Di era digital saat ini, media sosial telah menjadi platform utama untuk berbagi informasi, ide, dan ekspresi diri. Adanya berbagai fitur di aplikasi media sosial saat ini memungkinkan pengguna membagikan konten singkat dengan durasi terbatas dan hal ini menjadi salah satu medium populer bagi generasi muda. Namun, dalam praktiknya ada berbagai konten di media sosial sering kali mencerminkan penggunaan bahasa yang cenderung tidak terikat pada kaidah ejaan yang benar. Hal ini memunculkan problematika bahasa yang patut menjadi perhatian dan terkesan rancu tidak sesuai dengan ejaan yang terdapat di KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia).
Media sosial menawarkan kebebasan berekspresi yang sangat luas. Pengguna dapat menulis dengan gaya yang informal, mencampur berbagai bahasa, atau bahkan menciptakan istilah baru. Fenomena ini menjadi cerminan kreativitas, tetapi di sisi lain, sering kali mengabaikan aturan ejaan yang tepat. Misalnya, penggunaan huruf kapital yang berlebihan ("AKU SENENG BANGET"), singkatan yang tidak baku ("pdhl" untuk "padahal"), atau pemakaian tanda baca yang salah.
Kebebasan ini sering kali dianggap sebagai bagian dari dinamika komunikasi di media sosial. Namun, jika dibiarkan tanpa arahan maka hal ini dapat mengurangi kemampuan masyarakat, khususnya generasi muda dalam kemampuan menulis secara formal sesuai dengan standar bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Penggunaan ejaan yang salah atau tidak konsisten di media sosial dapat berdampak pada kemampuan literasi. Seseorang yang terbiasa menulis tanpa memperhatikan kaidah bahasa berpotensi mengalami kesulitan saat harus menulis secara formal, misalnya dalam tugas akademik, surat resmi, atau dokumen profesional lainnya. Selain itu, kebiasaan ini juga dapat memengaruhi pembelajaran bahasa di sekolah, karena siswa mungkin menganggap penggunaan bahasa yang santai di media sosial sebagai standar yang dapat diterima.
Sebagai masyarakat yang menghargai budaya dan identitas nasional, penting bagi kita untuk tetap menjaga keutuhan bahasa Indonesia. Dalam konteks media sosial, langkah sederhana seperti menggunakan ejaan yang tepat dapat menjadi upaya menjaga martabat bahasa. Tidak berarti kita harus sepenuhnya menghapus gaya bahasa informal, tetapi perlu ada kesadaran untuk menempatkan bahasa sesuai dengan konteksnya.
Pendidikan memiliki peran penting dalam membentuk kesadaran berbahasa. Guru dan institusi pendidikan dapat mengajarkan pentingnya penggunaan ejaan yang benar, tidak hanya dalam konteks formal tetapi juga di media sosial. Selain itu, teknologi seperti fitur autocorrect atau aplikasi pemeriksa ejaan juga dapat dimanfaatkan untuk membantu pengguna menulis dengan lebih baik.
Problematika bahasa dalam penggunaan ejaan di media sosial mencerminkan tantangan sekaligus peluang untuk meningkatkan kesadaran berbahasa di era digital. Dengan pendekatan yang seimbang antara kebebasan berekspresi dan kepatuhan pada kaidah bahasa, kita dapat menciptakan lingkungan komunikasi yang lebih sehat dan mendukung pelestarian bahasa Indonesia. Sebagai pengguna media sosial, mari mulai dari diri sendiri untuk lebih peduli terhadap ejaan, demi menjaga kualitas berbahasa yang kita miliki.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H