Saat ini semakin jarang kalangan muda yang meminati buku dalam pengertian tradisional. Apakah kelak buku akan punah?Â
TIGA dekade yang lalu, saat di negara kita orang masih bingung cara mengoperasikan Windows yang diproduksi Microsoft, Peter James menerbitkan novel bertajuk 'Host' dalam bentuk dua disket. Tentu menjadi sebuah hal yang mencengangkan saat itu, bahkan membuat orang menudingnya sok tahu, sok futuristik, hingga gila.
Tidak sedikit sesama penulis, ktitikus, dan media (cetak tentu saja) yang mengkritik, mencibir, Â hingga mengecamnya. Semua itu dijawabnya dengan pernyataan bahwa dia hanya ingin menunjukkan novel memang sudah hampir mati dengan cepat tanpa aksi yang dilakukannya sekalipun.
James saat itu meramalkan bahwa buku elektronik kelak akan menjadi keseharian. Mengingat memiliki bentuk yang mudah diakses dan bisa dinikmati seperti cetakan kertas, sehingga bukan tidak mungkin akan membunuh buku tradisional.
Gebrakan itu pun akhirnya  dilupakan orang karena dianggap tidak relevan dan tak masuk akal. Hingga 11 tahun kemudian, seorang mahasiswa Harvard University bernama Mark Zuckerberg meluncurkan situs Facebook. Jelas bukan sebuah buku dalam pengertian tradisional memang, karena lebih berfungsi sebagai media berinteraksi sosial di dunia maya, sehingga tidak terkendala jarak di belahan bumi mana pun.
Namun, perlu dicatat bahwa pada dasarnya Facebook adalah sebuah platform yang juga memungkinkan pemilik akunnya untuk berbagi tulisan dan dikomentari oleh pengguna lain. Nah, bukan tidak mungkin juga di masa depan format buku pun akan membuat penulis dan pembacanya berinteraksi secara digital layaknya di media sosial. Di mana berbagai pihak dapat mendiskusikan apa pun yang ada di buku itu, mulai gagasan, tata bahasa, tata letak, hingga sisi artistiknya.
Sekarang kembali ke soal buku dalam pengertian tradisional berupa kumpulan gagasan dalam kertas yang dijilid. Apakah bentuk seperti itu kelak akan punah digantikan halaman di layar digital?Â
Saya hanya bisa menganalogikan seperti foto, yang di masa lalu selalu disajikan dalam bentuk cetakan di atas kertas. Apakah saat ini bentuk seperti itu sudah punah? Tentu tidak, karena sisi citra artistik foto dalam momen tertentu sangat dibutuhkan untuk dicetak. Kaga mungkin kan di sebuah ruang formal, apalagi gedung pemerintahan tanpa ada foto-foto pejabat dan kegiatannya?
Jadi, jika kelak sudah punah sekalipun, buku tradisional rasanya masih dibutuhkan. Setidaknya sebagai cenderamata yang bisa dibagikan ke kolega. Mau dibaca apa kaga, emang siapa yang bisa maksa?
Oh iya, sampe lupa: Selamat Hari Buku Sedunia!