Awalnya, penambangan pasir itu yang terpusat di sepanjang pantai Kelurahan Bandar Batauga. Namun kini semakin meluas hingga meliputi tiga kelurahan yakni Busoa, Bandar Batauga dan Masiri. Bahkan, melebar hingga ke Kecamatan Sampolawa yang bertetangga dengan Kecamatan Batauga.
Salah satu pemilik lahan penambangan pasir di Kelurahan Bandar Batauga, La Ata mengatakan, ia menjual pasir per truknya seharga Rp. 1 juta. Dari jumlah itu, ia harus membayar Rp. 300 ribu untuk tiga orang kuli angkut dan Rp. 250 ribu untuk penambang pasir.
“Sisanya jatah saya, sewa angkutan truk dan untuk pembayaran pajak di pos retribusi,” katanya sambil mempersilahkan penulis untuk memesan kopi.
Menurutnya, di lokasi penambangan pasir miliknya, dalam sebulan tidak menentu jumlah pasir yang terjual. Namun paling sedikit dalam sebulan jumlah pesanan pasir mencapai 10 truk.Tapi bila musim proyek pembangunan fasilitas umum, pesanan pasir bisa lebih dari jumlah itu.
La Ata mengakui, kerusakan lingkungan tidak bisa dihindari akibat penambangan pasir. Namun demi memenuhi kebutuhan sehari-hari terpaksa dilakukanya. Sejauh ini belum ada himbauan ataupun larangan penambangan dari pemerintah.
"Tidak ada larangan," katanya singkat.
Bila nantinya ada larangan penambangan pasir dari pemerintah, La Ata mengaku hanya bisa pasrah saja. Namun ia berharap pemerintah memberikan lapangan pekerjaan lain bagi para penambang, kuli angkut dan dan pemilik lahan pertambangan sehingga untuk memenuhi kebutuhan sehari dan kehidupan rumah tangga dapat terpenuhi.
Ketua Dewan Daerah Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sultra, Saharuddin mengatakan, sebenarnya pihaknya sudah banyak mendapat laporan soal kerusakan lingkungan wilayah pesisir di Kecamatan Batauga. Warga sudah terganggu juga karena takut abrasi pantai.
"Bila dibiarkan terus pasti akan memperbesar daya rusak lingkungan utamanya di pesisir. Pemukiman, sekolah dan fasilitas pemerintah atau bahkan daratan Kecamatan Batauga akan hilang akibat abrasi ,” katanya.
Meski demikian, upaya penanggulangan tidak cukup hanya diinisiasi oleh pemerintah saja. Masyarakat setempat juga harus ikut mengambil peran kerusakan lingkungan itu akan mempengaruhi keberadaan pemukiman mereka di Batauga.
Menambang, kata Saharuddin, pasti merusak lingkungan. Jadi bagi para penambang itu harus ada solusi alternatif pekerjaan selain menambang mereka juga bagian dari ekosistem sebuah lingkungan. Pemberian sanksi itu bukan solusi, menghentikan pertambangan itu solusi untuk lingkungan.