Di era digital yang serba cepat ini, istilah "quiet quitting" semakin sering kita dengar. Fenomena ini mengacu pada tren di mana pekerja memilih untuk hanya melakukan pekerjaan yang sudah tercantum dalam deskripsi pekerjaan mereka dan tidak mau melakukan tugas tambahan di luar jam kerja.
Pada awalnya, konsep ini mungkin terdengar negatif, seolah-olah para pekerja menjadi malas dan tidak produktif. Namun, jika kita melihat lebih dalam, ada beberapa faktor kompleks yang melatarbelakangi munculnya tren ini.
Mengapa "Quiet Quitting" Terjadi?
* Ketidakseimbangan Kerja-Hidup: Banyak pekerja merasa terbebani oleh tuntutan pekerjaan yang semakin tinggi dan jam kerja yang panjang. Mereka ingin memiliki lebih banyak waktu untuk keluarga, hobi, dan kesejahteraan mental.
* Kurangnya Apresiasi: Pekerja menginginkan pengakuan atas kerja keras mereka. Ketika merasa tidak dihargai atau dibayar sesuai dengan kontribusi mereka, motivasi untuk memberikan yang terbaik pun menurun.
* Perubahan Prioritas: Generasi muda, khususnya generasi Z, memiliki nilai-nilai yang berbeda dengan generasi sebelumnya. Mereka lebih mementingkan keseimbangan hidup dan makna dalam pekerjaan.
* Dampak Pandemi: Pandemi COVID-19 telah mengubah cara kita bekerja. Banyak orang bekerja dari rumah dan memiliki lebih banyak waktu untuk merenungkan apa yang sebenarnya mereka inginkan dalam hidup.
Apakah "Quiet Quitting" Hal yang Buruk?
Tidak selalu. "Quiet Quitting" bisa menjadi sinyal bagi perusahaan bahwa ada masalah yang perlu diatasi. Ini bisa menjadi kesempatan bagi perusahaan untuk:
* Meninjau Ulang Kebijakan Perusahaan: Misalnya, dengan memberikan fleksibilitas waktu kerja atau program kesejahteraan karyawan yang lebih baik.
* Meningkatkan Komunikasi: Membangun hubungan yang lebih baik antara atasan dan bawahan sehingga setiap karyawan merasa dihargai dan didengarkan.