Aku menatap kolom pesan bernama seseorang yang kukenal 12 tahun lalu. Dia menanyakan kabarku dengan gaya bahasanya yang tak berubah sama sekali. 'De', begitu panggilannya untukku. Entah aku harus senang atau sedih sebab kemunculannya. Senang karena dia yang pernah jadi tambatan hati masih mengingatku. Sedih karena status kami yang bukan lagi gadis dan bujang. Apalagi usia kami tidak lagi muda.
[Apa kabar?]
Aku bergeming membaca pesannya. Kuamati gambar gunung berkabut yang terpasang di profil WhatsApp-nya. Sepertinya profesi lelaki itu masih sama. Seorang petugas relawan di sebuah LSM di Jawa Timur. Aplikasi WhatsApp-ku memang menggunakan nomor lawas sejak kami masih bersama. Jadi sangat mungkin dia masih menyimpannya atau bahkan dia masih hafal nomor ini. Bedanya, dulu belum ada WhatsApp.Â
[Statusnya, kok, gitu terus?]
Aku mengerutkan dahi. Status apa? pikirku. Setelah mengintip profil WhatsApp milikku yang tertulis kata rainy day sejak bulan Oktober 2014, aku baru paham maksudnya. Itu berarti aku tidak mengubahnya selama tiga tahun. Dari situ aku tahu, dia telah mengamatiku sejak lama. Namun, aku masih tak membalas pesannya meskipun aku yakin dia tahu kalau pesannya sudah kubaca.
Sebuah dilema antara rasa rindu atau ingin mengabaikannya. Dia sosok yang pernah mengisi hatiku dan perjalanan kami yang panjang. Hubungan kami sangat dekat. Sebuah prahara yang menimpa keluargaku membuat kami harus berpisah.
***
"Nanti kalau sama dia, kamu lahiran bakal ada tujuh bulanan. Kalau meninggal ada 100 harian," kata Bapak waktu itu. Ah! Padahal itu hanya perbedaan masalah beribadah, kami pasti bisa mengatasinya.
Ahmad. Dia lahir dari seorang tokoh agama Islam yang taat. Demikian juga aku, anak dari seorang imam masjid yang disegani. Namun, cara beribadah orang tua kami memiliki perbedaan. Dia yang salat Subuh pakai qunut, sementara keluargaku menganggap itu bid'ah.
"Itu kan bisa dibicarakan, Pak! Lagian cuma beda gitu aja," tukasku.
"Islam menganjurkan untuk mencari jodoh yang sekufu. Supaya nanti enggak ada percekcokan di antara kalian."
Aku menarik napas. Bapak itu pendiam, tetapi memiliki karakter yang keras. Ia berpendapat kalau perayaan tujuh bulanan dan 100 hari kematian tidak ada tuntunannya dari Nabi. Sementara keluarga Ahmad adalah lelaki taat yang istiqamah memegang aturan itu bahkan sejak ia belum lahir.