Sebuah cerita klasik, tentang segala hal mengenai kamu. Tak pernah aku paham pasti kapan cerita klasik itu dimulai, datang begitu saja dan belum mau berakhir begitu saja. Kau pasti bertanya itu tentang apa ? jawabnya sederhana dan mudah saja, yaitu tentang bayangmu dan semua gambar-gambarmu yang muncul di pelupuk mataku, bukan hanya di pelupuk mata juga di pelupuk angan.
Aku melihat seluruh dirimu, melihat punggungmu berjalan membelakangiku di hari minggu tanggal lalu, melihat wajahmu yang menyinggung senyum ragu disertai malu, aku melihat langkah kakimu yang bersepatu melangkah menjauh, aku melihat tanganmu yang terayun saat kau berjalan pelan seolah menungguku untuk mengejarmu. Aku bahkan memperhatihan seluruh dirimu, dari tinggi badanmu, lebar badanmu, bentuk wajahmu, pola kau berjalan dan seluruhnya hingga kebagian sudut tubuhmu. Semuanya terasa jelas kala mataku terbuka, semua terasa dekat kala mataku tertutup.
Seringkali pula aku ingat ketika aku memandangimu dari ketinggian, aku melihat dengan mata kepalaku sendiri, kuperhatikan kau setiap jengkal langkah kakimu yang menghambur dari kelas, kuperhatikan setiap mili senyum dan tawa yang tersimpul di wajahmu, bahkan setiap kata yang terangkai kalimat keluar dari mulutmu, setiap laku kala kau bergurau pada teman sepermainanmu, kupahami lekat-lekat pula ketika wajahmu berpapasan dengan teman wanitamu, lalu kau memberikan pakaian luar yang kau kenakan untuk ia kenakan, aku merasa miris dan cemburu. Aku tudukan kepala hanya tak ingin melihat adegan tersebut namun sekali lagi aku urungkan, aku tetap ingin tahu apapun itu tentang kamu. Kau berlalu dengan mengendarai sepeda motormu, mataku mengikuti punggungmu menjauh tetapi aku terus memandang hingga kau luput dari pandanganku.
Begitu seterusnya hingga aku hafal benar sosok dirimu, iya sosok dirimu yang dekat, namun sekedar bayang ! sekedar ingatan yang lupa caranya mengilang. Awalnya rasanya menyenangkan bisa menghadirkan kau dalam benak dan segenap angan, aku bahagia menyapamu dalam bayang, senyumku menyimpul kala mengingat tubuh gagahmu sedang bersisian dengan tubuh mungilku, aku tertawa geli ketika teringat kau pernah mengusap usap nakal rambut halusku di kepalaku, kadang aku nangis tersedu kala mengingat terakhir kali kau rangkulkan lenganmu pada leherku. Sebenarnya aku rindu itu semua !
Aku nikmati setiap kerinduan itu, setiap bayang-bayang wajahmu yang memburu, setiap rasa sesak dalam dada yang hampir membunuh. Aku tahu rindu begini tak akan merubah apapun dan tak akan mendatangkan apapun yang berlalu untukku, hingga rindu semakin lama menumpuk sampai lapuk.
Dan akhirnya aku tersadar bayang-bayangmu yang terus muncul dan enggan berlalu hanya pemicu lelah dan sedihku, hanya kutukan terberat dalam hari hariku, hanya virus virus yang melemahkan tubuhku, hingga aku menangis, sampai lelah menangis, sadar sampai lelah sadar. Sadar kau hanya bisa handir untukku dalam bentuk sebuah bayang, dalam serpihan kenangan, dan aku memujamu sampai lelah memuja.
Aku tak tahu harus kuapakan bayangmu itu ? harus kubunuh, dan aku sudah berusaha melakukannya, hasil tetaplah sama kau terus menerus hadir dan kata hatiku pun selalu ingin tahu banyak hal tentang sisi lainmu. Jika aku jatuh cinta padamu, maka aku tak mempercayai hal bodoh itu. mencintaimu adalah hal terbodohdan tergila. Sebab aku tau benar jawabannya. Kau tak mungkin mencintaiku lagi. Itu sebab aku seperti kehilangan antibodi dan segala energi. Aku lunglai melihatmu, aku tak sanggup berjalan di hadapan fisikmu, jantungku berdetak sangat kecang dan terasa benar darahku mengalir tiga kali lebih cepat dari biasanya, aku tak mampu berkata kata, kelu lidahku, aku hanya mampu menundukan kepala menyembunyikan rindu dan segenap rasaku.
Jika tidak begitu aku khawatir sekali perasaanku terhadapmu terbaca dari tingkah lakuku. Aku tak ingin kau tahu, aku tak ingin kau terbebani sedikit hal pun tentang aku, aku terlalu malu juga untuk mengharapkan kau kembali. Berharap kau bisa menyapaku terlebih dahalupun aku terlalu malu, sangat malu.
Jadi sengaja saja kubiarkan diriku yang lelah memujamu, yang lelah dengan buruan bayangmu ini memendam perasaannya sendiri, hingga suatu masa perasaan itu akan aku tulis dengan rangkaian kata yang indah, dan saat itu adalah ketika kau berbaring berbantalkan pahaku.
Tapi apalah mungkin?
Aku berdoa itu mungkin, sekalipun aku malu berdoa untuk ungkapan dan maksud tersebut.