Kehidupan bertetangga tentu tidak selamanya berjalan dengan baik. Begitupun hubungan bertetangga antar negara seperti Australia-Indonesia. Hubungan bilateral kedua negara ini memang sering mengalami pasang surut, terlebih belakangan dihebohkan oleh isu Bali Nine. Dimana sejauh sepengetahuan awam saya, mayoritas masyarakat Australia menentang kebijakan Pemerintah Indonesia menghukum mati Duo Bali Nine Andrew Chan dan Myuran Sukumaran. Salah seorang teman Australia saya, asal Melbourne, menganggap bahwa hukuman mati bagi bandar narkoba tidak akan serta merta menyurutkan peredaran narkoba di Indonesia. Selain itu, dia menilai bahwa bahaya narkoba hanya dirasakan oleh mereka yang terlibat dalam kasus narkoba saja. Lain halnya dengan rokok, yang jelas membahayakan dan mematikan bukan hanya bagi si perokok, melainkan bagi masyarakat luas yang sering kena imbas asap rokok. Tapi penjualan rokok di Indonesia masih mudah dan murah. Masyarakat dari kalangan (maaf) bawah hingga kalangan atas bisa menikmati batang rokok yang mengandung 4000 jenis racun mematikan. Kebijakan penjualan rokok di Indonesia masih dinilai lemah daripada di Australia. Tentu sah-sah saja jika teman saya memiliki opini seperti ini. Karena bagi saya, siapa pun berhak mengeluarkan opini. Bahkan mungkin masih banyak perspektif lain dari masyarakat Australia yang menolak keras eksekusi mati bagi dua warganya itu.
Tidak dapat dipungkiri, ketegangan kedua negara ini pun terjadi. Apalagi setelah ada tawar menawar hukum yang dilontarkan Perdana Menteri Australia Tonny Abbot sampai mengungkit pertolongan Australia saat Aceh dilanda tsunami di tahun 2004. Ini menjadi bulan-bulanan di media massa baik di Indonesia maupun di Australia.
Contoh konflik seperti ini atau konflik lainnya yang pernah terjadi membuat renggang hubungan antar kedua negara. Namun dalam hal ini menurut saya adalah hubungan dari segi politik atau pemerintah. Hubungan people-to-people contact masih berjalan bagus. Bisa kita lihat, ketika ketegangan terjadi, beredar isu bahwa Pemerintah Australia melarang warganya pergi ke Indonesia atau ke Bali. Namun kenyataannya, warga Australia masih tetap pergi ke Bali atau ke beberapa daerah lainnya di Indonesia. Tidak ada larangan di imigrasi bandara dan tidak ada pengawasan dari pemerintah, sehingga mereka masih bebas mengunjungi Indonesia.
Di tengah pasang-surut konfik yang terjadi, tentu alangkah lebih baik jika kita tetap mencari solusi memperbaiki hubungan kedua negara. Biarkan ketegangan politik, pemerintah yang berhak bertanggung jawab. Namun di kalangan masyarakat, kita tetap harus membina hubungan baik. Karena bagaimana pun, sadar atau tidak, kita saling membutuhkan satu sama lain. Apalagi letak geografis antara Indonesia dengan Australia sangat dekat.
Di akhir Juni lalu, media Australia SBS TV Australia (Bukan SBS One) program Insight mengadakan taping program dengan mengangkat berbagai tema seperti politik, sosial, dan hubungan antara Indonesia dan Australia. Ketika mendengar bahwa SBS TV akan melakukan Talk Show di Jakarta, saya pun sempat bertanya-tanya ada maksud apa mengambil topik Indonesia? out put atau dampak apa yang ingin dihasilkan dari media tersebut? Namun saya tetap berfikir positif bahwa hal ini sebagai upaya memperbaiki hubungan kedua negara yang sempat memanas.
Setelah melihat tayangannya, program yang menjadi salah satu program terkenal dan diminati masyarakat Australia ini menurut saya tidak ada sesuatu yang berlebihan. Para pembicara mengatakan apa adanya yang terjadi di Indonesia, mereka menyampaikan apa yang mereka alami. Walaupun memang ada pembicara yang terkesan terlalu blak-blakan seperti membeberkan lemahnya penegakkan hukum di Indonesia, praktik jual-beli hukum, dan banyak tindakan korupsi. Yang perlu kita soroti adalah, pertama, setidaknya masyarakat Indonesia memiliki tempat untuk menyampaikan aspirasinya. Saya kira mau ditayangkan oleh media asing atau tidak, penyebaran informasi saat ini sudah tidak bisa lagi dibendung. Siapapun bisa dengan mudah mengetahui berbagai macam informasi yang dibutuhkan. Bisa saja walaupun kemasan acara ini ditayangkan oleh media Indonesia misalnya, tidak menutup kemungkinan orang asing juga bisa menonton melalui streaming atau youtube.
Kedua, kita tidak bisa menilai hanya berdasarkan pengamatan sepintas setelah menonton tayangannya. Apalagi, hanya menilai satu sisi saja (sisi negatifnya). Media memang identik dengan agenda setting, tentu program Insight ini pun telah direncanakan sedemikian rupa sehingga mendapatkan hasil tayangan seperti itu. Namun coba kita baca di website Insight SBS TV, dia mengatakan, "Indonesia is one of Australia's closest neighbours, but how well do we, as people, understand each other?" dan juga "The discussion also explores the leadership of President Joko Widodo, popularly known as 'Jokowi'. July marks one year since he won office with 53 per cent of the vote - how do Indonesians rate his performance?"
Pada bulan Juli ini (mungkin hanya sebagian masyarakat Indonesia juga yang sadar) tepat satu tahun masa pemerintahan Jokowi. Mereka ingin mengetahui bagaimana sejauh ini progres kerja pemerintah Jokowi? Bagaimana warga Indonesia menilai pemerintahan Jokowi selama setahun ini?
Justru menurut saya, Australia berpikir lebih maju memikirkan apa yang akan terjadi kemudian setelah mengetahui apa yang terjadi selama setahun ini di masa pemerintahan Jokowi. Karena mungkin mereka berpikir, apa yang terjadi di Indonesia, akan berpengaruh (positif atau negatif) terhadap Australia yang menjadi tetangga terdekatnya.
Seperti yang disebutkan di atas, program ini juga ingin mengetahui perspektif Indonesia dalam menilai seberapa baik hubungan Indonesia-Australia? Dengan di-setting-nya tujuan seperti itu, setidaknya media ini juga ada itikad baik untuk memperbaiki hubungan kedua negara.
Saya mengatakan hal ini tentu bukan membela media Australia, tentu saja saya warga negara Indonesia yang lebih mencintai tanah air. Namun, saya hanya menyayangkan ada pihak yang menilai tayangan ini berdasarkan sisi negatifnya saja dan tidak mendasar.