Mohon tunggu...
Iba Mabako
Iba Mabako Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Perantau

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sebatas Mimpi

30 Maret 2023   20:45 Diperbarui: 31 Maret 2023   00:43 162
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
 Sumber Gambar : https://www.wallpaperbetter.com/

Ramadhan kali ini berbeda.

Sore itu adzan ashar berkumandang. Aku tersontak bangun dari ranjangku. Keringat dingin mengucur deras dari pelipis. Suara napas terdengar menderu-deru. Aku bergegas berlari kecil menuju kamar mandi. Membasuh diri dengan air wudhu. Berharap perasaan ganjil ini hilang bersamaan dengan basuhan terakhirnya.

Selesai solat aku langsung keluar dari rumah dan langsung membawa sepeda ontelku. Pergi untuk menghilangkan penat. Sekaligus menunggu berbuka.

Selama perjalanan pikiranku hanya tertuju pada mimpi tadi. Entah, sudah hampir satu purnama mimpi itu selalu menghantuiku. Didalamnya ibu hadir menemuiku. Seakan memutar kenangan dulu yang pernah kami lalui. Semua cerita bersamanya. Tak terasa air mata mengalir lagi di pipiku.

Setelah sampai di taman kota aku langsung memarkirkan sepeda dan berjalan lemas mencari tempat bersandar. Sambil menanti waktu berbuka, melihat orang-orang berkumpul jauh lebih baik pikirku. Melihat sekumpulan keluarga menggelar tikar, saling bercengkerama satu sama lain. Ada juga yang sedang berdagang, sibuk melayani pelanggan-pelanggannya yang membeli takjil. Dan ada pula yang hanya duduk termangu sepertiku.

"Bobi.." Teriak seorang wanita tua, dia langsung berlari panik menghampiri anak usia lima tahun yang baru jatuh itu.

"Tuh kan.. kata mamah juga apa. Jangan terlalu kencang berlarinya." Ucapnya dengan lembut "Tapi tidak apa-apa kamu kan kuat." Walau cemas wanita itu tetap tersenyum menyemangati.

Anak itu masih menjerit kesakitan. Dia terus menangis sambil memegang erat betisnya.

"Fuuhhh" Wanita tua itu meniup luka di lututnya, "Sudah tidak sakit lagi kan? Sini mamah gendong." Si Bobi kecil pun naik ke pangkuannya lalu pergi.

Aku masih termangu menatap mereka. Iri. Tapi dadaku tiba-tiba sesak. Ribuan kenangan lama bersama ibuk muncul begitu saja. Seolah sosoknya ada dihadapanku. Dan aku pun memutuskan untuk mengayuh kembali sepedaku meninggalkan taman.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun