Mohon tunggu...
Yunan Syahpora
Yunan Syahpora Mohon Tunggu... -

belajar mengungkapkan pengalaman hidup dengan menulis semoga semuanya menjadi berarti melalui tulisan...

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Hari Ibu dalam Refleksi

21 Desember 2011   20:42 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:56 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kasih ibu kepada beta

Tak terhingga sepanjang masa

Hanya memberi tak harap kembali

Bagai sang surya

Menyinari dunia.

Demikianlah lyrik lagu sederhana yang berjudulkasih ibu diatas seolah menyiratkan kasih sayang seorang ibu yang tak pernah habis bagaikan sang surya yang terus menyinari kehidupan manusia. Jika dipahami dengan logika terbalik yangmengibaratkan kasih ibu bagai sang surya itu, maka ketika pudarnya cahaya sang surya maka pudarlah kehidupan manusia. Betapa pentingnya peranan seorang ibu dalam posisi sentralnyauntuk keluarga, bangsa bahkan negara seolah tak berimbang dengan berbagai bentuk diskriminasi gender yang terlanjur dikonstruksi oleh cara pandang masyarakat dalam budaya. Momentum peringatan hari ibu yang jatuh pada tanggal 22 Desember seolah hanya menjadi seremonial biasa sementara disisi lain banyak ibu ataupun para wanita umumnya masih rentan dengan kekerasan dan eksploitasiyang secara sadar negara pun kerap melakukan kekerasan strukural terhadap mereka.

Adagiumotoritas wilayah kaum perempuan (baca Ibu) yang hanya berkisar di seputar 3-UR yaitu, kasur,dapur dan sumur seolah memapankan posisi subordinatnya wanita atau perempuan yang terepresi oleh kentalnya aura patriarkal budaya kita. Padahal teriakan kaum feminis kadang diteriakan oleh para ibu dengan satu kesadaran yang perspektif lain. Ketika terjadi demo besar-besaranatas tuntutan reformasi di era 98 sekelompok ibu-ibu yang peduli susu tak bosan-bosannya berteriak turunkan harga. Dilain kesempatan Ibu-ibu rumah tangga di Amerika juga pernah meneriakan yel-yel anti perang Amerika-Irak dengan mengusung sebuah spanduk besar dengan tulisan ”Rezim Begin At Home”.Ada pesan moral yang ingin disampaikan kepada dunia bahwa sebuah rezim yang demokratis dengan sistem pemerintahan yang baik selalu berawal dari rumah. Menilik perjuangan kaum perempuan melalui feminisme, tidaklah selalu berangkat pada kondisi real yang sama jika ingin disoroti menurut perspektifbudaya. Sebab atmosfir gerakan feminisme yang tumbuh dalam kultur barat dapat dikatakan lebih apresiatif ketimbang isu-isu feminsime yang berangkat dari budaya timur.

Ungkapan 3 Ur (Kasur dapur dan sumur) yang begitu lekat dengan kebudayaan Indonesia seolah memapankan posisi perempuan dalam hal yang kodratiah sebagai status pendamping (cenderung berpengertian dibawah)laki laki, padahal tema-tema feminisme dalam arti gerakan mengenai kebebasan dan kesetaraan gender kerap terbentur pada simbol simbol patriarkal.Sejauh mana sebuah keluarga akan merasa bahwa dengan memiliki anak perempuan bukan menjadi masalah meski pada kebudayaan tertentu penerus keturunan selalu datang dari yang berjenis kelamin laki-laki. Ini menyiratkan bahwa sesungguhnya perjuangan kaum feminisme pun Sebenarnya dimulai dari rumah (Feminist Begin At Home).

Perlakuan dan kesempatanyangsetara dengan laki-laki dalam berbagai bidangadalahsuatu hal yang kodratiah bukan hanya karena keperempuanan mereka yangtersemat sebagailawan dari yang berjenis kelamin laki-laki. Tetapilebih pada kesadaran cara pandang masyarakat yang mensubordinatkan posisi mereka (perempuan) dalam budaya maupun bahasa. Meminjam ungkapan Gadis Arivia, pengajar Filsafat Universitas Indonesia, Di dunia di mana individu ditindas oleh kelas, jender atau ras, dan dibentuk lewat struktur-struktur sosial, maupun diskursus bahasa, maka, perangkat kerasionalan, yang harus dimiliki untuk mendapatkan akses keadilan tidak akan pernah dapat dimiliki oleh perempuan. Gerakan perempuan melalui feminisme juga harus cerdas mengartikan kesetaraan, persamaan hak dan keadilandalam sudut pandang budaya dan agama.

Agar tidak akan menjadi sia-sia ketika meminjam ungkapan Ivan Illich,bahwa gender telah mati oleh karena konstruksi budaya bukan karena konstruksi sosial sebab pada konteks budaya,ada beberapa tempat pada masyarakat di Amerika Latin, dimana kaumperempuannya yang mendominasi hak kaum lelaki untuk menghidupi keluarga.Dan itu merupakan kehormatan tersendiri sekalipun para lelakinya dengan sadarmenggantikan posisi bahkan peran istri-istri mereka untuk berkutat di seputar dapur sumur dan kasur.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun