Seorang diktator kerap distempeli negatif. Namun, warisan pemikiran dan simbol-simbol yang pernah digunakannya kembali muncul di kalangan generasi muda, bahkan menjadi tren di berbagai belahan dunia.
[caption id="" align="aligncenter" width="518" caption="Pemuda gerakan Neo-Nazi di AS (cbsla.files.wordpress.com)"][/caption]
ALBUM pertama dua gadis remaja ini dirilis tujuh tahun yang lalu saat usia mereka baru saja memasuki 13 tahun. Penampilan mereka ceria dan menggemaskan layaknya gadis remaja lainnya. Namun, lagu yang mereka lantunkan ternyata tidak berbicara masalah cinta monyet layaknya penyanyi remaja pada umumnya. Simak salah satu lirik lagu mereka yang berjudul Sacrifice: “He fought so strong for our race. We're finally back in our place. It took his life, my dear son, and now it's over the war is won. Our Race was saved because the lives that were sacrificed: those men that died...” (Dia berjuang keras bagi ras kita. Kita akhirnya kembali ke tempat kita. Dia mengorbankan hidupnya, anakku, dan perang telah berakhir dengan kemenangan. Ras kita telah diselamatkan karena pengorbanan: mereka telah gugur. ..)
Lagu dari grup musik bernama Prussian Blue asal California, Amerika Serikat, itu bercerita tentang perjuangan pemimpin Nazi Adolf Hitler dan para pengikutnya. Termasuk kebanggaan mereka sebagai bangsa Aria, ras kulit putih yang dibanggakan Hitler sebagai ras paling unggul di muka bumi. Lynx dan Lamb, demikian nama dua gadis kembar ini. Berambut pirang, bermata biru, dan berwajah cantik, standar keindahan perempuan menurut orang bule. Namun, bukan berarti mereka tidak memiliki kemampuan memainkan alat musik. Lynx lihai memainkan biola, sementara Lamb bermain gitar.
[caption id="" align="alignright" width="349" caption="Duo Prussian Blue (i.imgur.com)"]
Lalu siapa yang membuat kedua gadis kembar ini menjadi begitu ideologis? Adalah April, sang ibu yang yang memengaruhi pemikiran Lynx dan Lamb mengenai keunggulan ras kedua gadis yang memiliki darah Jerman itu. "Saya hanya mengajari anak-anak saya apa yang ada di dalam pikiran saya. Toh, semua orang tua juga melakukannya," kata April yang berprofesi sebagai penulis.
April boleh saja mengelak telah mengindoktrinasi putrinya dengan ideology fasisme. Namun, penyebutan sejumlah nama tokoh-tokoh pengikut Hitler serta penyebutan secara lancar ide-ide keunggulan ras kulit putih yang ada di lagu-lagu Prussian Blue mengindikasikan hal itu. Kedua remaja itu mungkin hanya bagian dari produk hasil cuci otak orangtua.
Yang jelas, gerakan supremasi ras kulit putih cukup marak di kalangan muda, terutama di Eropa. Gerakan neo-Nazi tercatat aktif di 33 negara di berbagai benua. Secara stereotipe, anggotanya digambarkan sebagai anak muda berusia antara 13 hingga 25 tahun, pengguna narkoba, penyuka musik keras, dan menggunakan internet untuk berkomunikasi. Mereka umumnya dapat diidentifikasi dari penampilan, bahasa, slogan, dan lagu-lagu yang memuji kepahlawanan Hitler, serta berikrar untuk mewujudkan impian: sebuah dunia yang dipimpin ras Aria sebagai bangsa terpilih. Para anggotanya juga gemar menggunakan berbagai simbol Nazi pada pakaian dan aksesorisnya.
Salah satu tren yang kemudian mendunia dari gerakan ini adalah Skinhead, yakni kelompok yang mencirikan diri dengan kepala gundul dan tato yang menggambarkan kebencian terhadap ras lain. Anggota mereka umumnya berasal dari keluarga yang tidak harmonis, pengangguran, berpendidikan rendah, dan kurang memiliki kepercayaan diri. Walaupun begitu, Skinhead awalnya bukanlah bagian dari neo-Nazi. Skinhead muncul sebagai subkultur yang lahir di London, Inggris, pada akhir 1960-an. Mereka bersentuhan dengan ide rasisme saat sering terlibat perkelahian dengan imigran asal Pakistan di era itu. Karena sikap mereka yang militan dan keras, membuat Skinhead dijadikan alat berbagai kepentingan politik. Di antaranya oleh gerakan neo-Nazi yang mengorganisasikan gerakan Skinhead dengan baik pada 1990-an.
Di bawah indoktrinasi neo-Nazi, banyak anak muda yang siap dipanggil dan dikerahkan untuk beraksi kapan pun. Pada tiap negara yang memiliki simpatisan neo-Nazi pun berbeda-beda dalam memilih sasarannya. Di Jerman, kaum neo-Nazi memilih sasaran terhadap warga Turki, di Inggris terhadap terhadap warga asal Asia, di Prancis terhadap orang Afrika Utara, dan di Amerika terhadap semua kelompok minoritas serta pengungsi. Bahkan di beberapa negara, kelompok ini menyasar pada warga permukiman miskin dan pengangguran.
Sebuah peneitian pada 1997, seperti dikutip The Guardian, menunjukkan bahwa pendukung rasisme meliputi 33 persen dari populasi umum Eropa. Jumlah tertinggi berada di Belgia, Prancis, dan Austria. Sebanyak 55 persen warga Belgia menggambarkan diri mereka sebagai cukup atau sangat rasis, sementara di Prancis 48 persen, dan di Austria 42 persen.