegangan yang sudah ada akibat ketidakmampuan memberikan keturunan. Hakim mencatat bahwa tekanan dan tuntutan dari keluarga tergugat menciptakan beban tambahan yang tidak adil bagi penggugat, memperdalam jurang pemisah dalam hubungan mereka. Sikap kasar tergugat semakin mengikis fondasi pernikahan, membuatnya tidak layak untuk dilanjutkan.
Pandangan hakim dalam kedua kasus ini menunjukkan bahwa perselisihan dan pertengkaran yang tidak dapat didamaikan adalah inti dari alasan perceraian. Hakim menilai bahwa jika konflik ini tidak dapat diselesaikan melalui mediasi atau upaya rekonsiliasi lainnya, maka perceraian menjadi solusi terbaik untuk menghindari kemudharatan yang lebih besar. Dengan demikian, tujuan utama dari keputusan ini adalah untuk melindungi kesejahteraan kedua belah pihak dan menghindari kerugian emosional yang lebih dalam.
Dalam konteks hukum Islam, terutama sebagaimana diatur dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), perceraian dianggap sah jika perselisihan dan pertengkaran tidak dapat diselesaikan. Pasal 116 KHI memberikan landasan hukum bagi perceraian berdasarkan perselisihan yang terus-menerus. Hakim menggunakan pasal ini untuk menilai situasi konkret yang dihadapi oleh pasangan, memastikan bahwa keputusan yang diambil sesuai dengan prinsip keadilan dan kesejahteraan.
Hakim dalam kedua perkara ini menunjukkan kepekaan terhadap dinamika rumah tangga yang rumit. Mereka mempertimbangkan tidak hanya masalah ketidakmampuan memberikan keturunan, tetapi juga faktor-faktor lain yang mempengaruhi hubungan. Hal ini mencerminkan pemahaman bahwa ketidakmampuan memiliki anak bisa menjadi sumber konflik yang signifikan, tetapi dampaknya bisa diperparah oleh masalah-masalah lain seperti perilaku buruk atau tekanan dari keluarga.
Keputusan untuk mengabulkan perceraian dalam kedua kasus ini juga mencerminkan fleksibilitas hukum Islam di Indonesia dalam menanggapi realitas sosial. Meskipun KHI tidak secara eksplisit mencantumkan ketidakmampuan memberikan keturunan sebagai alasan perceraian, hakim menggunakan interpretasi yang lebih luas untuk mengatasi situasi ini. Mereka melihat bahwa perselisihan yang tidak dapat diselesaikan akibat ketidakmampuan memiliki anak adalah alasan yang sah untuk perceraian.
Dengan memfokuskan pada perselisihan dan pertengkaran yang tidak dapat didamaikan, hakim memastikan bahwa keputusan perceraian diambil untuk melindungi kesejahteraan kedua belah pihak. Ini penting untuk mencegah kemudharatan yang lebih besar dalam jangka panjang, seperti tekanan emosional yang berkepanjangan atau bahkan kekerasan dalam rumah tangga. Hakim berupaya menciptakan solusi yang paling adil dan realistis bagi semua pihak yang terlibat.
Pendekatan ini menunjukkan bahwa hukum Islam yang diterapkan melalui KHI mampu beradaptasi dengan perubahan sosial dan kebutuhan individu. Dengan mempertimbangkan berbagai faktor yang menyebabkan perselisihan, hakim dapat membuat keputusan yang lebih holistik dan manusiawi. Hal ini juga menunjukkan bahwa sistem hukum dapat berkembang untuk mencakup berbagai situasi yang mungkin tidak secara eksplisit diatur dalam teks hukum.
Pada akhirnya, putusan dalam kedua perkara ini menekankan pentingnya pendekatan yang komprehensif dan berempati dalam menangani kasus perceraian. Hakim tidak hanya berfokus pada satu aspek masalah, tetapi melihat keseluruhan dinamika yang menyebabkan ketegangan dalam pernikahan. Dengan demikian, putusan ini tidak hanya memastikan keadilan bagi penggugat dan tergugat, tetapi juga mencerminkan komitmen untuk melindungi kesejahteraan emosional dan psikologis individu dalam kerangka hukum Islam di Indonesia.
D. Rencana Skripsi Baru
Berdasarkan hasil review ini, rencana skripsi baru yang akan dibuat adalah "Analisis Implementasi Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam dalam Perkara Perceraian di Pengadilan Agama: Studi Kasus di Beberapa Pengadilan Agama di Indonesia". Alasan memilih judul ini adalah untuk memperluas penelitian Nurul Hidayati dengan meneliti bagaimana Pasal 116 KHI diimplementasikan di berbagai Pengadilan Agama di Indonesia, tidak hanya di Bantul. Penelitian ini akan memberikan gambaran yang lebih komprehensif tentang bagaimana hakim-hakim di berbagai daerah menafsirkan dan menerapkan pasal tersebut dalam konteks kasus perceraian yang beragam.
Argumentasi:
1. Konteks yang Lebih Luas: Dengan meneliti beberapa Pengadilan Agama, penelitian ini akan memberikan pemahaman yang lebih luas dan menyeluruh tentang praktik-praktik hukum di Indonesia terkait perceraian.
2. Komparatif: Studi komparatif antara berbagai daerah akan menunjukkan apakah ada perbedaan dalam interpretasi dan penerapan Pasal 116 KHI, serta faktor-faktor apa yang mempengaruhi perbedaan tersebut.
3. Penguatan Teori dan Praktik: Penelitian ini akan memperkuat pemahaman teoretis dan praktis tentang hukum perceraian dalam Islam, serta memberikan rekomendasi kebijakan bagi peningkatan konsistensi dalam penegakan hukum di Pengadilan Agama.
4. Relevansi Sosial: Isu perceraian sangat relevan dalam masyarakat, dan pemahaman yang lebih baik tentang alasan-alasan perceraian dan bagaimana hakim menangani kasus-kasus tersebut dapat membantu dalam penyusunan kebijakan yang lebih baik untuk mendukung keluarga dan mengurangi angka perceraian.
Dengan penelitian yang lebih luas ini, diharapkan hasilnya dapat memberikan kontribusi yang signifikan terhadap literatur hukum Islam di Indonesia serta praktik peradilan dalam kasus perceraian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H