Hitung cepat (quick count) dari berbagai lembaga survei menunjukkan suara dari semua partai politik peserta pemilihan anggota legislatif (pileg) 2014 tidak ada yang dominan. Lalu, siapa yang menjadi kuda hitam di Pilpres 2014? [caption id="" align="aligncenter" width="583" caption="SBY bisa menjadi kuda hitam Pilpres 2014? (cdn.presiden2014.com)"][/caption]
BAKAL calon Presiden PDI Perjuangan Joko Widodo tiba-tiba saja keluar dari rumah dinas Gubernur DKI Jakarta, di Jalan Taman Suropati, Menteng, Jakarta, pada 9 April. Dia kemudian duduk lesu di teras depan rumahnya. Padahal, saat itu hasil hitung cepat (quick count) Pemilu Legislatif 2014 masih berlangsung, dan suara tertinggi diperoleh PDI Perjuangan selaku tempat pria yang lebih dikenal dengan nama Jokowi itu bernaung. Itulah inti berita berjudul 'Jokowi Duduk Lesu di Teras Rumahnya', yang dimuat laman Kompas.com pada 9 April, pukul 17.25 WIB.
Mungkin sekilas tidak ada yang istimewa dari berita itu. Karena publik pun selama ini telah terbiasa mengikuti berita tentang segala gerak-gerik mantan Walikota Solo itu--pun untuk berita yang terlihat remeh. Namun, ada sesuatu yang menarik dari berita tersebut, karena terjadi di tengah keingintahuan publik atas hasil penghitungan Pileg 2014, yang otomatis akan memengaruhi peta Pemilihan Presiden (Pilpres), 9 Juli mendatang. [caption id="" align="alignright" width="267" caption="Jokowi Effect tidak efektif? (Tempo.co)"][/caption]
Berita itu dapat juga diterjemahkan sebagai cara untuk menunjukkan kegalauan mantan Walikota Solo itu, di tengah keputusan penting yang akan menentukan posisinya di Pilpres 2014. Kenapa? Mari kita lihat hasil Quick Count Pileg 9 April yang dilakukan Libang Kompas hingga 11 April. Hasilnya menunjukkan: PDIP memeroleh suara hingga 19,23%, disusul Partai Golkar (15,02%) dan Partai Gerindra (11,80%). Selanjutnya di papan tengah ada Partai Demokrat (9,43%), PKB (9,13%), PAN (7,51%), PKS (6,98%), Partai Nasdem (6,71%), PPP (6,68%), dan Partai Hanura (5,11%). Di papan bawah ada PBB (1,5%), dan PKPI (0,94%). Suara PDIP memang paling unggul.
Sayangnya, untuk mengusung seorang capres, sebuah partai politik minimal memerlukan 25% suara sah atau 20% kursi DPR. Apalagi, partai banteng bermoncong putih itu pun sebelumnya menargetkan perolehan suara minimal 27%. Ditambah karena di berbagai kesempatan saat kampanye, Jokowi kerap menargetkan perolehan suara hingga 40% agar Pilpres 2014 dapat dilalui hanya dengan satu putaran. Juga agar PDIP tidak banyak membagi-bagi janji kepada parpol yang akan berkoalisi kelak.
Entah apakah dengan perolehan suara 9 April lalu, lalu membuat rencana pencalonan Jokowi akan berubah, minimal skenarionya. Yang jelas PDIP sendiri pada 10 April menyatakan pencalonan Jokowi sebagai capres sudah final. Pertanyaan selanjutnya adalah: dengan siapa PDIP akan berkoalisi untuk mengusung Jokowi di Pilpres 2014?
Pertanyaan yang sama dapat pula diajukan bagi dua partai papan atas lainnya. Karena Golkar telah memiliki Aburizal Bakrie selaku capres dan Gerindra sejak jauh-jauh hari menetapkan Prabowo di posisi capres sebagai harga mati. Berkoalisi di antara mereka sepertinya ibarat mencampurkan minyak dengan air. Karena walaupun sama-sama mengikrarkan diri sebagai partai nasionalis, ketiganya jelas memiliki kepentingan, sentimen, sejarah, hingga emosi yang berbeda.
Termasuk adanya pergesekan yang sulit disatukan di antara mereka. Pilihan rasional adalah dengan melirik partai-partai papan tengah. PDIP memang terlihat paling mudah, karena kemungkinan tidak perlu repot-repot melamar, parpol lain sudah antre ingin bergabung. PKB kemungkinan akan bergabung dengan koalisi mengusung Jokowi, apalagi karena PDIP membutuhkan parpol berbasis Islam. Walaupun hingga kini keluarga Abdurrahman Wahid sang deklarator PKB belum kunjung rujuk dengan Muhaimin Iskandar, sang ketua umum, kunjungan Jokowi kepada mereka beberapa waktu yang lalu dapat menjadi pertanda.
Partai Nasdem pun kemungkinan akan bergerak ke arah koalisi Jokowi, yang ditandai dengan intensnya pertemuan di antara elite kedua parpol sejak sebelum digelarnya pileg. Apalagi ketua umumnya Surya Paloh, sejak jauh-jauh hari menyatakan akan mencoba realistis dengan tidak mengajukan capres mengingat parpol yang didirikannya masih seumur jagung. Walaupun sebagai pendatang baru, suara yang diperolehnya cukup lumayan. Itu pun baru sebatas kemungkinan dari koalisi parpol nasionalis dan berbasis Islam yang akan bergabung.
Belum jika kemungkinan di tengah jalan, PKS yang berpaham Islam puritan coba menyeberang ke koalisi ini. PKS? Ya, bisa saja. Toh, dalam politik segala kemungkinan dapat terjadi walaupun harus menembus batas ideologi, kultur, dan etika yang selama ini dianut. "Koalisi dengan PDIP bukan keran mati yang tertutup," ujar Sekretaris Jenderal PKS Taufik Ridho, di Kantor DPP PKS, Jakarta, pada 10 April. "Semua keran terbuka. Tinggal menunggu aliran air yang mengalir, yaitu hasil pileg," imbuhnya.
[caption id="" align="aligncenter" width="367" caption="Akankah PPP bergabung ke koalisi pendukung Prabowo? (Tribunnews.com)"]