Mohon tunggu...
Nurzahara Amalia
Nurzahara Amalia Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Penulis Amatir

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

TINGKAT STRES DI METROPOLITAN LEBIH TINGGI

9 April 2011   15:36 Diperbarui: 4 April 2017   17:18 1554
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hidup di kota besar atau di metropolitan memang butuh kerja ekstra. Bagaimana tidak, biaya kehidupan dan lingkungannya pun memang menuntut kita untuk bekerja keras. Hal inilah yang kemudian menjadi penyebab tingkat stress bagi orang metropolis lebih rentan di banding masyarakat yang tinggal di desa.

Terkait masalah ini, Saya menemui psikolog Sake Pramawisakti. Menurut psikolog RSUD Serang ini mengatakan, banyak factor yang memicu stress bagi masyarakat metropolitan. Pasalnya, masyarakat metropolis beransumsi bahwa waktu itu amat berharga. Kalau hanya tinggal diam menyia-nyiakan waktu, maka akan tersingkir. “Dari anggapan seperti itulah makanya orang metropolis berlomba-lomba bekerja keras. Karena memang, kehidupan di metropolitan pun keras,” ujar Sake saat ditemui di ruang kerjanya. Ada pun factor-faktor yang bisa menimbulkan stress ialah kebiasaan yang tidak terkontrol. Kebiasaan tersebut misalnya lupa diri sehingga pola hidup tidak terjaga. Melebihi batas kemampuan, daya saing di Kota lebih besar, kesibukan yang menyita banyak waktu, tenaga dan pikiran.

“Karena banyak aktivitas, menyibukan diri dengan berbagai pekerjaan, akhirnya lupa diri. Pola makan tidak terjaga, kurangnya istirahat, nah hal seperti ini banyak dialami orang metropolis yang akhirnya sangat rentan terkena stress. Bahkan jika tidak bisa dikontrol bisa sampai depresi,” papar Sake yang juga dosen psikolog di berbagai Perguruan Tinggi di Banten.

Beda halnya dengan kehidupan di desa. Orang-orang di desa jiwa sosialnya masih terasa. Ada tetangga yang tidak bisa makna, tetangga yang lainnya bisa membantu. Atau jika tidak mampu beli, bisa mencari bahan makanan di ladang atau di kebun. Sementara di kota masyarakatnya individualis. Orang lain tidak mau tahu apa yang sedan kita alami. “Ya meskipun tidak semua warga metropolis tidak individualis, namun identiknya memang demikian. Sehingga menyebabkan orang-orang berpikiran keras tinggal di kota,” kata Sake. “Apa yang aku lakukan buatku, bukan buat mereka. Prinsip seperti ini yang juga kahirnya mengakibatkan orang metropolis menjadi individualis,” lanjutnya.

Selain factor-faktor tersebut, Sake menambahkan, aktivitas rutinitas di Kota yang sibuk membuat masyarakatnya rentan stress. “Hal ini patut diperhatikan, karena kondisi stress bisa menyebabkan pola hidup yang kurang baik. Akhirnya bisa menyebabkan gastritis atau sakit magh, kalau sudah gastritis, berakibat pula bagi organ tubuh yang lain,” kata psikolog lulusan Unisba ini. Ditinjau dari psikologis, kondisi seperti ini membuat orang-orang metropolitan merasa beban. Apalagi bagi orang-orang yang baru tinggal di Kota.

Tapi bagi yang sudah terbiasa memang tidak terlalu menjadi beban. Kondisi metropolitan memang sudah terpola seperti itu, jika terbiasa tidak akan menjadi beban. Meskipun tetap saja tingkat pemicu stress lebih rentan di metropolitan. “Pada beberapa kasus, tidak sedikit orang yang merasa tersisih hidup di Kota, akhirnya mereka memutuskan untuk pergi dari Kota. Jika tetap bertahan, bisa-bisa hilang kendali. Sehingga tidak sdikit yang mengambil jalan bunuh diri,” ujar Sake. Menyikapi hal ini, ada beberapa hal yang mesti dilakukan seperti yang dikatakan Sake. Hal tersebut ialah, harus ada pembiasaan. Artinya penerimaan lingkungan atau keadaan, agar bisa mengurangi tingkat stress yang berlebihan. Selanjutnya, sesekali langkan waktu untuk bertamasya atau refreshing. Hal ini sangat membantu meringankan beban.

“Yang juga harus menjadi perhatian adalah, kebiasaan menyeimbangkan antara kebutuhan, tuntutan, dengan pendapatan. Kita tidak bisa memaksakan diri untuk memenuhi suatu kebutuhan jika tidak sesuai dengan pendapatan. Jadi semuanya harus seimbang. Dan cobalah berpikir positif dan bijak,” tutup Sake.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun