Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) menjadi partai pemenang dan sukses mengantarkan kadernya sebagai presiden pada pemilu 2014 lalu. Tapi dibalik kesuksesan itu semua, tidak menjamin PDIP menjadi partai yang akan terus berjaya dan menikmati kejayaan dan kesuksesannya.
Contoh nyata di depan mata adalah hasil pilkada serentak kemarin. 45 kader PDIP yang diusung menjadi kepala daerah, baik Gubernur, Wali Kota maupun Bupati menelan kekalahan secara berjamaah. Di pulau Jawa, misalnya, PDIP kehilangan Banten dan DKI Jakarta. Partai banteng bemoncong putih itu kini terancam gagal lagi mendapatkan Jawa Barat dan Jawa Timur. Parahnya, Jawa Tengah yang merupakan basis istimewa PDIP pun ikut tergerus. Dentuman suara lonceng kekalahan si Banteng sudah mulai terdengar.
Betapa singkatnya PDIP menguasai negeri ini. Setelah puluhan tahun sabar menunggu, tetap konsisten dengan ideologi dan perjuangan “marheinisme” dan “wong cilik”-nya, PDIP seakan hanya meraba kemenangan dan kejayaan itu, tapi tak bisa menikmatinya.
Pilkada serentak 2018 mendatang menjadi ajang pembuktian PDIP. Apakah PDIP akan kembali berjaya, atau sebaliknya malah semakin porak poranda. Namun kenyataannya, kader-kader PDIP yang sukses meraih kekuasaan di berbagai daerah seakan keenakan menikmatinya. Di pulau Jawa saja, PDIP seakan tak memiliki kader yang bisa diandalkan untuk bertarung. Hanya Tri Rismaharini yang mungkin masih bisa diandalkan. Akan tetapi, Jawa Timur yang berupakan basis NU dan Syaifullah Yusuf (Gus Ipul) yang kabarnya juga akan bertarung, akan membuat langkah Risma terseok-seok menghadapinya.
Sementara Ganjar Pranowo yang semula begitu greget dan banyak disukai masyarakat Jawa Tengah, belakangan sudah mulai tak dilirik. Pembangunan Jawa Tengah terlihat stagnan. Gaya blusukannya tak selihai Jokowi. Hingga sampailah pada kasus mega skandal korupsi e-KTP dan pembangunan pabrik semen Kendeng. Kedua masalah tersebut menjadi makanan empuk dan lahan basah bagi lawan politik Ganjar yang juga akan bertarung di Pilgub Jateng mendatang. Salah satunya adalah Marwan Ja’far. Dalam banyak kesempatan, PKB terus menggelorakan penolakannya terhadap rencana pembangunan pabrik semen di Kendeng.
Masalah lain muncul di tubuh PDIP sendiri. PDIP kabarnya sedang mengalami keretakan setelah Megawati menyatakan akan mengundurkan diri. Pendukung Jokowi yang PDIP maupun yang non PDIP berharap Jokowi yang melanjutkan kepemeimpinan Megawati. Slogan “PDIP NO Jokowi Yes” pun kembali digelorakan oleh simpatisan Jokowi yang non PDIP. Melihat fenomena tersebut, Puan Maharani yang begitu ambisi ingin melanjutkan jabatan sang Ibu, terlihat mulai cemburu kepada Jokowi. Namun, tak sedikit kader PDIP yang keberatan akan keinginan Puan tersebut. Sebab, dilihat dari segi prestasi dan gebrakannya, baik di Menko PMK maupun di DPP, kinerja Puan tak begitu memuaskan. Yang terjadi justru Puan kerap melakukan kesalahan fatal di depan publik yang akhirnya menjadi bahan tertawaan di media sosial.
Indikasi keretakan PDIP sebenarnya sudah terlihat sejak dulu. Megawati seakan kurang senang melihat Jokowi yang banyak dicintai dan digemari masyarakat. Seolah PDIP besar berkat ketenaran Jokowi, bukan karena Mega. Hal ini diperkuat dengan fakta dimana Megawati pernah merendahkan Jokowi dengan menyebut Jokowi sebagai Pegutas Partai.
Fenomena lain yang menunjukkan ketidaksenangan Megawati adalah, ketika Jokowi tidak diberi kesempatan untuk berpidato saat Kongres PDIP di Bali tahun 2015 lalu. Jokowi tampak bengong selama acara berlangsung. Yang mengejutkan lagi, Jokowi menuangkan air ke gelas Megawati. Entah apakah karena Jokowi kesal karena tidak diberi kesempatan memberi sambutan, atau kesal karena kerap disebut sebagai petugas partai, lantas ia memberi isyarat kepada publik dengan menuangkan air ke gelas Megawati. Seakan ingin menunjukkan kepada masyarakat bahwa selama ini Jokowi dianggap sebagai Pelayan Megawati, bukan pelayan rakyat.
Dari semua penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa sejatinya popularitas dan elektabilitas Megawati kalah jauh bila dibanding Jokowi. Harus diakui, hadirnya Jokowi sangat menguntungkan PDIP. Megawati harus menerima kenyataan ini. Segera berbenah diri, jangan merasa tersaingi dan jangan lagi merasa lebih tinggi. Jika tidak, kehancuran PDIP akan menjadi kado pahit setelah lengser nanti. Bedug sudah tersedia, tinggal ditabuh untuk menyambut kehancuran PDIP. Puncaknya, bukan tidak mungkin seruan “kerja, kerja, dan kerja” yang selama ini selalu didengungkan Jokowi, pada pilpres 2019 nanti akan berganti menjadi “kalau bukan sekarang kapan lagi?, kalau bukan kita siapa lagi?”.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H