Mohon tunggu...
Nuuramanah Syafiqah
Nuuramanah Syafiqah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Airlangga.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Fenomena Pemberian Ulasan Buruk oleh Netizen Indonesia, Tanda Cancel Culture Semakin Berkembang?

17 Juni 2022   08:30 Diperbarui: 17 Juni 2022   08:36 270
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Google review pada era kemajuan teknologi seperti sekarang memiliki banyak manfaat bagi kita semua. Contohnya bagi orang-orang yang sedang melakukan travelling atau liburan untuk mengetahui ulasan-ulasan warga lokal maupun sesama pendatang terhadap tempat yang dianggap asing dan baru tersebut. 

Google review memuat ulasan tempat seperti restoran, tempat rekreasi, salon kecantikan dan lain sebagainya. Ulasan ini ditulis oleh masyarakat yang sudah mengunjungi tempat tersebut, tak ketinggalan terkadang mereka melampirkan gambar dalam  ulasannya. 

Hal ini tentu membantu banyak pendatang atau turis dalam menemukan destinasi untuk dikunjungi, namun terjadi fenomena dalam dunia maya saat ini yang cukup berdampak buruk bagi banyak pihak. 

Fenomena yang dimaksud adalah masyarakat yang kerap kali memberikan ulasan buruk pada google review pada tempat-tempat yang viral karena sebuah kesalahan yang diceritakan dari salah satu pihak. 

Fenomena ini dianggap berkaitan dengan cancel culture yang telah berkembang dalam masyarakat pada konteks ini merupakan masyarakat Indonesia. 

Menurut Lindsey Toler seorang Public Health Professional, Cancel Culture merupakan sebuah bentuk dari pemboikotan dengan melakukan cancelling pada individu, kelompok, brand dan lain sebagainya. 

Menurut Utpal M. Dholakia, Ph.D. dari Rice University, Cancelling yang merupakan tindakan utama dalam cancel culture adalah sebuah perilaku dari individu atau kelompok dalam menyudutkan salah satu pihak. Hal ini biasanya diawali dengan pelanggaran atau  tindakan yang menyinggung yang dilakukan oleh pihak yang menjadi korban cancel itu sendiri. 

Lantas mengapa fenomena pemberian ulasan buruk dianggap salah satu perilaku cancel culture? Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, pemberian ulasan ini biasanya tidak objektif karena diberikan atas pelanggaran atau kesalahan dari tempat atau pihak yang diberikan ulasan. 

Bahkan, tak jarang yang memberi ulasan sendiri belum pernah mengalami atau memiliki pengalaman langsung dengan yang diulas. 

Contoh yang dapat diambil seperti baru-baru ini setelah masyarakat Indonesia mendapatkan kabar duka atas hilangnya Emmeril Kahn Mumtadz, putra dari Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil di sungai Aaree, Swiss. 

Setelah berita ini menyebar masyarakat Indonesia berbondong-bondong memberi ulasan buruk pada sungai Aaree yang akhirnya mendorong perhatian WNI yang ada di Swiss serta warga lokal Swiss yang kemudian memberi tanggapan atas hal tersebut. 

Contoh lain  yang menggambarkan penuh hubungan atas fenomena ini dengan cancel culture adalah sebuah tempat makan yang mendapat ulasan buruk akibat salah satu video dari pelanggan yang menjadi viral berisi tentang pengalaman tidak menyenangkan pelanggan tersebut. 

Pada akhirnya hampir seluruh dari penonton dari video tersebut memberi ulasan buruk yang sama walaupun tidak memiliki pengalaman atau bahkan berkunjung ke sana. 

Fenomena ini menunjukkan bahwa cancel culture di Indonesia sudah berkembang sejauh itu dan tentu perilaku tersebut termasuk dalam tindakan cancelling yang seharusnya dihentikan, namun dibalik tindakan tersebut disebutkan alasan-alasan mengapa cancel culture menurut beberapa orang dilakukan: 

  1. Memberi pelajaran

  2. Agar dapat mengetahui konsekuensi atau akibat dari perbuatan

  3. Bentuk tanggung jawab atas tindakan dan perilaku seseorang

Meskipun begitu, dengan alasan apa pun sebaiknya cancel culture ini dihindari dan tidak dinormalisasi apalagi dalam bersosial media karena pada satu sisi semua masyarakat memiliki hak untuk memberikan pendapatnya tanpa harus merasa terbebani.  

Masih banyak pendapat mengenai baik tidaknya cancel culture ini, namun sejauh ini memang lebih banyak dampak buruknya. Jika kita menghakimi pelaku dengan menyerang mereka, apa yang membedakan kita dengan mereka? 

Dengan itu segala pengadilan dan konsekuensi akan diterima mereka dan diproses oleh yang memiliki wewenang. Selain itu, kebiasaan memberikan ulasan buruk yang memiliki dampak buruk pada semua pihak juga baiknya dihentikan. Google review sendiri diciptakan untuk membantu banyak orang dalam memilih tempat dan melihat ulasan jujur bukan sebagai wadah pembalasan dendam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun