Mohon tunggu...
Nuzul Bayahi
Nuzul Bayahi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Pembelajar

Lagi belajar nulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sebuah Hidup yang B aja

7 September 2022   00:08 Diperbarui: 7 September 2022   00:11 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Di sebuah gang kecil perkampungan, aku yang sedang menikmati secangkir kopi dan sebatang rokok surya tiba-tiba terbesit sebuah pertanyaan, kenapa hidup yang sukses selalu diartikan dengan sebuah prestasi yang terekspos di media sosial, bukankah kita memiliki cara masing-masing untuk bisa mendefinisikan apa itu hidup yang sukses, mungkin ini cukup sulit untuk dipahami. Pernah tidak kamu merasa tidak berguna ketika sedang santai-santainya menjalani hidup? sambil melihat medsos yang penuh berisikan orang-orang yang lagi unjuk prestasi atau mungkin hanya sekedar mencari validasi, terus jadi melihat ke diri sendiri, tiba-tiba merasa bersalah karena belum menjadi apa-apa. 

Situasi ini tidak semata-mata ada begitu saja, ada pola sejak kecil yang sudah ditanamkan orang tua kepada anaknya, dari kepintaran yang cenderung dilihat pada ranking disekolah, sampai kesuksesan yang dilihat dari dimana kita bekerja, dan kenikmatan hidup yang dilihat dari dimana kita pergi liburan. dengan pola yang seperti ini membuat kita tidak berarti tanpa berprestasi, alih-laih bahagia, menjelajahi medsos kadang hanya membuat kita inscure dengan keadaan. 

Jeroen Van Baar, salah seorang neurosains pernah bercerita bahwa ia pernah merasa tidak berguna setelah menonton vidio teman-temannya yang menunjukan momen-momen bahagia dalam hidup, dari dapat penghargaan, bisa liburan kemana-mana, sekaligus dapat menunjukan relasi hangat dengan keluarga besar. setelah itu jeroen berfikir bahwa hidupnya juga baik-baik saja, punya rumah, hidup nyaman, ada pekerjaan. Jeroen berfikir bahwa ini terjadi karena publik, khususnya anak millenial punya kecenderungan untuk jadi sempurna diberbagai aspek bidang kehidupan, mulai dari pendidikan, karier, sampai hidup bersosial. 

Tekanan-tekanan untuk menjadi sempurna muncul dari orang-orang terdekat kita, atau mereka yang sering berseliweran di media sosial kita, yang mungkin saja kita tidak mengenalnya. teori perbandingan sosial bisa menjelaskan penyebab dari tuntutan untuk jadi sempurna disegala bidang, individu punya kecenderungan alamiah untuk membandingkan dirinya dengan orang lain, yang memunculkan sikap kompetitif untuk jadi lebih hebat dari orang lain. jika seperti ini, dampak negatifnya adalah membuat diri kita gampang strees jika tuntutan dari luar diri tidak terpenuhi, dan akan sulit menerima diri sendiri, dan bahkan mengakhiri hidup ini. 

Punya keinginan dan mimpi besar sebenarnya tidaklah mengapa, asal tau batas diri, potensi, dan kemampuan. berani menerima diri apa adanya, dengan segala kekurangan yang ada, dengan begitu kita akan mudah menentukan apa yang kita butuhkan dan inginkan, dan berhentilah mencari validasi eksternal. tetapkan sebuah keinginan dengan tujuan membangun diri sendiri, bukan karena tidak mau kalah sama yang lain, semua orang punya kapasitas individu berbeda-beda, gunakanlah diri sendiri sebagai pencapaian, 

Banyak pencapaian hal-hal hebat dalam hidup diluar aspek akademis atau karier, yang tidak terukur, dan sangat berharga. kita punya itu, genggamlah dengan bangga tanpa perlu tepuk tangan dari orang lain, karena kemewahan hidup lahir dari kesederhanaan, keheningan, persahabatan yang dibangun atas kerapuhan diri masing-masing, kreativitas tanpa penonton, kasih tanpa perlu banyak harapan atau keputusasaan. Sekian..

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun