Mohon tunggu...
NuryadinFadli
NuryadinFadli Mohon Tunggu... Administrasi - Guru

senantiasa belajar menemukan hal baru

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Lemahnya Minat Baca Anak Indonesia

13 Mei 2015   09:22 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:06 863
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Pendidikan Indonesia gawat darurat, demikian dikatakan oleh menteri Pendidikan Anis Baswedan sebagaimana berita yang dirilis oleh beberapa media. Pernyataan Anis Baswedan tersebut didasarkan pada temuan penelitian PISA (Programme For Internasional Student Assessment) yang menggambarkan bahwa dari 65 negara peserta yang diteliti pada anak usia 15 tahun untuk kemampuan matematika, sains dan membaca, Indonesia berada pada posisi ke 64 sedikit lebih baik dari Negara Peru yang berada diurutan paling bawah.

Dari penelitian PISA juga diketahui bahwa minat baca anak Indonesia sangat rendah jauh dibandingkan dengan Negara-negara yang lain. Padahal tentunya kita sudah mafhum, bahwa hanya dengan membaca seseorang akan kaya dengan ilmu pengetahuan yang akan berujung pada kreatifitas si individu. Dan tidak ada karya yang besar tanpa ilmu pengetahuan yang luas. Tentu berita ini adalah berita yang cukup memprihatinkan. Bagaimana tidak, para pelajar adalah harapan Indonesia di masa depan. Mereka tentunya yang akan meneruskan estafeta keberlanjutan negeri ini. Dan buruknya minat baca anak Indonesia tentunya akan menjadi penghalang kesuksesan mereka di masa yang akan datang.

Sastrawan Taufik Ismail pernah menyatakan bahwa orang Indonesia rabun membaca dan pincang menulis. Pernyataan Taufik Ismail ini didasarkan pada temuan penelitian beliau di kalangan siswa SMA tentang tingkat baca sastra. Dibandingkan Negara lain, lebih tepatnya Negara-negara di kawasan asia tenggara, siswa Indonesia berada pada urutan terendah dalam membaca buku sastra setiap tahunnya.

Untuk tugas mengarang, dalam temuan penelitian yang dilakukan oleh Taufik Ismail bahwa di banyak SMA di Indonesia siswa hanya diberikan tugas mengarang setahun sekali yang katanya mirip dengan kegiatan shalat Idul Fitri yang dilakukan setahun sekali. Tentu kondisi ini sangat memprihatinkan. Maka sangat wajar rasanya ketika Sastrawan kita Taufik Ismail mengeluakan pernyataan yang cukup pedas tersebut.

Akan tetapi tentu permasalahan rendahnya minat baca anak Indonesia tidak berdiri sendiri, dalam artian ada banyak faktor yang melatar belakangi mengapa minat baca anak Indonesia rendah.

Menurut hemat penulis dua hal yang melemahkan atau menjadikan lemah tradisi membaca anak Indonesia yaitu buruknya kondisi perpustakaan kita dan dominannya budaya menonton televisi.

lihatlah perpustakaan yang ada di sekolah-sekolah di negeri ini. Tentu semua orang faham betapa buruknya kondisi perpustakaan di sekolah sekolah pada umumnya. Mungkin ada perpustakaan di beberapa sekolah yang kondisinya cukup baik, ruangan ber AC dan sangat nyaman untuk penjelajahan ilmu pengetahuan. Koleksi buku yang beragam, dari jenis buku wajib mata pelajaran, buku bertemakan sosial, ekonomi, budaya serta jenis buku ber genre sastra tersedia.  Sehingga peserta didik sangat antusias untuk pergi ke perpustakaan dan betah berlama-lama di perpustakaan demi menambah perbendaharaan ilmu pengetahuan. Sayangnya, bisa dipastikan jumlah perpustakaan sekolah yang demikian bisa dihitung dengan jari.

Yang terjadi pada umumnya adalah sekolah-sekolah di negeri ini tidak memiliki perpustakaan. Atau memiliki perpustakaan tetapi dengan kondisi ruangan yang sempit, tidak terawat dan biasanya berada di ruangan yang memiliki letak tidak strategis. Tidak memiliki koleksi buku bacaan yang beragam, kecuali hanya koleksi buku wajib mata pelajaran.

Maka pastinya kita tidak bisa berharap lebih dengan kondisi perpustakaan yang seperti ini. Peserta didik tidak serta merta akan berkunjung ke perpustakaan jika perpustakaannya dalam kondisi buruk sebagaimana di gambarkan diatas. Ditambah lagi koleksi buku yang tidak beragam yang tentunya tidak menarik minat mereka untuk berkunjung ke perpustakaan. Maka jika melihat satu faktor ini saja tentunya kita terlalu berlebihan jika mengharapkan mereka memiliki minat baca yang tinggi, sementara apa yang mau mereka baca?

Buku mata pelajaran saja tidak cukup untuk membentuk kebiasaan aktivitas baca buku yang tinggi. Diperlukan buku-buku penunjang yang lain untuk membuat peserta didik semakin haus akan aktivitas membaca. Tentunya hal ini disesuaikan dengan minat bahan bacaan peserta didik serta melihat pertimbangan usia. Misalkan perpustakaan sekolah diperkaya dengan koleksi buku sastra berupa novel dan buku puisi. Ketika siswa semakin tertarik dengan buku sastra dan melahap semua buku sastra yang ada di perpustakaan, maka efek positifnya adalah peserta didik akan melahap semua bahan bacaan baik berupa sastra atau materi yang lain. Karena mereka sudah terjangkit virus positif, haus membaca.

Demikian juga orang tua dan para guru tidak perlu khawatir akan kelulusan peserta didik pada Ujian Nasional. Mengapa? Tentu karena peserta didik telah terjangkit virus positif, haus membaca. Dengan sikap haus akan bacaan tentu akan mendorong mereka untuk melahap semua mata pelajaran baik yang di ujikan dalam ujian nasional ataupun tidak. Peserta didik membaca semua mata pelajaran semata karena dorongan ingin mengembangkan ilmu pengetahuan. Karena mereka sudah terjangkit virus positif, haus membaca.

Mary leonhardt penulis buku 99 ways to get kids love reading, mengatakan “ anak-anak yang gemar membaca akan mampu mengembangkan pola berfikir kreatif dalam diri mereka. Mereka tidak hanya mendengar informasi tetapi juga belajar untuk mengikuti argument-argumen yang kaya dan mengingat alur pemikiran yang beragam.

Faktor kedua yang menyebabkan buruknya minat baca anak Indonesia adalah tradisi menonton yang lebih dominan yang tumbuh pada masyarakat kita. Televisi adalah benda ajaib yang wajib dimiliki oleh sebagian besar keluarga pada masyarakat kita. Dari masyarakat kelas atas sampai pada masyarakat kelas bawah, televisi bisa di jumpai dalam berbagai bentuk dengan segala kecanggihan yang di tawarkan. Dengan sekali tekan pada remot control, penonton bisa mendapatkan apa yang di inginkan dari siaran televisi baik berupa berita, hiburan berupa sinetron, acara musik atau gossip.

Maka dengan semakin gandrungnya masyarakat kita pada aktivitas menonton televisi, perlahan tapi pasti budaya cinta membaca lebih sulit untuk ditanamkan kepada peserta didik. Sebagaimana istilah yang mengatakan bahwa manusia adalah anak dari lingkungannya, tentunya ketika lingkungan sekitar lebih gandrung dengan budaya menonton televis, bisa dipastikan anak pun demikian adanya. Mereka lebih senang mengisi waktu ber jam-jam di depan televisi dari pada menghabiskannya dengan membaca buku. Membaca buku yang sejatinya adalah kegiatan merangsang otak anak untuk semakin berfungsi dengan maksimal dan melatih imajinasi anak, semakin sulit untuk dibudayakan.

Orang tua dan anak-anak lebih senang untuk duduk bersama menyaksikan acara hiburan yang disuguhkan oleh si kotak ajaib. Suara dan gambar telah di sajikan dengan sempurna oleh televisi sehingga tidak ada ruang bagi anak untuk berimajinasi. Menghabiskan waktu berjam-jam dan dilakukan setiap hari tentu akan mematikan daya imajinasi anak. Padahal Albert Einstein pernah mengatakan bahwa imajinasi itu lebih penting dari pengetahuan.

Demikian pula dengan aktivitas membaca anak akan terganggu dengan kehadiran televisi di tengah tengah kita. Bukan berarti penulis mengharamkan kehadiran televisi. Televisi penting untuk melihat berita yang aktual. Akan tetapi perlu ada pengaturan jam menonton televisi oleh keluarga demi tumbuhnya minat baca anak-anak kita. Bagaimanapun orang tua adalah teladan nomor satu bagi anaknya. Ketika orang tua lebih senang mengisi waktu dengan membaca buku, tentu bisa dipastikan anak akan mengikuti apa yang dilakukan oleh orang tuanya. Sebaliknya orang tua yang tidak peduli dengan aktivitas membaca anak, dan lebih senang menghabiskan waktu di depan televisi, tentu anak lebih memilih untuk menemani orang tuanya menyaksikan aneka hiburan di televisi yang pastinya belum tentu memberikan manfaat. Penanaman kecintaan akan aktivitas membaca mutlak harus dilakukan sejak dini.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun