Mohon tunggu...
Nurwahidah
Nurwahidah Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

perkenalkan nama saya NURWAHIDAH, saya adalah seorang mahasiswa baru di universitas Muhammadiyah Mataram, jurusan pendidikan guru sekolah dasar fakultas keguruan dan ilmu pendidikan,

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Eksistensi Penggunaan Rimpu Bagi masyarakat Bima dan Dompu di Era Modern

19 Januari 2025   15:51 Diperbarui: 19 Januari 2025   16:48 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Abstrak 

Rimpu mengandung arti penutup kepala dengan menggunakan sarung sebagai penutup kepala dan tubuh yang digunakan perempuan untuk menutup aurat. Rimpu merupakan pakaian tradisional khas Suku Mbojo asli baik itu Kabupaten Bima, Kota Bima bahkan hingga masyarakat Kabupaten Dompu. Fokus permasalahan dalam tulisan ini adalah terkait eksistensi Rimpu di tengah perkembangan zaman modern dan membahas mengenai nilai-nilai ke-Islaman yang ada pada penggunaan Rimpu itu sendiri, karena ia adalah budaya nenek moyang Suku Mbojo yang sangat kental dan tidak dapat dipisahkan dari aktivitas kehidupan sehari-hari. Pemerintah, masyarakat maupun mahasiswa memiliki peran yang sangat penting dalam mempertahankan eksistensi budaya Rimpu masyarakat Suku Mbojo di Kabupaten Bima yang merupakan warisan budaya lokal yang berasal dari leluhur masyarakat.

Indonesia adalah salah satu negara berkembang yang kaya akan budaya. Wilayah kepulauan yang membentang dari Sabang sampai Merauke membuat Indonesia memiliki kekayaan budaya dari berbagai suku bangsa. Berdasarkan sensus Badan Pusat Statistik pada tahun 2010, ada lebih dari 300 kelompok etnik atau 1.340 kelompok suku bangsa di Indonesia. Keanekaragaman ini mencetuskan semboyan Bhineka Tunggal Ika yang berarti berbeda-beda tapi tetap satu. Meski memiliki aneka ragam suku, budaya, agama, dan golongan, Indonesia tetaplah satu kesatuan. Kabupaten Bima merupakan salah satu Daerah Otonom di Provinsi Nusa Tenggara Barat, terletak di ujung timur dari pulau Sumbawa bersebelahan dengan Kota Bima. Secara geografis luas wilayah daratannya adalah 438.940 ha atau 4.389,40 km2. Sedangkan luas perairan Laut Kabupaten Bima berdasarkan data yang diukur oleh Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Mataram seluas 3.760,33 km2 dengan panjang garis pantai sebesar 687.43 km2. Adapun yang mendiami wilayah ini adalah suku Bima atau bahasa lokalnya "Dou Mbojo".

Suku Bima dikenal memiliki banyak norma, makanan khas, rumah adat, dan budaya yang khas dan tidak ditemukan didaerah lain salah satunya Budaya Rimpu. Tradisi Rimpu ini bersamaan dengan kehadiran ajaran islam yang mulai masuk ke Bima. Hal ini ditandai dengan kehadiran pedagang islam yang lebih didominasi oleh orang Arab. Rimpu sendiri muncul setelah Islam masuk dan berkembang di Bima, pada awal berdirinya Kesultanan Bima yakni pada tanggal 15 Rabiul Awal 1050 H atau 5 Juli 1640 M. Dimana dengan berdirinya Kesultanan Bima menjadi momentum bagi perkembangan Islam di era jaman modern. Tradisi Rimpu lahir dari perjumpaan antara ajaran agama islam untuk menutup aurat bagi setiap wanita muslimah dengan budaya lokal masyarakat setempat. 

Rimpu merupakan tradisi berbusana kaum perempuan suku Bima dengan menggunakan sarung tenun khas Bima yaitu ''Tembe Nggoli''. Pengguna rimpu umumnya adalah kaum perempuan dengan tujuan menutup aurat. Bagi perempuan yang sudah akil baligh harus menutup auratnya dihadapan orang yang bukan muhrimnya. Cara pemakaiannya menggunakan dua lembar kain, yaitu kain pertama dililitkan ke kepala dan menyisakan bagian terbuka untuk wajah, lalu sisa kain dijulurkan hingga ke perut menutupi lengan dan telapak tangan. Kemudian untuk kain kedua dikenakan dengan cara melipatkan kain di pinggang hingga ke bawah seperti penggunaan kain sarung pada umumnya. Lalu pertanyaan sekarang, bagaimana eksistensi budaya Rimpu terhadap perempuan bima diera perkembangan jaman modern ? 

