[caption id="attachment_305384" align="aligncenter" width="620" caption="Ilustrasi/Admin (Shutterstock)"][/caption] Mumpung sedang hangat-hangatnya kasus dokter di Indonesia, saya mau berbagi pengalaman pelayanan kesehatan di negeri Belanda ini. Semoga tulisan ini sampai ke pemerintah/anggota DPR supaya mereka tidak perlu jauh-jauh ke sini untuk studi banding (ngarep, wkwkwk). Tulisan ini sebenarnya didorong oleh tudingan sebagian masyarakat kepada dokter di Indonesia yang katanya mata duitan, bego (beneran lho ini ada yang bilang dokter gak punya otak), dan gak berkualitas. Semoga bermanfaat. Jadi ceritanya, semua imigran di Belanda ini (terutama yang berasal dari non Uni Eropa) diwajibkan menjalankan tes TBC dan jika dinyatakan positif harus bersedia menjalani pengobatan. Pertama-tama dilakukan tes kulit (mantoux). Nah ternyata hasil tes saya gak jelas, antara ada dan tiada. Lalu dilakukan rontgen dan hasilnya negatif. Ternyata masih belum cukup, dilakukan tes darah. Hasilnya disampaikan 2 minggu setelahnya melalui email, yang isinya sbb. "I would like to inform you about the bloodtest for a latent tuberculosis-infection, that was taken on February 19th. The outcome showed an indefinite result. This means that the test does not give a clear result to us right now. The result can point to several different options: maybe you were infected a long time ago, maybe you were infected by another bacteria which belongs to the TB-family (and is of no harm to you) or maybe you were going through another infection, like a cold or something else. Anyway, there is no need to take any further actions at this moment. What we want to suggest to you is to repeat the test in 1 month time. So we will send you an invitation in April." Ternyata gak jelas juga dan haruslah saya tes lagi di bulan April. Akhirnya di bulan saya diminta datang ke gedung pelayanan kesehatannya untuk mengetahui hasil tesnya dan konsultasi. Ternyata saya dinyatakan terinfeksi namun dalam kondisi tidak aktif TBC. Artinya TBC tadi hanya akan aktif ketika kekebalan tubuh saya menurun. Kemudian saya ditawari 3 pilihan: diberikan antibiotik, pemeriksaan setelah 6 bulan, atau hanya pemeriksaan ketika tubuh merasa tidak fit. Karena saya benci memasukkan obat ke tubuh dan malas repot, saya pilih pilihan ketiga, sembari berbisik dalam hati bahwa saya tidak akan ke dokter lagi, haha.... Kemudian saya iseng-iseng tanya tentang tifus, dan ternyata dokternya membuka wikipedia di depan saya, untuk mendapatkan jawaban yang meyakinkan, haha.... Dari pengalaman ini saya lalu merefleksikan dengan tudingan orang awam terhadap dokter Indonesia. Mungkin tudingan yang sama juga bisa dialamatkan ke dokter di Belanda ini ya. Kenapa? Karena butuh waktu lama sekali (Februari sampai Mei) untuk memastikan diagnosis TBC saya. Ditambah dengan 3 macam tes yang berbeda-beda. Kalau di Indonesia mungkin sudah dibilang mata duitan karena disuruh tes macam-macam. Kemudian sang dokter buka wikipedia di depan pasiennya! Yang semacam itu bisa jadi bulan-bulanan di Indonesia. Tapi memang dokter di sini berkomunikasi dengan sangat baik dan menjelaskan perihal TBC dengan detil kepada saya selama kira-kira 1 jam. Mungkin pelayanan seperti ini yang belum saya dapati dapat diperoleh masyarakat luas di Indonesia. Tapi pelayanan baik seperti di Belanda ini tidak murah lho, saya harus bayar asuransi lebih dari 1 euro per hari dan masyarakat di sini membayar pajak yang tinggi. Misalnya untuk mahasiswa PhD yang dibayar 2200 an euro hanya akan menerima uang bersih sebesar 1500 an euro karena terpotong pajak. Kemudian ditopang dengan fasilitas dan gaya hidup higienis. Air keran di sini dapat langsung diminum dan belum saya temukan penjual makanan pinggir jalan, jadi makan minum di sini hampir dipastikan higienis. Jadi saya kira berlebihan dan tidak pada tempatnya kalau dokter Indonesia dihujat habis-habisan. Di tengah gaya hidup masyarakat yang jauh lebih tidak higienis, minimnya alokasi dana pendidikan dan fasilitas, serta jumlah dokter sendiri yang masih kurang, saya kira performa dokter Indonesia sudah baik. Dan mau tidak mau saya katakan dokter di Indonesia menjadi korban dari sistem kesehatan yang tidak memenuhi keinginan rakyat. Kalau mau fasilitas elit macam di Eropa sini mungkin rakyat Indonesia harus mau dibebani pajak tinggi. Kalaupun ada dokter Indonesia yang kualitasnya kurang, lha wong jumlahnya aja kurang, ya mau tidak mau tetap harus diberdayakan. Terakhir saya berdoa semoga dokter Indonesia diberkahi Allah dan negeri ini dikaruniai sistem kesehatan yang lebih baik lagi di masa depan. Wallahu a'lam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H