Sejumlah aksi teror terhadap Jokowi, mulai penyadapan hingga percobaan peledakan kapal dan penyayatan ban tengah mengemuka ke publik. Benarkah yang terjadi atau sekadar manuver politik menjelang Pemilu 2014? [caption id="" align="aligncenter" width="558" caption="Joko Wiododo dan Tri Rismaharini (jokowidiary.blogspot.com)"][/caption] SETELAH diguncang kabar penyadapan di rumah dinas Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo akhir pekan lalu, publik di Tanah Air kembali dikejutkan dengan pengakuan tokoh yang akrab disapa Jokowi itu bahwa ada yang mencoba meledakkan kapal yang hendak ditumpanginya saat akan menuju ke salah satu pulau di Kabupaten Kepulauan Seribu. Namun, lagi-lagi dengan gaya khasnya, Jokowi mengelak untuk menjelaskan secara detail bagaimana kronologi peristiwa yang disebutnya telah terjadi setahun yang lalu itu. "Saya sekarang ini ngurusi Kartu Jakarta Pintar, ngurusi genangan, ngurusi pasar," ujar mantan Walikota Solo itu, saat wartawan mencoba mengkonfirmasi di salah satu agande blusukannya, di Jalan S. Parman, Jakarta Barat, Senin (24/2). Sebuah jawaban yang retoris walaupun jelas akan menimbulkan rasa penasaran publik. Masih di tempat yang sama pun, Jokowi kembali ditanya wartawan tentang aksi sobek ban mobil--yang dikabarkan dalam ukuan besar--yang diduga terjadi kepada kendaraannya. "Tahun kemarin. Ya sudah, itu sudah kejadian tahun kemarin," ungkapnya lagi, tanpa mencoba menjelaskan apa yang terjadi. Tiga peristiwa itu seolah semakin menguatkan bahwa Jokowi memang bukan tokoh sembarangan. Minimal, banyak musuh yang mencoba mengincar dia karena kepopulerannya. Namun, dengan gaya bicara dan bahasa tubuhnya yang sederhana, Jokowi seolah terlihat tidak ingin memperpanjang masalah itu. Walaupun di sisi lain, yang dilakukannya tentu saja akan meninggalkan pertanyaan yang terus menggayut: Siapa yang coba mencelakai orang yang di berbagai lembaga survei selalu didudukkan di posisi puncak sebagai tokoh yang akan dipilih publik di Pemilihan Presiden 2014 mendatang? Tentu tidak mudah menjawabnya. Sama tidak mudahnya dengan meminta Jokowi memaparkan secara detail kepada publik tentang sejumlah pengalaman buruknya saat menjadi Gubernur DKI Jakarta itu. Yang sewajarnya--jika dia ingin memberi pelajaran kepada publik--dilaporkannya kepada pihak-pihak yang berwenang. Memang bukan pada tempatnya untuk terus memaksa dia melakukan prosedur hukum sebagaimana warga negara lainnya. Hanya saja, yang dilakukannya jelas akan menjadi wacana yang sangat politis jika kemudian ada isu-isu lain seputar 'serangan-serangan' terhadap dirinya, namun selalu ditanggapi oleh dia dan partainya secara sambil lalu. Wajar jika menjadi wacana yang sangat politis, mengingat segala sesuatu yang dilakukan mereka yang ada di ranah politik di tahun politik ini, sedikit ataupun banyak akan berpengaruh terhadap pandangan publik terhadap mereka. [caption id="attachment_313824" align="aligncenter" width="240" caption="Kaus pendukung Jokowi. (harianjogja.com)"]
[/caption] Tentu juga tidak bisa dilihat secara parsial, agar tidak berkembang menjadi tuduhan bahwa semua tidak lebih sebagai penggorengan isu. Yang ujung-ujungnya, seperti diungkapkan tokoh-tokoh yang ada di partai pesaingnya sebagai mencari perhatian ataupun membentuk opini demi kepentingan Pilpres 2014. Bahkan, lebih jauh publik dapat beranggapan bahwa hal itu tidak lebih sebagai pengalihan isu, mengingat PDI Perjuangan selaku partai tempat Jokowi bernaung tengah mengalami konflik di dalam tubuhnya. Sayangnya,
PDIP pun terkesan tidak ingin menanggapi hal tersebut secara serius. Tokoh PDIP yang kini menjadi Ketua MPR Sidarto Danusubroto jelas membantah bahwa informasi tersebut hanya untuk menaikkan citra partainya. "Beliau (Jokowi) kan bukan orang yang senang rekayasa-rekayasa begitu kan. Itu betul-betul orang-orang profesional yang pasang itu (penyadap). Dan sekarang sudah dibersihkan juga oleh orang profesional," ungkapnya, saat ditanya wartawan, di gedung
DPR, Jakarta. Lalu siapa yang dimaksudnya sebagai 'profesional' tersebut? "Kompetitor. Dia belum
declare kok sudah disadap itu bagaimana.
Penyadapan itu pada teroris, separatis, pemimpin gerak, koruptor, bukan pada orang-orang baik begitu dong, biasanya penyadapan dilakukan pada ancaman nasional, ancaman negara, ancaman teroris, separatis," kata mantan ajudan Presiden RI pertama Soekarno itu.
Takaran Tahun Politik Gayung bersambut atas sejumlah 'aksi teror' terhadap Jokowi. Namun, dengan cantik, PDIP justru menjawab,"Partai (PDIP) anggap sudah selesai (penyadapan Jokowi)," ungkap anggota Fraksi PDIP yang juga menjadi Wakil Ketua Komisi I DPR TB Hasanuddin, di tempat dan hari yang sama dengan Sidarto menyatakan hal di atas. Kenapa disebut cantik? Karena baik Jokowi maupun PDIP kini seolah kembali menjadi pihak yang kerap dizalimi, namun tidak pernah mencoba memelihara dendam. Di sisi lain, wacana tersebut mampu bersaing, bahkan sedikit mengubur isu rencana mundurnya Walikota
Surabaya Tri Rismaharani, terkait mengencangnya wacana bahwa PDIP selaku partai pengusungnya melakukan banyak tekanan terhadap dia. Di mana salah satunya dengan menempatkan Whisnu Sakti Buana sebagai Wakil Wali Kota Surabaya, yang dikuatkan dengan pernyataan
Risma soal pemalsuan tanda tangannya. Apalagi, 'pembangkangan' Risma itu semakin diperparah dengan pertemuannya bersama Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso yang notabene berasal dari Partai Golkar. [caption id="" align="alignright" width="468" caption="Yang dikabarkan akan berpasangan di Pilpres 2014. (Kompas.com)"]
Yang dikabarkan akan berpasangan di Pilpres 2014. (Kompas.com)
[/caption] PDIP memang belum secara tegas menyebut Risma sebagai pengkhianat. Pinangan terhadap Risma yang dikabarkan akan menjadi calon wakil presiden pendamping Prabowo Subianto pun belum diungkapkan secara tegas oleh Partai
Gerindra. Entah apakah semua skenario di atas yang coba dimainkan oleh PDIP. Yang jelas, hingga kini pun PDIP masih belum mengumumkan secara resmi apakah Jokowi memang menjadi calon presiden yang mereka usung di Pilpres 2014. Namun, semua seharusnya mafhum bahwa segala langkah dan perilaku yang dilakukan para politisi di tahun politik ini tentu harus sudah mulai ada takarannya. Yang kata pepatah orang
bule di
sono,"
There's no such thing as a free lunch" alias "Tidak ada makan siang yang gratis."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Lihat Politik Selengkapnya