Keberadaan Rimpu dalam aplikasi kehidupan masyarakat Suku Mbojo akhir-akhir ini mengalami penurunan, salah satunya disebabkan oleh perkembangan metode serta arus modernisasi yang intens terjadi didalam kehidupan masyarakat khususnya Kabupaten Bima. Dapat kita cermati bahwa perkembangan jaman yang sangat cepat seiring berkembangnya teknologi, berbagai budaya barat/asing ikut muncul ditengah-tengah masyarakat, baik dalam gaya bahasa, pergaulan, kehidupan sosial lebih-lebih dalam hal berpakaian. Trend pakaian barat yang terbuka dan modis kerap bermunculan dianggap keren oleh anak muda sekarang. Diperparah dengan fenomena media sosial yang gampang diakses dan globalisasi sekarang yang membuat banyak masyarakat lebih mudah terpengaruh, sehingga budaya lama khususnya Rimpu kerap dianggap kuno dan ribet. Hal ini tentunya akan merusak arti atau nilai-nilai keislaman yang terkandung dalam Rimpu itu sendiri yakni menjaga aurat bagi perempuan dalam menjalankan aktivitas kehidupan bermasyarakat serta menjaga nilai kesopanan dalam berbusana. Budaya Rimpu jarang terlihat digunakan oleh kalangan remaja putri Suku Mbojo. Saat ini Rimpu hanya terlihat di pakai oleh kalangan perempuan yang berusia lanjut. Eksistensi budaya Rimpu mengalami kualitas penurunan pengguna dikalangan masyarakat Dana Mbojo yang menyebabkan budaya Rimpu hampir tenggelam oleh zaman.           

          

Pada dasarnya ini merupakan tanggung jawab kita bersama, apalagi sebagai calon generasi hebat untuk Dana Mbojo tercinta, sangat disayangkan jika budaya rimpu tidak kita lestarikan dengan baik karena itu adalah aset dan ciri khas Dana Mbojo. Berbagai upaya telah dilakukan oleh masyarakat serta pemerintah daerah dalam meningkatkan eksistensi dan menjaga keberadaan budaya Rimpu melalui berbagai kegiatan di antaranya seperti kegiatan Pentas Seni Budaya Bima Dompu yang dilakukan oleh perkumpulan masyarakat Bima Dompu di tangerang pada bulan Mei 2019 yang bertujuan untuk meningkatkan kecintaan mereka terhadap budaya leluhur Suku Mbojo. Kegiatan lain yang dilakukan yaitu pada tahun 2015 yang di selenggarakan oleh Pemerintah Kabupaten Dompu dalam rangka acara ''Tambora Menyapa Dunia'', yang diselenggarakan di alun-alun Pemerintah Kabupaten Dompu. Kegiatan yang dilakukan pada acara tersebut yaitu parade dengan menggunakan Rimpu yang diikuti lebih kurang 15.000 orang peserta, sehingga masuk sekaligus memecahkan rekor MURI parade dengan jumlah peserta terbanyak se-indonesia. Namun, pada tanggal 13 Oktober 2019 rekor MURI tersebut berhasil direbut oleh Kota Bima yang juga menggelar kegiatan yang sama yaitu parade dengan menggunakan pakaian adat Suku Mbojo yaitu Rimpu dengan jumlah peserta sebanyak 20.165 orang. 

Berikut juga upaya yang dapat kita sebagai generasi muda lebih khususnya mahasiswa agar Rimpu tetap ada dan lestari:

* Menggunakan Rimpu dalam kehidupan sehari-hari maupun pada acara-acara tertentu sebagai ciri khas Budaya Bima. 

* Memperkenalkan Budaya Rimpu kepada orang lain, masyarakat Bima penduduknya sebagian besar berprofesi sebagai petani, namun untuk pendidikan tidak dapat diragukan lagi, dapat kita cermati bahwa mahasiswa Bima banyak sekali yang menyebar luas di beberapa daerah seperti di Makassar, Yogyakarta dan Mataram. Sehingga di perantaun dapat kita jadikan sebagai ajang untuk memperkenalkan Rimpu itu sendiri, contoh kecilnya kepada teman yang berbeda daerah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun