Arus globalisasi semakin deras dan tidak dapat dibendung. Pengaruhnya telah merambah ke seluruh negara di dunia dan mempengaruhi semua aspek kehidupan. Pesatnya perkembangan informasi, ilmu pengetahuan, dan teknologi semakin mempermudah manusia dalam mendapatkan informasi. Globalisasi seakan-akan menghapuskan batas antar negara-gagara di dunia. Dalam hal ini, globalisasi ibarat menjadi pisau bermata dua yang sewaktu-waktu bisa mencelakai. Oleh karena itu, manusia harus pandai-pandai dalam menyikapi globalisasi itu sendiri.
Globalisasi menuntut setiap negara untuk mengikuti dinamika dunia dalam segala bidang kehidupan, seperti sosial, budaya, politik, serta ekonomi. Hal ini mendorong banyak negara untuk terus berlomba mengembangkan segala aspek kehidupan, terutama aspek ekonomi guna terciptanya stabilitas dalam negara. Tidak terkecuali negara-negara di Asia. Dilansir dari koran-sindo.com (8/11/2013), dalam bidang ekonomi, pertumbuhan ekonomi asia untuk saat ini mencapai 5,5%. Hal ini menjadi peluang besar bagi negara-negara asia untuk semakin berkembang.
Menyusul potensi besar tersebut, negara-negara asia tenggara yang tergabung dalam ASEAN (Association of South-East Asian Nations) telah mencanangkan sebuah gagasan yaitu ASEAN Economic Community (AEC). ASEAN Economic Community (AEC) merupakan sebuah wacana dalam bidang ekonomi yang akan direalisasikan mulai tahun 2015 mendatang. AEC bertujuan untuk meningkatkan perekonomian negara-negara anggota ASEAN. AEC membuka lebar-lebar peluang perdagangan antar negara ASEAN. Dalam hal ini, kemajuan suatu negara dalam ASEAN akan sangat ditentukan oleh daya saing sumber daya yang ada di dalam negara itu sendiri.
Siapkah Indonesia menghadapi AEC?
Pertanyaan di atas timbul menanggapi betapa seriusnya pengaruh AEC. Dalam hal ini, kita harus berkaca diri agar bisa mengetahui kelemahan negara dan berusaha sebaik mungkin untuk bisa membenahi kelemahan tersebut. Info dari koran-sindo.com (8/11/2013) menyebutkan bahwa berdasarkan data dariGlobal Competitiveness Index yang dikeluarkan oleh World Economic Forum, Indonesia berada pada peringkat ke-50 dari 144 negara dalam hal daya saing. Keadaan ini jauh berbeda dengan peringkat beberapa negara ASEAN seperti, Singapura (2), Malaysia (25), Brunei (28), dan Thailand (38), yang mendapat peringkat cukup baik.
Walaupun Indonesia rendah dalam hal daya saing, ternyata dalam hal pertumbuhan ekonomi, Indonesia menjadi yang tertinggi di kawasan ASEAN dibandingkan dengan negara Malaysia, Singapura, Thailand, Brunei dan Filipina. Pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai angka rata-rata sebesar 6,4%. Oleh karena itu, Indonesia harus sudah mempersiapkan diri dalam menghadapi AE.
Sebenarnya Indonesia sudah kalah start dibandingkan dengan beberapa negara ASEAN yang telah mempersiapkan diri sedini mungkin. Sebagai contoh, berdasarkan keterangan dari Menteri Perdagangan Gita Wirjawan saat memberi orasi ilmiah kepada mahasiswa baru UNISMA (19/9/2013), negara Thailand telah mengadakan pembelajaran dan kursus bahasa Indonesia kepada warga negaranya dalam rangka persiapan pasar bebas ASEAN. Hal ini dilakukan karena pemerintah Thailand menyadari bahwa Indonesia merupakan negara yang cocok dijadikan target pemasaran mengingat jumlah penduduk Indonesia yang sangat besar.
Setelah mengetahui hal tersebut, Indonesia sedah seharusnya sadar dan bangkit bahwa sebenarnya Indonesia merupakan negara yang memiliki potensi besar untuk bisa menang bersaing dalam AEC. Indonesia memiliki sumber daya alam yang berlimpah dan sumber daya manusia yang kreatif.
Peran pemuda dalam persaingan AEC
Untuk dapat bersaing dalam AEC, kerjasama antar komponen negara sangat dibutuhkan. Salah satu komponen yang sangat esensial adalah pemuda. Hal ini sangat jelas mengingat pemuda adalah tonggak dalam perkembangan suatu negara. Oleh karena itu, menjadi sangat penting bagi Indonesia untuk menciptakan generasi muda yang memiliki daya saing tinggi dan dapat berkompetisi di dunia internasional.
Tujuan untuk memajukan Indonesia harus dimulai dengan adanya kemandirian dari para pemuda. Hal inilah yang menjadi permasalahan di Indonesia. Masih banyak pemuda yang kurang mandiri dan memiliki pola pemikiran yang salah dalam dunia kerja. Kenyataan tersebut bisa dilihat dari masih banyaknya lulusan sarjana yang menggantungkan diri dan menunggu lowongan kerja dari perusahaan-perusahaan. Perbedaan cukup jauh terlihat dengan pemuda dari negara-negara manju yang lebih memilih untuk berwirausaha.
Dikutip dari vivanews.com (27/12/2013), Menteri Koperasi dan UKM Syarif Hasan menuturkan bahwa persentase jumlah pengusaha saat inibaru 1,56% dari total penduduk Indonesia. Padahal menurut teori, suatu negara akan bisa maju jika setidaknya negara tersebut memiliki 2% pengusaha dari jumlah penduduk. Kita dapat melihat negara maju seperti Amerika yang memiliki sekitar 12% pengusaha, Malaysia 5%, Singapura 7% dan Jepang 10%.
Melihat keadaan tersebut, pemerintah wajib mendorong dan memberi fasilitas bagi generasi muda untuk berwirausaha. Dengan terciptanya banyak wirausaha dengan berbagai macam jenis usaha kecil menengah, tentu perekonomian Indonesia sedikit demi sedikit akan merangkak naik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H